SOSIAL
Setelah sebelumnya membahas topik keadilan
Allah, kini saya akan mengkhususkan telaahan ini pada keadilan sosial. Kendati
cakupan pembahasan ini cukup luas, saya akan berupaya mengulasnya dengan secara
singkat dengan menyertakan pelbagai argumentasi yang terdapat dalam al-Quran,
hadis, dan Nahj al-Balaghah (seraya menjelaskan masing-masing ayat dan
hadis tersebut secara sekilas).
Topik bahasan ini merupakan bagian dari mazhab
kita sehingga perlu diketahui seluruh lapisan masyarakat. Tujuan membahas
keadilan sosial adalah untuk mengetahui bagaimana perintah al-Quran dan para
imam maksum berkenaan dengan penjagaan hak-hak, penyamarataan posisi segenap
masyarakat di depan hukum, penolakan pelbagai bentuk diskriminasi, pengerukan
keuntungan demi kepentingan pribadi, dan kezaliman. Selain itu juga untuk
menjelaskan sekitar empat puluh peristiwa yang berhubungan dengan cara yang
ditempuh Nabi mulia saww dan para imam maksum dalam mengelola baitulmal dan
mengajarkan bentuk-bentuk persaudaraan Islami.
Keadilan: Program Kehidupan
Islam merupakan agama yang adil dan seimbang,
sekaligus jalan yang lurus. Umat Islam merupakan umat pertengahan (yang berada
di tengah-tengah). Sementara itu, sistem Islam yang diberlakukan tak lain dari
wujud keadilan itu sendiri.
Dalam Islam, selain air mataJuga terdapat
sebilah pedang. Islam, selain merancang program untuk menjaga kesehatan
jasmani. juga memperhatikan perkembangan maknawi dan ruhani seseorang. Adanya
(kewajiban) shalat pasti disertai adanya (kewajiban) zakat. Kecintaan serta
hubungan dekat (tawalli) dengan para wali Allah pasti diiringi dengan
keberlepasan dan penjauhan diri (tabarri) dari musuh-musuh Allah. Di
samping mendukung ilmu pengetahuan, Islamjuga mengutamakan amal. Himbauan Islam
kepada keimanan dan keislaman, niscaya dibarengi dengan anjuran untuk beramal
saleh.
Perintah untuk bertawakal kepada Allah akan
senantiasa beriringan dengan perintah untuk bekerja dan berusaha keras.
Penghargaan terhadap milik pribadi pasti akan diiringi dengan pelarangan untuk
membuat kerugian dan penyalahgunaan dari kepemilikan tersebut. Di dalam
perintah untuk memberi rnaaf, terdapat pula perintah untuk melaksanakan hukuman
(qishash) secara tegas dan tidak memperdulikan belas kasihan. Suatu
ketika, serombongan orang melaporkan kepada imam bahwa si fulan mengerjakan
salatnya secara acuh tak acuh. Imam bertanya, "Bagaimanakah cara
berpikirnya?' Artinya, apabila ibadah individual seseorang telah sempurna,
pasti dirinya akan jeli dalam berpikir.
Hubungan Keadilan Sosial dengan Pandangan Dunia
Ilahiah
Sekarang ini, banyak slogan yang begitu memikat
yang bergaung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun, apabila
slogan-slogan tersebut tidak ditopang oleh suatu prinsip yang kokoh, maka semua
itu tak lebih dari "sebuah bentuk tanpa isi".
Ungkapan "keadilan sosial" adalah
salah satunya. Kita menyaksikan bahwasannya hampir seluruh rezim yang berkuasa
di dunia ini senantiasa menggembar-gemborkan slogan tersebut, seraya menyatakan
dirinya sebagai pedukung keadilan sosial.
Namun, kita juga sering menjumpai kenyataan
bahwa tak satupun dari rezim-rezim tersebut yang benar-benar menjalankan
keadilan. Sebabnya, slogan-slogan tersebut tidak memiliki akar yang kokoh
sehingga lebih bersifat retorik belaka.
Dalam Islam, problem persamaan dan
penyamarataan memiliki akar yang cukup mendalam:
1. Seluruh keberadaan di jagat alam ini berada
di bawah pengawasan Tuhan Yang Mahabijaksana, yang tidak mengandungi kerancuan
dan kekacauan. Dengan begitu, saya yang merupakan salah satu bagian alam ini,
dapat melakukan berbagai kegiatan dengan sesuka hati, namun tetap tidak
terlepas dari ketentuan dan sistem yang berlaku.
2. Seluruh perbuatan, ucapan, dan bahkan
pemikiran kita berada di bawah pengawasan-Nya. Dalam hal ini, Tuhan senantiasa
memperhatikan diri kita. Kelak, semua perbuatan kita akan diadili di hadapan
mahkamah-Nya yang adil.
3. Kita semua berasal dari tanah, dan akhirnya
akan kembali ke tanah. Di antara butiran-butiran tanah, tidak terdapat
perbedaan apapun. Kalau memang demikian, lantas mengapa saya menjadi berbeda
(lebih istimewa) dari yang lain?
4. Segenap manusia merupakan hamba-hamba Allah,
dan bersahabat dengan mereka merupakan sesuatu yang diridhai-Nya.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling menggemari kebaikan.
5. Seluruh keberadaan di jagat alam ini tidak
dapat melampaui batasan, ketentuan, serta hak yang telah ditetapkan sang
Pencipta.
6. Ayah dan ibu kita semua adalah sama (Nabi
Adam dan Sm Hawa).
Penafsiran serta pemahaman terhadap eksistensi
alam dan manusia semacam inilah yang dilandasi "Pandangan Dunia
Ilahiah".
Semua itu merupakan sarana yang paling kondusif
dalam penciptaan keadilan. Dan faktor yang sanggup merusak dan
memporakporandakan sarana tersebut tak lain dari segenap tuntutan hawa nafsu.
Keadilan: Kecenderungan Fitrah
Al-Quran menyatakan bahwa secara fitrah Kami
(maksudnya, Allah) telah menganugerahi manusia pelbagai kemampuan untuk
mengetahui dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, "...maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan".[1]
Sebagai contoh, seorang anak yang menmpkan
sebuah apel kepada Anda. Setelah itu, ia pergi barang sejenak untuk mengambil
air minum. Namun, ketika kembali dan mengetahui bahwa Anda telah memakan buah
apel itu, kendati cuma secuil, tentu ia akan langsung kecewa. Raut mukanya
kontan akan memperlihatkan ekpresi khusus, seolah-olah hendak mengatakan,
"Aku menganggapmu seseorang yang bisa dipercaya, namun mengapa engkau
berkhianat!" Kalimat semacam ini pasti terlintas dalam benak anak
tersebut, diucapkan ataupun tidak.
Camkanlah, pengetahuan tentang keburukan
berkhianat tidak membutuhkan pengajaran seorang guru atau pendidik. Manusia
mengetahui keburukan lewat perasaan fitrah yang bersemayam dalam dirinya.
Demikian pula halnya dengan keadilan. Secara
fitriah, setiap manusia pasti menyukainya. Sebagai bukti tentang kebenaran hal
tersebut dapat dilihat bahkan pada kenyataan di seputar orang-orang yang zalim.
Orang-orang zalim senantiasa membuat-buat
berbagai alasan demi membenarkan dan mengabsahkan keazlimannya, seraya berusaha
menunjukkan perbuatannya tersebut sebagai sesuatu yang adil.
Umpama, sejumlah orang berkomplot dan
menyiapkan sarana tertentu demi melakukan pencurian. Tatkala mereka berhasil
mendapatkan hasil curian dan melarikan diri ke tempat yang aman dari kejaran,
tentu masing-masing dari mereka menginginkan harta hasil curian itu dibagi
secara adil. Dalam ungkapan mereka, "Marilah kita bagi-bagi harta ini
secara adil!"
Ucapan semacam ini terlontar tanpa sadar.
Sekalipun kalimat itu tidak diungkapkan, toh hati mereka tetap menyukai cara
pembagian yang adil. Kalau saja salah seorang dari mereka hendak mengambil
bagian lebih banyak, tentu yang lain akan marah dan tidak merelakannya.
Sejarah telah merekam dengan baik segenap hal
yang berkenaan dengan itu. Seluruh masyarakat warga dunia, pasti akan
mengelu-elukan seseorang yang terbunuh dalam upayanya mewujudkan keadilan
sosial ataupun mempertahankan jiwa, harta, kesucian agama, dan kehormatan
negaranya. Dengan begitu, setiap dukungan terhadap keadilan dan perjuangan melawan
kezaliman merupakan tuntutan akal, alam, dan fitrah yang bersemayam dalam diri
setiap manusia.
Para Nabi dan Undang-undang yang Adil
Jarang kita jumpai masyarakat yang tidak
berbicara tentang undang-undang keadilan. Begitu pula amat sedikit sekali lembaga-lembaga
sosial-polmk yang tidak menyatakan dirinya melindungi hak-hak serta kepentingan
masyarakat. Sekarang, mari kita telaah bersama persoalan tersebut dengan
terlebih dulu mengemukakan sejumlah pertanyaan berikut ini:
1. Undang-undang manakah yang secara seratus
persen benar-benar adil dan terlepas dari paksaan individu atau golongan?
Siapakah yang mampu membuat undang-undang yang steril dari pengaruh hawa nafsu
pribadi? Apa dasar pembuatan undang-undang yang adil tersebut?
2. Kondisi masyarakat bagaimana yang
dimaksudkan, dan kepentingan serta peringkat (strata) sosial seperti apa yang
harus dilindungi dan dijaga?
3. Seandainya saja para pembuat undang-undang
tidak terpengaruh hubungan kelompok, kabilah. kawasan, ras, dan sebagainya,
mungkinkah pelbagai sisi kemanusiaan dapat diketahui? Selain itu. apakah ada
jaminan bahwa undang-undang (yang dianggap bersifat adil) itu tidak sampai
merugikan manusia?
Dikarenakan deretan pertanyaan itulah kita
berkeyakinan bahwa keadilan sosial mesti terkait dengan undang-undang yang
adil. Namun, undang-undang semacam itu mustahil ada kecuali diciptakan sang
Pencipta yang kemudian dibawa oleh para nabi.
Keadilan: Syarat Utama
Dalam Islam, seluruh pos penting kehidupan
sosial harus diletakkan di bawah tanggungjawab orang-orang yang adil; yang
dalam kehidupan sosial tidak memiliki riwayat hidup yang buruk dan dikenal
memiliki kelayakan serta kesucian diri.
Dalam sebuah pengadilan, seorang hakim, para
saksi, dan seluruh pegawai yang bekerja di situ harus terdiri dari orang-orang
yang adil dalam berbicara dan mencatat. Imam salat Jumat dan salat jamaah
haruslah scseorang yang adil. Seorang marji' taqlid (ulama yang fatwanya
diamalkan orang-orang awam), pemimpin revolusi, serta pihak yang bertanggung
jawab mengelola baitul mal atau perceraian, harus berpijak semata-mata di atas
prinsip keadilan. Sebuah berita atau intonnasi baru dapat diterima apabila
disampaikan oleh orang yang adil. Terakhir.
Ringkasnya, Islam menjadikan prinsip keadilan
sebagai syarat utama dalam kehidupan bermasyarakat serta terhadap pelbagai
persoalan yang terkait dengan hukum, kehidupan sosial, keluarga, dan
perekonomian.
Nilai Penting Keadilan
Dalam berbagai riwayat, Rasulullah saww pernah
bersabda, "Adil satu jam lebih baik dari melakukan salat pada malam
hari dan berpuasa pada siang hari selama tujuh puluh tahun."[2]
Dalam kesempatan lain. Rasulullah savvw juga
menyabdakan;
"Perbuatan seorang pemimpin yang adil
dalam memimpin masyarakat selama satu hari, lebih baik dari ibadahnya seorang
hamba di tengah-tengah ke!uarganya selama seratus atau lima puluh tahun."
Imam Ja'far ash-Shadiq juga berkata, "Seorang
pemimpin yang adil, doanya tidak akan tertolak." Amirul Mukminin, Imam
Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Keadilan merupakan kebaikan bagi
masyarakat dan mengikuti sunnah Allah."
Beliau juga mengatakan bahwa keadilan identik
dengan kehidupan, sedangkan kezaliman adalah kematian. Orang-orang yang
menyerah dan tunduk di bawah kaki kezaliman pada hakikatnya adalah orang-orang
yang inati.
Dalam menafsirkan ayat, ...dan menghidupkan
bumi sesudah matinya,[3] Imam Musa al-Kazhim mengatakan, "Bumi
menjadi hidup dikarenakan tegaknya keadilan dan dilaksanakannya hukum-hukum
Ilahi".
Penegakkan Keadilan: Tujuan Para Nabi
Al-Quran menjelaskan pelbagai tugas yang harus
diemban para nabi. Salah satu di antaranya adalah menegakkan keadilan dalam
kehidupan masyarakat. Dalam kesempatan ini, saya akan memaparkan sejumlah tugas
para pemimpin maksum tersebut:
1. Mengajak masyarakat menjadi hamba Allah dan
menjauhkan diri dari penghambaan kepada taghut (pemimpin yang zalim).
"... 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah laghut itu.'"
Seruan seluruh nabi kepada umat manusia adalah. " Dekatlah kepada Allah
dan jauhilah taghut "[4]
2. Memberi peringatan dan kabar gembira, "Sesungguhnya
Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. " Kami mengutus kalian dengan benar
agar kalian menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan siksaan akhirat. Dan dari
sisi yang lain, berilah kabar gembira atas janji Allah yang diberikan kepada
mereka.[5]<><>
3. Pengajaran dan pendidikan, "...mensucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (as-sunah)." Dia
mengutus para nabi untuk mendidik serta mengajarkan berbagai hal yang
diperlukan umat manusia.[6]
4.Memerangi berbagai bentuk keterikatan dan
menghancurkan pelbagai belenggu dan mata rantai kebiasaan atau tradisi yang
mengikat kuat kedua tangan dan kaki manusia, "...dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka."[7] Nabi
mulia saww diutus untuk melepaskan dan membebaskan beban dan mata rantai yang
mengikat manusia.
5. Menjelaskan dan menyingkapkan berbagai jalan
yang menyimpang serta mengungkap hakikat pemimpin-pemimpin yang zalim pada masa
itu (Fir'aun, Karun, dan berbagai bentuk pemikiran menyimpang), "...dan
supaya jelas pula jalan orang-orang yang berdosa."[8]
Tujuan para nabi adalah membentuk masyarakat
yang diliputi keadilan; baik dalam lingkungan keluarga, sosial, ekonomi, bahkan
juga bersikap adil terhadap kawan maupun lawan. Selain itu, para nabi juga
bertujuan menghidupkan keimanan kepada Allah dan hari akhir dalam sanubari
masyarakat.
Pada saat setiap individu masyarakat berakhlak
dan berpola pikir Ilahiah, maka masyarakat itu sendirilah yang nantinya bangkit
menegakkan keadilan serta membentuk tatanan kehidupan yang adil.
"Sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan".[9]
Kami telah mengutus para nabi Kami dengan
membawa argumen-argumen yang jelas dan Kitab dari langit, serta neraca yang
berfungsi menimbang mana hak dan mana batil. Semua itu dilakukan agar manusia
yang hidup di bawah bimbingan para pemimpin dan undang-undang langit ini,
memiliki wawasan luas dan bangkit mewujudkan keadilan. Namun, perwujudan sebuah
masyarakat yang adil memerlukan kekuatan makna, juga kekuatan material.
Karena itu, ayat di atas menyebutkan pula keharusan
dimilikinya kedua kekuatan tersebut. Kata al-bayyinat, al-Kitab, dan al-mizan
merupakan bentuk kekuatan maknawi yang berfungsi sebagai tiang penyangga
tegaknya keadilan. Sedangkan kalimat, "dan Kami ciptakan besi",(wa anzalna
al-hadid) dalam ayat yang sama, merupakan penjelasan tentang diperlukannya
kekuatan material. Kekuatan material itu juga menjadi peringatan bagi para
pembangkang yang jika masih tetap keras kepala dan melakukan penentangan, akan
dimusnahkan dengan menggunakan kekuatan tertentu, cepat atau lambat!
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa salah satu
tujuan diutusnya para nabi adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat.
Argumen Imam Ali tentang Konsep Persamaan
Tatkala sejumlah orang melontarkan krmkan,
"Mengapa engkau membagi baitul mal secara sama rata?". Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib menjawab:
1. Kalau saja harta ini milik pribadiku, tentu
aku juga akan membagikannya secara sama rata. Apalagi dalam kenyataannya harta
ini milik Allah dan berhubungan erat dengan kebutuhan seluruh masyarakat.
Karenanya, seluruh masyarakat berhak atas harta ini, "Jika harta ini
miiikku sendiri, pasti aku akan membagi-baginya kepada mereka secara sama rata.
Lantas bagaimana dengan kenyataan bahwa harta ini sesungguhunya adalah harta
Allah".[10]
2. Seseorang disebut pemboros dan suka
menghambur-hamburkan harta apabila sering berbelanja tidak pada tempatnya, "
Ketahuilah, bahwa memberikan harta bukan kepada yang berhak, adalah pemborosan
dan mubazir." Al-Quran menyebut orang-orang yang gemar menghambur-hamburkan
harta sebagai teman-teman setan, "Sesungguhnya pemhoros-pemboros itu
adalah saudara-saudara setan."[11]
3. Pembagian tidak sama rata menyebabkan para
pencinta dunia akan mengelilingi orang-orang kaya, seraya melontarkan kata
pujian dan sanjungan palsu, dengan harapan mendapat bagian harta. Semua itu
jelas akan menjauhkan manusia dari lingkup keadilan Ilahi, "Dan dia
meninggikan temannya di dunia dan merendahkannya di akhirat. dan menghormatinya
di hadapan manusia dan menghinakannya di hadapan Allah." Kemudian Imam
melanjutkan bahwasannya apabila seseorang memberikan harta secara tidak
semestinya atau memberikan harta kepada orang yang tidak layak menerima, Allah
akan menjauhkan pujian yang dilontarkan orang yang menerima harta tidak layak
tersebut. Berangsur-angsur keadaannya akan segera berubah; orang yang
sebelumnya memuji-muji akan meninggalkannya dan mengalihkan perhatian kepada
selainnya.
Orang semacam ini tidak memiliki harga diri di
hadapan Allah. Para pecinta dunia akan senantiasa mengelilinginya, demi meraup
keuntungan dari ketidakadilan dan ketidaksamarataan yang diberlakukan. Pada
saat itu, para pecinta dunia tersebut amat menyukai dan menyanjung-nyanjung
dirinya.
Namun, ketika pada suatu hari diri orang
tersebut dihantam kesulitan yang luar biasa, segera saja mereka akan
meninggalkan dan menjadi teman yang paling buruk. Sekarang saya akan menukil
kata-kata langsung dari Imam, untuk kemudian akan saya beri catatan secara
ringkas. "Tidak seorung pun yang meletakkan hartanya
kepada yang tidak berhak dan kepada yang tidak layak, melainkan Allah akan
melenyapkan rasa terima kasih mereka kepadanya, dan cinta mereka akan tertuju
kepada orang lain. Maka, jika ia terjatuh dan memerlukan pertolongan mereka,
ternyata mereka adalah teman yang terburuk dan sahabat yang paling kikir".[12]
Batas Terjauh Keadilan Islam
Semakin jauh kehidupan ini dari masa Nabi mulia
saww, semakin jauh pula jarak antara masyarakat dengan keadilan sosial Islam.
Sedikit demi sedikit, Usman membagi-bagikan harta baitul mal tanpa perhitungan
lagi kepada sanak famili dan kroni-kroninya.
Selain itu, ia juga memberikan berbagai lahan
dan kesempatan (untuk berkuasa) kepada mereka. Bentuk-bentuk diskriminasi
semacam inilah yang memicu kekecewaan dan kegusaran masyarakat, yang kemudian membunuhnya
dan membaiat Imam Ali bin Abi Thalib.
Semasa pemerintahan Imam Ali, berbagai bentuk
sunah yang menyimpang segera dihapuskan, harta-harta yang berbau nepotisme
ditarik kembali, proses pengangkatan dan pencopotan secara sewenang-wenang
dihentikan. Semua itu merupakan program revolusi yang dilakukan Imam Ali. Oleh
karenanya, dengarkanlah pernyataan beliau;
"Demi Allah jika aku menjurnpainya (harta)
telah digunakan untuk pernikahan dengan para wanita, dan telah digunakan untuk
memiliki budak-budak wanita, maka aku akan menariknya (harta itu)
kembali...."
Demi Allah, kalau saja harta dan berbagai
sarana yang telah diberikan Usman dengan tanpa perhitungan telah digunakan
sebagai mahar bagi wanita atau digunakan untuk membeli budak-budak wanita, saya
tetap akan menariknya kembali.[13]
Arab dan Ajam (non-Arab): Tak Beda
Alkisah, dua orang wanita mendatangi Imam Ali
bin Abi Thalib demi mengambil bagiannya dari baitul mal. Wanita yang satu
beretnis Arab, sementara satunya lagi non-Arab (ajam). Imam Ali kemudian
memberikan hak masing-masing sesuai dengan keadilan serta kebiasaannya memberi
bagian secara sama rata.
Keduanya yang masih belum tahu betul kebudayaan
dan tata cara Islam ini belum sanggup menerima keadilan yang beliau praktikkan.
Segera saja keduanya memprotes, "Apakah engkau memberi bagian kepada Arab
dan Ajam secara sama rata?" Imam menjawab. "Aku tidak melihat adanya
perbedaan (di antara keduanya)."[14]
Memang, tatkala menerapkan berbagai persamaan
di pelbagai lapisan masyarakat, Imam acapkali menghadapi berbagai protes dan
krmkan yang umumnya dilontarkan orang-orang egois dan zalim. Namun, segenap
krmkan itu tidak menjadikan beliau bergeming sejengkal pun dari garis tauhid
dan keadilan. Sebagaimana diungkapkan al-Quran. beliau termasuk sosok yang
tidak terpengaruh celaan orang yang suka mencela. "... dan yang tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela."[15]
Menghitung Jumlah Orang Mati
Salah satu bentuk kebanggaan orang-orang yang
hidup di zaman jahiliah ialah besarnya jumlah individu suatu kabilah. Semakin
banyak kuantitasnya, semakin besar pula kebanggaan kabilah dimaksud. Kebiasaan
tersebut bahkan bisa sampai menciptakan pertengkaran di antara kabilah-kabilah
yang ada.
Dalam hal ini, penghitungan jumlah individu
sudah sedemikian rupa. Sampai-sampai orang-orang yang telah mati juga
dimasukkan dalam penghitungan. Semua itu dimaksudkan tak lain demi membuktikan
kabilah mana yang paling banyak jumlahnya! Berkenaan dengan itu, turunlah ayat.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu rnasuk ke dalam
kubur."
Sesungguhnya, kebanggaan terhadap banyaknya
jumlah (individu dalam kabilah) telah menyibukkan kalian. Sampai-sampai kalian
mengunjungi seluruh kuburan orang-orang yang telah mati demi menghitung
jumlahnya (untuk kemudian digabungkan dengan juinlah orang yang masih hidup, — peny.).
Dari jumlah keseluruhan tersebut, lantas kalian
berbangga! Dalam khotbah ke-221, seusai membacakan ayat ini, Imam Ali bin Abi
Thalib dengan tegas menentang corak berpikir semacam itu.
Dalam salah satu majelis yang dipadati
orang-orang yang gemar membanggakan kabilah, suku, atau keturunan
masing-masing, Salman al-Farisi mendapat giliran untuk mengungkapkan asal muasal
keturunannya. Para hadirin mengira bahwa Salman pasti akan malu hati lantaran
dirinya berasal dari kabilah yang tidak populer.
Namun pribadi Salman yang telah terdidik dalam
kebudayaan Islam yang orisinil, dengan tegas dan penuh rasa bangga menyatakan.
"Janganlah kalian memandang keluargaku,
karena aku hanya mengetahui bahwa sebelumnya diriku adalah orang yang tersesat.
Hanya berkat Rasulullah Muhammad saww, aku mendapatkan petunjuk. Menurutku,
yang amat penting hanyalah itu."[16]<><><>
Dengan jawaban itu, beliau berhasil mematahkan
kebanggaan picik yang berkobar-kobar dalam diri orang-orang yang hadir di situ.
Sekaligus pula, beliau berhasil menghapus pelbagai bentuk pengistimewaan
(kekabilahan, kesukuan, keturunan, dan sejenisnya) yang tidak memiliki makna
sama sekali. Ungkapan yang memukau tersebut selanjutnya ditutup dengan
penjelasan yang menyentak kesadaran mereka bahwa di mata agama dan Allah.
seluruh manusia adalah sama.
Usulan Penyuapan
Pernah sekelompok orang mendatangi Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Berilah kelebihan kepada para
pembesar kalangan Arab dan Quraisy atas para budak dan orang-orang Ajam. Juga
(berilah kelebihan) kepada orang-orang yang dikhawatirkan akan menjadi lemah
dan berpihak kepada Muuwiyah." Maksudnya, Anda mesti memberi bagian
yang lebih banyak kepada para pembesar Arab dan Quraisy.
Dengan itu, mereka tentu akan senantiasa
mengelilingi diri Anda. Sebaliknya, kalau Anda tidak memberi kelebihan kepada
mereka di atas para budak dan orang ajam, besar kemungkinan mereka akan
menentang atau membelot, untuk kemudian bergabung dengan Muawiyah.
Imam Ali bersabda. "Apakah saya mesti
menggunakan baitul mal untuk menarik orang-orang? Apakah saya mesti menyuap
mereka? Sesungguhnya, jika ada yang mendukung saya dikarenakan harta, ataupun
dikarenakan ada harta yang lebih banyak, lalu membelot kepada yang lain dan
melakukan pembangkangan terhadap saya, maka ,saya akan tetap mempertahankan
keadilan dan agama, serta tidak berkeinginan untuk menarik orang-orang dengan
perantaraan ancaman dan harta. Saya sama sekali tidak akan melebihkan seseorang
atas yang lain. Siapa yang ingin tetap tinggal, silahkan, siapa yang hendak
pergi, silahkan!”
Inilah garis Imam! Dalam menarik simpati
golongan tertentu, beliau tidak bersedia melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan keadilan.[17]
Bentuk-bentuk Persaudaraan
Seorang penduduk kota Balakh menceritakan bahwa
pada suatu hari dirinya datang menemui Imam Ridha. Kedatangannya pada saat itu
bertepatan dengan tibanya waktu makan. Lantas, keduanya pun membentangkan
taplak makan. Tak lama kemudian, Imam mengundang seluruh budaknya, baik yang
berkulit hitam maupun putih, untuk duduk bersama-sama di hadapan hidangan makan
tersebut.
Imam sendiri duduk di antara mereka. Sama
seperti yang ada di situ, beliau juga tidak mendapat pelayanan khusus.
Menyaksikan kejadian itu, orang tersebut
kemudian menganjurkan Imam, "Mestinya hidangan bagi para budak Anda
sediakan secara terpisah!" Imam Ridha menjawab, "Tuhan kita adalah
Esa, dan kita semua berasal dari ayah dan ibu yang satu juga".[18]
Sementara itu, balasan atas kebaikan dan
kejahatan terjadi pada hari kiamat. Karenanya, mengapa kita mesti menjadi
seorang egois?"
Kalau kita menyaksikan orang-orang yang
memiliki posisi serta kedudukan (yang tinggi) berkenan untuk duduk bersama dan
berbincang-bincang dengan kalangan umum, maka sejak saat itu, revolusi
kebudayaan akan terjadi dan mengalami perkembangan pesat.
Andaikata setiap Muslirn memiliki perasaan
bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan atas orang lain
(dirinya dari, untuk, dan dengan masyarakat). serta senantiasa berupaya
menghidupkan etika Islami dalam kehidupan pribadinya, maka siapapun yang
berjumpa dengannya, secara otomatis, akan memiliki ketertarikan kepadanya,
termasuk kepada agamanya.
Persamaan dalam Islam
Telah berabad-abad lamanya, sejarah menyaksikan
bagaimana orang-orang kulit putih senantiasa berbuat zalim dan bertindak
diskriminatif terhadap orang-orang kulit hitam; kamar mandi umum, restoran,
tempat peristirahatan, rumah sakit, sekolahan, dan tempat pemakaman orang kulit
hitam dipisahkan dari orang kulit putih. Islam dengan tegas menolak dan
menentang bentuk pilih kasih semacam ini dengan mengatakan, "Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu".[19]
Orang-orang yang termulia di sisi Allah adalah
mereka yang paling bertakwa. Perbedaan bentuk fisik, ras, dan bahasa justru
menunjukkan kekuasaan Allah. Di antara pelbagai tanda kekuasaan-Nya, terdapat
langit, bumi, serta beragam macam bahasa dan wama kulit.[20] Pada perjalanan haji
terakhirnya, Nabi mulia saww mengumpulkan para jamaah haji dan bersabda,
"Seluruh umat Islam dari berbagai kabilah, suku, ras, dan bahasa adalah
sama."[21]
Semasa hidupnya, Nabi mulia saww seringkali
memberikan kedudukan tertentu kepada para budaknya, menikahkan orang kulit
hitam dengan kulit putih, bahkan anak bibi beliau diberikan kepada seorang
budak hilam. Semua itu ditujukan demi menghapus pelbagai bentuk diskriminasi
(pembeda-bedaan).
Kebiasaan Keliru: Sebuah Krmk
"... Kemudian, bertolaklah kamu dari
tempat bertolaknya orang banyak (Arafah)".[22]
Dalam ayat tersebut, Allah Swt menolak bentuk keistimewaan yang diyakini kaum
Quraisy. Mereka berkeyakinan memiliki posisi lebih tinggi dari yang lain.
Alasannya, mereka adalah pengelola dan
pemelihara Ka'bah sejak dulu kala. Berdasarkan itu pula, mereka mengabaikan
salah satu kewajiban berhaji, yaitu pergi ke Padang Arafah. Sebagai gantinya,
mereka malah pergi ke Muzdalifah dengan mengatakan, "Kami adalah penduduk
Haram (Tanah suci) Allah, dan tidak dapat berpisah dari Haram Allah."
Kemudian turunlah ayat yang menyebutkan, kalian
mesti melakukan perjalanan (ke padang Arafah) sebagaimana orang-orang lain
melakukannya. Kalian juga mesti meninggalkan perasaan lebih unggul dari yang
lain.
Perbedaan Kaum Agamis dan Materialis
Orang-orang kaya menganggap para pengikut Nabi
Nuh terdiri dari orang-orang hina dan tidak berguna. Kemudian mereka
mengusulkan kepada Nabi Nuh, "Apabila engkau menjauhkan orang-orang itu
dari sekelilingmu, kami semua akan berada di Sampingmu!"
Nabi Nuh yang senantiasa melindungi orang-orang
lemah, rnemberikan jawaban negatif, seraya mengatakan. "... dan aku
sekali-kali tidak nkan mengusir orang-orang yang telah beriman".[23]
Aku sama sekali tidak akan mengusir orang-orang
yang beriman (dikarenakan hendak mendapatkan dukungan orang-orang kaya). Hal
yang paling berharga dalam kehidupan ini adalah keadilan sosial dan penjagaan
terhadap keutuhan agama.
Dalam mencari pengikut, siapapun mesti berpijak
di atas kedua hal tersebut. Bukannya malah meremehkan sebagian ajaran agama
serta mengabaikan kebenaran dan keadilan, dengan harapan moga-moga sikap
semacam itu akan menambah jumlah pengikut. Bentuk pemikiran semacam ini
bukanlah bentuk pemikiran orang-orang yang agamis yang menyembah Allah. Namun,
tak lain dari bentuk pemikiran orang-orang materialistis.
Pembagian Adil Sekeping Roti
Pada suatu ketika, Imam Ali menerima sejumlah
harta untuk baitul mal. Masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi beliau
demi meminta bagian masing-masing. Agar tidak saling berebut, beliau memagari
sekeliling harta tersebut dengan seutas tali seraya mengatakan,
"Menjauhlah dari harta itu, janganlah kalian masuk ke dalam tali
pembatas."
Kemudian Imam memasuki pembatas tersebut dan
membagi-bagikan harta itu kepada wakil masing-masing kabilah. Di akhir
pembagian, Imam melihat sebuah bakul yang berisi sepotong roti. Imam kemudian
memerintahkan supaya keping roti tersebut, sebagaimana harta lainnya, dibagi
potong-potong menjadi tujuh bagian. Dan tiap-tiap kabilah pun mendapat satu
keping darinya.[24]
Revolusi kita akan sukses seandainya di negeri
ini, kita melakukan tindakan semacam itu. Selain itu, kita juga mesti
mencontohkan kepada dunia bahwa kita sendiri amat telm dan cermat dalam hal
penggunaan harta baitul mal serta tidak sampai melakukan pemborosan dan
kemubaziran. Darinva pula, kita bisa membuat perbandingan antara pemimpin
pemerintahan Islam dan pemimpin pemerintahan lainnya.
Dilema Meraih Kebaikan
Rumah salah seorang penduduk Madinah mengalami
kecurian. Dalam kasus tersebut, terdapat dua orang tertuduh; seorang Muslim dan
seorang Yahudi. Kemudian keduanya dibawa menghadap Rasul saww. Orang-orang
Islam merasa risau kalau-kalau si Muslim itulah pencurinya. Sebab, kalau memang
benar demikian, akan habislah nama baik kaum Muslimin di mata orang-orang
Yahudi.
Dengan bergegas, mereka mendatangi Rasul saww
dan mengatakan, "Harga diri Muslimin tengah dalam bahaya. Usahakanlah agar
orang Muslim itu terlepas dari tuduhan!" Namun Rasul saww yakin bahwa
penjatuhan hukuman dengan cara tidak benar justru akan memalukan dan melecehkan
Islam. Mereka mengatakan, "Selama ini, orang-orang Yahudi telah banyak
berbuat zalim kepada kita.
Seandainya orang Yahudi (yang dijadikan tertuduh)
ini mendapat perlakuan zalim, itu masih belum seberapa dibandingkan dengan
kezaliman yang telah mereka lakukan selama ini!" Rasul saww bersabda, "Pertimbangan
dalam masalah hukuman dan keadilan, berbeda dengan pertimbangan berdasarkan
kekecewaan di masa lalu."
Tak lama dari itu, mulailah beliau memeriksa
kedua tersangka tersebut. Dan ternyata, hasilnya bertolak belakang dengan
harapan kaum Muslimin; orang Yahudi tersebut terbebas dari tuduhan! Ini
merupakan contoh dari praktik keadilan yang mengagumkan. Anggapan kaum Muslimin
waktu itu bahwa hasil tersebut akan menjatuhkan harga diri umat Islam terbukti
keliru. Malah, ketegasan serta kejujuran tersebut akan menjadikan keadilan dan
Islam kian terhormat dan berwibawa.
Karenanya, kita harus memikirkan keadaan
(kehormatan dan keagungan) agama dan tidak menambah atau menguranginya (agama)
demi menguntungkan seseorang atau kelompok tertentu.
Pengharapan Salah Tempat
Sekelompok orang yang melintas di depan majelis
Nabi saww, melihat adanya sejumlah orang yang tidak berharta, fakir, dan miskin
seperti Ammar bin Yasir dan Bilal. Dengan penuh keheranan, mereka bertanya
kepada Nabi saww, "Apakah engkau merasa cukup dengan orang-orang semacam
ini? Segera jauhkan mereka dari sekelilingmu, niscaya kami akan condong kepadamu!"
Setelah menukil peristiwa itu, penulis tafsir
al-Manar menambahkan bahwa Umar bin Khattab menunjukkan kecondongan pada usulan
orang-orang kaya Quraisy tersebut, dengan mengatakan kepada Nabi saww, ''Demi
menguji kebenaran ucapan mereka, usirlah orang-orang miskin ini dari sisimu,
lalu kita lihat apakah mereka akan condong atau tidak? Apakah mereka menepati
ucapannya atau tidak?"
Kemudian, turunlah ayat sebagai peringatan
kepada Nabi saww, "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang
menyembuh Tuhannya pagi dan petang, sedang mereka menginginkan
keridhaan-Nya...."
Janganlah engkau mengusir mereka yang di pagi
dan malam hari senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhannya. Mereka tidak melihat
yang lain kecuali Zat Yang Mahasuci. Pada akhir ayat tersebut, Allah
memfirmankan bahwa seandainya engkau mengusir orang-orang mukmin tersebut, maka
engkau tergolong orang-orang yang zalim; ".. sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim".[25]
Larangan Menganggap Enteng
Suatu ketika, dua orang anak kecil membuat dua
bentuk tulisan. Kemudian keduanya meminta Imam Hasan menilai bentuk tulisan
mereka masing-masing. Andaikata permintaan itu diajukan kepada orang
biasa-biasa saja, tentu akan dianggap enteng.
Sebabnya, pertama, penilaian yang
dilakukan hanya berkisar pada bentuk kedua tulisan tersebut. Kedua, keduanya
(yang mengajukan permintaan) tak lain dari dua orang anak kecil. Seyogianya,
pemberian nilai terhadap apapun harus dilakukan secara adil dan bijaksana.
Sekalipun terhadap (karya) anak-anak kecil,
Imam Ali berpesan kepada puteranya, Imam Hasan al-Mujtaba, untuk benar-benar
berhati-hati dalam memberikan penilaian. Sebab, penilaian yang diberikan
sekarang ini akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat oleh Allah
Swt." Lihatlah bagaimanakah kamu memberikan keputusan karena
sesungguhnya keputusan ini, Allah akan mempertanyakannya pada hari kiamat".[26]
Seputar Perselisihan Antartamu
Pada suatu hari, seseorang bertamu ke rumah
Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, tak lama berselang, terjadilah perselisihan
antara dirinya (tamu itu) dengan temannya.
Dalam keadaan demikian, ia menemui Imam Ali
sendirian (tanpa disertai teman berselisihnya) dan menjelaskan peristiwa yang
telah terjadi. Imam Ali berkata; "Sebelum ini engkau adalah tamuku,
namun sekarang engkau menjadi salah satu pihak yang bertikai. Keluarlah dari
sini karena Rasul saww bersabda, 'Janganlah engkau menerima sebagai tamu salah
satu dari dua orang yang saling bertikai, melainkan yang lain pun juga ikut serta.'"
Memang, terdapat ketentuan tersendiri dalam hal
penerimaan tamu, begitu pula dalam hal mengadili; menerima tamu dilandasi rasa
kasih sayang, sedangkan mengadili didasari undang-undang.
Hendaklah kalian menjauhkan diri dari berbagai
bentuk perasaan dan kejiwaan yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu —sekalipun
hanya sekian persen saja—terhadap upaya untuk mengadili dan menegakkan
keadilan.[27] Imam Ali pernah berpesan kepada para petugas pengumpul pajak agar
ketika bertugas ke daerah mana saja tidak sampai memasuki rumah seseorang.
Mereka dinasihati untuk menunggu di samping
atau halaman rumah (orang yang ditagih pajaknya). Sebab, kalau sampai bertamu,
besar kemungkinan usaha mereka dalam menarik pajak masyarakat akan menjadi
terpengaruh.[28]
Secara tegas, al-Quran menentang seseorang yang
mengutamakan orang lain tanpa alasan yang jelas dan memadai. Ketika ayat
al-Quran diturunkan, sedikit demi sedikit orang-orang tertarik ke arahnya
(al-Quran). Pada saat bersamaan, Rasul saww dan sebagian Muslirnin senantiasa
berusaha mengenalkan dan mengajak masyarakat memeluk lslam.
Pada suatu hari, terjadi sebuah pertemuan yang
dihadiri para tokoh masyarakat. Tatkala perbincangan (yang dimaksudkan untuk
rnengajak orang-orang agar menerima Islam itu) dimulai, datanglah seorang buta
dan memotong pembicaraan. Ternyata, bukan hanya sekali saja hal itu dilakukan,
melainkan berulang-kali.
Perbuatan orang buta tersebut tidak disukai
orang yang tengah berbicara, yang karenanya menunjukkan muka masam (cemberut);
ia tidak menyukai kedatangan orang buta itu pada saat-saat menentukan semacam
itu —dan seandainya diperkenankan hadir dalam pertemuan itu, semestinya ia
terlebih dahulu berdiam diri.
Sekalipun tidak begitu berbeda antara
menunjukkan muka masam atau muka manis terhadap orang buta, namun dalam surah
Abasa, al-Quran memperingatkan orang bermuka masam tersebut bahwa sesungguhnya
ia tidak mengetahui kalau orang buta itu mungkin memiliki kesiapan yang justru
melebihi para tokoh dalam hal menerima kebenaran dan kesucian diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar