1. Pengantar
Secara umum,
suatu siaran radio dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) jenis yaitu siaran
hiburan yang berisi hal-hal yang dapat dinikmati pendengar sebagai sesuatu yang
menghibur, dan jenis yang kedua adalah siaran berita yang memuat
informasi-informasi untuk pendengar.
Muatan siaran yang kedua sering dikaitkan dengan pers atau
jurnalistik. Oleh karena itu
penyelenggaraan radio siaran swasta dan televisi juga harus memperhatikan
aturan-aturan yang berkaitan dengan kegiatan pers dan kegiatan jurnaslistik.
Sesuai dengan
pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (selanjutnya
disebut UU Pers), disebutkan bahwa Perusahaan Per adalah badan hukum Indonesia
yang menyelenggarakan usaha pers yang meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara
khusus menyelanggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi. Berdasarkan pengertian tersebut secara tegas
terdapat kelompok media elektronik sebagai perusahaan pers. Media elektronik tersebut salah satunya
adalah radio siaran swasta. Artinya,
radio siaran swasta harus pula patuh terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam
UU Pers.
2. Kebebasan
Pers
Untuk lebih
memahami hal-hal yang diatur dalam UU Pers kaitannya penyelenggaraan radio
siaran swasta, sebelumnya akan dibahas dahulu secara singkat tentang
Kemerdekaan Pers. Hal ini diperlukan agar lebih mudah memahami
muatan dalam UU Pers. Kemerdekaan Pers
atau dikenal juga dengan Kebebasan Pers adalah kebebasan yang dibarengi dengan
kewajiban-kewajiban. Dengan kata lain,
tuntutan kebebasan tersebut harus pula memikul kewajiban atau tanggungjawab
tertentu sehingga kebebasan pers berlaku tanpa batas.[1] Maksud dan tujuan Kebebasan Pers di
Indonesia adalah menciptakan pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan
bertanggung jawab guna mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat
terbuka yang demokratis dengan mekanisme interaksi positif antara pers,
pemerintah dan masyarakat.[2]
Pengaturan tentang pers yang berkaitan dengan radio siaran swasta terdapat
dalam beberapa pasal dalam UU Pers yaitu Pasal 2, tentang Kemerdekaan Pers ;
Pasal 7, tentang wartawan dan kode etik jurnalistik ; Pasal 13, tentang
ketentuan periklanan ; Pasal 18, tentang ketentuan pidana. Tentang Kemerdekaan Pers telah disinggung
sebelumnya, sedangkan tentang wartawan
dalam pasal 7 ayat (1) UU Pers disebutkan bahwa wartawan bebas memilih
organisasi wartawan. Dalam hal ini yang dimaksud wartawan di radio siaran
swasta adalah wartawan yang disebut wartawan elektronik, meskipun sampai saat
ini masih terdapat kerancuan siapa-siapa saja yang dikelompokkan sebagai
wartawan elektronik. Namun, yang
terpenting adalah semua pihak yang disebut sebagai wartawan harus mematuhi kode
etik jurnalistik dan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat
perlindungan hukum.[3]
Untuk ketentuan periklanan dalam pasal 13, disebutkan bahwa larangan memuat
iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atai mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan
masyarakat. Disamping itu, dilarang adanya iklan yang menawarkan minuman keras,
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan serta peragan wujud rokok dan atau penggunan rokok. Berkaitan dengan ketentuan pidana dalam pasal
18 UU Pers, disebutkan adanya ancaman pidana untuk pelanggaran-pelanggaran
pasal-pasal tertentu dalam UU Pers.
3. Hak Tolak,
Hak Jawab dan Hak Koreksi
Substansi lain juga berkaitan dengan radio siaran swasta adalah adanya Hak
Tolak, Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Menurut pasal 1 butir 10 UU Pers, Hak Tolak adalah hak wartawan
karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya
dari sumber berita yang yang harus dirahasiakan. Pengertian Hak Jawab termuat dalam
pasal 10 butir 11 UU pers adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya. Untuk Hak
Koreksi dimuat dalam pasal 10 butir 12 UU Pers yang menyebutkan bahwa hak
tersebut adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membentulkan kekeliruan
informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang
lain, selain itu kaitannya dengan Hak Koreksi adalah Kewajiban koreksi yang
pengertiannya termuat dalam pasal 10 butir 13 UU Pers yaitu keharusan melakukan
kpreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar
yang tidak benar yang telah dineritakan oleh pers yang bersangkutan.
Mekanisme Penyelesaian Masalah Pemberitaan Pers
Jumat, 09 Pebruari 2007
16:39
Oleh R.H. Siregar
Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003, 2003-2006
Sampai sekarang belum ada jalan keluar yang dapat menuntaskan penyelesaian masalah atau penanganan perkara akibat pemberitaan pers. Karena mekanisme yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UUPers) dalam menyelesaikan masalah akibat pemberitaan pers selain belum memuaskan, juga masih diperdebatkan. Di satu sisi kalangan pers menginginkan supaya kekeliruan dan atau kesalahan yang terjadi dalam pemberitaan pers diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai ketentuan UUPers. Tapi pada sisi lain aparat penegak hukum umumnya cenderung menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana karena pengaturannya dalam UUPers tidak lengkap.
Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003, 2003-2006
Sampai sekarang belum ada jalan keluar yang dapat menuntaskan penyelesaian masalah atau penanganan perkara akibat pemberitaan pers. Karena mekanisme yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UUPers) dalam menyelesaikan masalah akibat pemberitaan pers selain belum memuaskan, juga masih diperdebatkan. Di satu sisi kalangan pers menginginkan supaya kekeliruan dan atau kesalahan yang terjadi dalam pemberitaan pers diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai ketentuan UUPers. Tapi pada sisi lain aparat penegak hukum umumnya cenderung menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana karena pengaturannya dalam UUPers tidak lengkap.
Mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers masih diperdebatkan
karena ada pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme Hak Jawab dan Hak
Koreksi menurut UUPers tidak mengikat. Mekanisme itu hanya mengikat pihak pers
sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) UUPers yang mewajibkan pers melayani
Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sedangkan pihak di luar pers sama sekali tidak
terikat untuk melaksanakannya. Sebab yang namanya “hak”, maka tergantung yang
bersangkutan apakah akan mempergunakan haknya atau tidak. Demikian juga
beberapa pertimbangan hukum majelis hakim mengatakan, bahwa pelaksanaan Hak
Jawab dan Hak Koreksi tidak menyebabkan hilangnya gugatan perdata dan tuntutan
pidana.
Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan supaya anggota masyarakat lebih dulu
menempuh mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UUPers sebelum menempuh
proses hukum apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers.
Lagi pula kalangan masyarakat sering mengeluh mengingat pelaksanaan Hak Jawab
kurang memuaskan. Di samping itu, juga tidak efektif karena penempatan Hak
Jawab sering kurang proporsional dan terlambat memuatnya. Lagi pula seperti
dikeluhkan Letjen TNI Djadja Suparman ada kecenderungan pers menerapkan
cara-cara pemberitaan “pukul dulu urusan belakangan”. Artinya beritakan dulu
apa adanya, soal kemudian ada koreksi dan atau pelurusan berita, itu
urusan nanti. Cara-cara inilah oleh berbagai pihak dikualifikasi sebagai
character assassination atau pembunuhan karakter.
Memang harus diakui, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh
UUPers menjadi masalah karena kedua hak itu yang tadinya merupakan norma
etik menjadi norma hukum. Sebelum kedua hak itu ditetapkan menjadi norma hukum,
maka sebagai norma etik dengan dilaksanakannya Hak Jawab dan Hak Koreksi,
penyelesaian masalah telah dianggap selesai. Akan tetapi dengan ditetapkannya
Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai norma hukum dalam hukum positif, maka
penyelesaian masalah menurut norma etik tidak menutup kemungkinan penyelesaian
secara hukum sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPers.
Bahkan sebenarnya dengan dimasukkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi menjadi
ketentuan hukum positif sangat memberatkan pers karena UUPers menetapkan
apabila pers tidak melaksanakan Hak Jawab diancam pidana denda maksimal Rp. 500
juta. Padahal sesuai ketentuan kode etik, apabila Hak Jawab tidak dilaksanakan
dikenakan sanksi moral, namun sanksi itu berubah menjadi pidana sekalipun
berupa denda. Pembentuk UU sendiri dalam hal ini sebenarnya tidak adil, karena
kalau Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers sebagaimana mestinya, tidak ada
imbalan atau kompensasi dengan menyatakan tertutup kemungkinan mengajukan
persoalan yang sama ke pengadilan.
Dengan demikian, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers
tersebut menjadi kurang efektif. Sebab, tidak ada kewajiban kalangan masyarakat
untuk menempuh mekanisme dimaksud. Di sini terasa sekali pembentuk UU bersikap
mendua (ambivalen). Kalau pembentuk UU mau fair, maka seharusnya tidak
hanya pers yang wajib melayani Hak Jawab, tapi masyarakat juga wajib menempuh
mekanisme Hak Jawab apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam
pemberitaan pers.
Di samping berbagai kendala seperti dikemukakan di atas, mekanisme
penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers seperti diatur dalam UUPers
tersebut tidak mencapai sasaran. Tidak lain karena pembentuk UUPers sebenarnya
tidak menghendaki UUPers sebagai lex specialis dalam konteks adagium hukum yang
mengatakan lex specialis derogat legi generali. Bahkan sebenarnya pembentuk
UUPers justru mentolerir masuknya peraturan perundang-undangan lain dalam
kaitan dengan perkara pers. Beberapa bukti untuk itu dapat disebut sebagai
berikut.
- Dalam Penjelasan Umum UUPers pada alinea terakhir ditegaskan, “untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dengan rumusan seperti itu jelas sekali bahwa pembentuk UUPers tidak berkehendak produknya bersifat mandiri. Dengan kata lain, pembentuk UU mengundang masuknya atau berlakunya peraturan perundang-undangan lain berkenaan dengan perkara pers.
- Alinea terakhir Penjelasan Pasal 12 UUPers menyatakan, “sepanjang menyangkut pertanggung jawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Itu berarti kalau ada tuntutan pidana, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan lain, seperti KUHPidana dan KUHAP, bukan UUPers. Kembali di sini terbukti bahwa pembentuk UUPers tidak menginginkan produk legislatif ini bersifat mandiri atau dijadikan sebagai lex specialis.
- Penjelasan Pasal 8 UUPers menegaskan, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan Penjelasan Pasal 8 ini juga menunjukkan pengakuan pemberlakuan ketentuan lain.
- Penjelasan Pasal 9 UUPers mengenai kesempatan bekerja termasuk mendirikan perusahaan pers, juga ditegaskan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Penjelasan Pasal 11 UUPers mengenai penambahan modal asing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jelaslah bagi kita bahwa sejak semula pembentuk UUPers tidak menginginkan
produk legislatif yang satu ini dikualifikasi sebagai lex specialis.
Idealnya UUPers merupakan lex specialis. Yaitu UUPers yang bersifat khusus
meniadakan UU bersifat umum, seperti KUHPidana. Akan tetapi untuk menjadi lex
specialis, mau tidak mau UUPers yang berlaku sekarang harus direvisi atau
disempurnakan. Penulis sendiri termasuk orang yang sejak semula menghendaki
supaya UUPers merupakan lex specialis. Ketika pada tahun 1979 dibentuk Tim
Naskah Akademis Penyempurnaan UUPers (UU No. 11 Tahun 1966) oleh Menteri
Kehakiman, Prof. Oemar Seno Adji, penuslis termasuk salah seorang anggota tim
di samping S.Tasrif (almarhum), Jakob Oetama dan diketuai oleh Kepala
BPHN, Dr. JCT Simorangkir SH (almarhum) yang merekomendasikan menjadikan
UUPers sebagai lex specialis.
Untuk itu, semua jenis delik pers yang terdapat dalam KUHPidana dimasukkan
ke dalam UUPers yang disempurnakan, tapi dengan modifikasi. Antara lain
menetapkan pencemaran nama baik sebagai perkara perdata tidak lagi merupakan
perkara pidana. Selain itu, paradigma pemenjaraan wartawan akibat kekeliruan
dan atau kesalahan dalam pemberitaan yang dianut oleh KUHPidana buatan
pemerintah kolonial Belanda diganti dengan pidana denda. Jadi tidak ada lagi
kriminalisasi atau pemidanaan masuk penjara atas karya jurnalistik.
Dalam hubungan ini, kalangan pers yang menginginkan pemberlakuan UUPers berkaitan dengan penyelesaian perkara pers, tidak bisa disalahkan, bertolak dari pemahaman bahwa UUPers adalah UU bersifat khusus. Sebaliknya, anggota masyarakat dan aparat penegak hukum umumnya yang cenderung mempergunakan pasal-pasal KUHPidana dalam penyelesaian perkara pers, juga tidak bisa disalahkan, karena bertolak dari pemikiran bahwa UUPers bukan lex specialis atas KUHPidana.
Dikatakan demikian karena UUPers belum memenuhi syarat menjadi lex specialis. Menurut berbagai pemikiran yang dihimpun dan menurut ketentuan KUHPidana, maka paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya suatu UU dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
Dalam hubungan ini, kalangan pers yang menginginkan pemberlakuan UUPers berkaitan dengan penyelesaian perkara pers, tidak bisa disalahkan, bertolak dari pemahaman bahwa UUPers adalah UU bersifat khusus. Sebaliknya, anggota masyarakat dan aparat penegak hukum umumnya yang cenderung mempergunakan pasal-pasal KUHPidana dalam penyelesaian perkara pers, juga tidak bisa disalahkan, karena bertolak dari pemikiran bahwa UUPers bukan lex specialis atas KUHPidana.
Dikatakan demikian karena UUPers belum memenuhi syarat menjadi lex specialis. Menurut berbagai pemikiran yang dihimpun dan menurut ketentuan KUHPidana, maka paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya suatu UU dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
- Untuk menjadi lex specialis, rezim hukumnya harus sama. Misalnya sama-sama rezim hukum pidada. Itu berarti rezim hukum perdata tidak mungkin menjadi lex specialis terhadap rezim hukum pidana. Sedangkan UUPers rezim hukumnya tidak jelas karena berisikan berbagai rezim hukum seperti perdata, pidana, hukum acara, HAKI, Cyber-law dan lain-lain. Karena itu UUPers perlu disempurnakan supaya dapat dijadikan sebagai lex specialis terhadap KUHPidana.
- Harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh dua aturan yang berbeda (vide Pasal 63 KUHPidana). Jadi dikaitkan dengan UUPers harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh UUPers, juga dilarang oleh KUHPidana. Sebagai contoh, larangan penghinaan yang diatur dalam KUHPidana juga harus diatur dalam UUPers. Tapi ternyata tindak pidana penghinaan hanya diatur oleh KUHPidana, tidak diatur oleh UUPers. Oleh karena itu, kalau ada pengaduan ke pihak kepolisian tentang penghinaan, mau tidak mau memakai Pasal 310 KUHPidana, karena tidak diatur dalam UUPers. Dari segi ini pun jelas sekali bahwa UUPers tidak memenuhi syarat untuk dijadikan lex specialis terhadap KUHPidana.
- Ancaman hukuman UU bersifat lex specialis jauh lebih berat dari UU bersifat umum. Contohnya, Pasal 339 dan Pasal 340 KUHPidana. Atau UU Anti Korupsi dan UU Anti-terorisme terhadap KUHPidana, ancaman hukuman UU bersifat khusus tersebut jauh lebih berat dari ancaman hukuman UU bersifat umum (KUHPidana). Sedangkan UUPers seperti diketahui ancaman hukumannya maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
Lantas bagaimana jalan keluar atau perundang-undangan mana yang diterapkan
dalam hal terjadi masalah akibat pemberitaan pers. Seperti dikemukakan di atas,
idealnya adalah menerapkan UUPers sebagai lex specialis. Untuk itu, maka UUPers
yang berlaku sekarang harus disempurnakan. Dan dalam penyempurnaan itu pun
harus menjadi jelas menyangkut pertanggungjawaban pidana pers. Sebab menurut
UUPers yang berlaku sekarang dikaitkan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana
menurut KUHPidana terdapat perbedaan, sehingga terkesan terjadi dualisme.
Di samping itu, prinsip ultimum remidium dalam perkara pidana perlu
diterapkan dalam penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers. Dengan prinsip
ini, maka penerapan pasal-pasal pidana merupakan upaya terakhir. Itu berarti,
kalau masih ada upaya hukum yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah,
maka ketentuan itulah yang lebih dulu dipergunakan. Dengan demikian, seyogianya
diupayakan dulu penyelesaian masalah menurut UUPers, tidak langsung
begitu saja mengancam pasal-pasal pidana, lebih-lebih berkenaan dengan masalah
yang timbul akibat pemberitaan pers.*
(Tulisan ini merupakan makalah RH Siregar yang disampaikan dalam
beberapa diskusi)
Resume Materi PKn *
Oleh Edhuard Eddy
Widodo Inshani
PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRASI
(Materi PKn kelas XII IA-IS SMA semester Genap)
1. Pengertian
Pers berasal dari bahasa Belanda, yang artinya menekan atau
mengepres. Sedangkan press dari bahasa Inggris dan Amerika. Pers
dan press mempunyai arti yang sama yakni menekan atau mengepres.
Naskah atau berita yang dimuat di surat kabar atau majalah diartikan sebagai
masuk dalam pers. Kata pers atau press berasal dari cara
kerja percetakan pada jaman dahulu. Menurut Simorangkir arti pers
adalah :
a. pers dalam arti sempit, hanya terbatas pada media cetak
b. pers dalam arti luas, bukan saja menyangkut media cetak tetapi juga media
elektronik
2. Fungsi dan Peranan Pers
Secara umum fungsi pers adalah sebagai berikut :
a. Memberi informasi, dengan membaca surat kabar, majalah,
tabloid, melihat TV atau mendengarkan radio masyarakat dapat memperoleh
berbagai informasi yang beraneka ragam, baik dari dalam maupun dari luar
negeri.
b. Mendidik, tulisan yang dimuat pers dapat mendidik
masyarakat atau pembacanya dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
c. Memberi control, pers dapat melaksanakan atau memberikan
control social dan menyampaikan berbagai kritik yang konstruktif dan bermanfaat
bagi masyarakat luas. Karena besarnya pengaruh pers dalam mempengaruhi opini
public dapat dikatakan pers merupakan kekuatan atau pilar ke empat dalam system
demokrasi yang patut diperhitungkan setelah legislative, eksekutif, dan
yudikatif.
d. Menghubungkan atau menjebatani, sebagai
penghubung/jembatan antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya,
lebih-lebih bila melalui jalur kelembagaan tidak tersalurkan.
e. Memberi hiburan, bukan hal-hal yang lucu saja tetapi
dalam arti yang lebih luas lagi, seperti memberi rasa puas, menyenangkan, dan
membanggakan.
g. Sebagai lembaga ekonomi.
Menurut UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pasal 6 bahwa peranan pers
nasional adalah :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan demokrasi, supremasi hukum, dan HAM serta menghormati
kebhinnekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
3. Masyarakat Demokrasi
Secara umum demokratis bermakna bahwa segala sesuatu dalam masyarakat itu
dilakukan dari, oleh, dan untuk semua anggotanya. Semua dilakukan berdasarkan
aturan hukum yang disepakati.
Ciri-ciri pemerintahan negara yang menganut rule of
law :
a. melindungi atau menjamin hak asasi warga negara
b. mempunyai perwakilan rakyat yang representative
c. anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis
d. adanya pendidikan kewarganegaraan (civics education )
e. masa jabatan pemegang pemerintahan dibatasi oleh periode tertentu
Pers dalam menyampaikan informasi tidak akan dilakukan secara vulgar dan
sebebas-bebasnya, tetapi dengan memperhatikan asas kelaziman informasi, yaitu
asas praduga tak bersalah dalam berita kasus pidana. Contoh pemberitaan nama
tersangka ditulis inisialnya saja, korban atau pelaku kejahatan ditampilkan
dalam bentuk agak dikaburkan atau tertutup matanya. Semua itu dalam rangka
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
DPR yang representative, artinya yg benar-benar mencerminkan sebagai wakil
rakyat, suaranya akan didengar dan diketahui oleh masyarakat melalui pers.
Ciri-ciri masyarakat demokratis :
a. sikap hidup warganya terbuka
b. kritis terhadap informasi
c. tidak mudah terprovokasi
d. memiliki sikap tenggang rasa dalam kebersamaan
e. menghargai nilai-nilai kemanusiaan
4. Pers dalam Masyarakat Indonesia yang Demokratis
a. Sistem Pers Komunis
Sistem ini berlaku di Eropa Timur, terutama sebelum runtuhnya Uni Soviet,
seperti Rusia, Bulgaria, Cekoslovakia, dan RRC. Di sini pers berfungsi sebagai
sarana propaganda dan alat perjuangan faham komunis. Beritanya mencerminkan
nilai-nilai komunisme. Pers dikelola dan dimodali oleh pemerintah atas nama
negara. Kebebasan pers tidak ada, kontrol sosial sangat kecil sekali. Jadi
dalam sistem ini pers relatif bersifat otoriter.
b. Sistem Pers Liberalis
Hak kebebasan pers benar-benar dijamin keberadaannya selaras dengan
paham liberalisme, tulisannya bahkan kadang-kadang berbeda dengan kepentingan
masyarakat atau pemerintah. Pemodal pers bisa dari pemerintah atau swasta, atau
dari keduanya. Kontrol sosial benar-benar berlaku bebas, seperti kritik-kritik
tajam baik ditujukan kepada perseorangan, lembaga, maupun pemerintah. Sistem
ini berlaku di Australia, Inggris, dsb.
c. Sistem Pers Kapitalis
Perkembangan kapitalisme tidak dapat dipisahkan dengan liberalisme, namun
dalam sistem pers terdapat perbedaan. Keberadaan pers di negara kapitalis
berfungsi mendukung kelangsungan hidup idiologi kapitalis tsb.
Individualisme dijunjung tinggi, hal ini memunculkan kebebasan
mengembangkan usaha sendiri/swasta, sehingga mampu bersaing secara bebas ( free
fight liberalism ). Dalam bidang usaha/ekonomi berlaku homo homini
lupus yakni yang kuat dapat bertahan hidup, dan yang lemah akan kalah
dan mati, demikian pula pers. Di sini pers diselenggarakan pihak swasta pemilik
modal sehingga pemerintah sulit mengontrol pers. Pers berfungsi sebagai media
bisnis dan strategis. Contoh sistem pers Amerika Serikat.
d. Sistem Pers Bertanggung jawab
Sistem pers ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa manusia adalah mahluk
sosial dan bahwa setiap manusia melekat pada dirinya hak asasi yang tidak bisa
dilaksanakan dengan mutlak.
1) Pers dan Masyarakat Saling Membutuhkan, pers butuh
pembaca sebagai sumber pemasukan baik dari iklan maupun pemasaran, masyarakat
butuh informasi dan juga penyebaran informasi. Kewajiban dan tanggung jawab
pers tercantum dalam kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia,
juga undang-undang pers dan peraturan hukum lainnya.
2) Hak Jawab atas Suatu Berita, hak jawab adalah hak
yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh
tulisan pada sebuah atau beberapa penerbitan. Hak jawab ini ditujukan kepada
media yang merugikan seseorang agar memuat bantahan dari mereka yang dirugikan.
Tentang hak jawab, pasal 4 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa setiap
pemberitaan yang ternyata tidak benar harus dicabut atau diralat, dan pihak
yang dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab atau memperbaiki
pemberitaan yang dimaksud.
3) Hak Tolak, hak tolak disebut juga hak ingkar
wartawan. Hak tolak tidak berlaku dalam kaitannya dengan hal-hal yang
membahayakan kepentingan negara. Hak tolak jika ada orang merasa dirugikan oleh
pemberitaan media massa, biasanya yang bersangkutan penasaran ingin tahu sumber
berita itu dan siapa yang membocorkan informasi itu melalui media massa.
Kemudian orang yng merasa dirugikan tadi menghubungi media massa yang memuat
berita itu untuk mengetahui sumber beritanya. Pihak redaksi tidak bersedia
memberitahukannya, karena wartawan mempunyai kewajiban menyimpan rahasia,
seperti nama, jabatan, alamat atau identitas lainnya dari orang yang menjadi
sumber informasinya. Hak tolak juga dimiliki oleh profesi lainnya seperti
dokter, rohaniwan, dan notaris ( pasal 120 / 2 KUHP ) ”Dapat menolak
untuk memberikan keterangan yang diminta”
5. Perkembangan Pers di Indonesia
Pada tanggal 7 Agustus 1774 terbit surat kabar pertama ”Bataviasche Novelles
en Politique Raisonemnetan”. Muncul beberapa surat kabar berbahasa
Melayu, Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907).
Surat kabar Tionghoa pertama kali muncul adalah Li Po (1901), kemudian Sin Po
(1910).
Koran pertama yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan dan Maklumat
Komite Nasional Indonesia adalah ”Soeara Asia” (18 Agustus 1945). Berita
ini oleh Jepang diperintahkan dicabut tetapi redaksinya membangkang dan
akhirnya berita itulah yg menggelorakan semangat kemerdekaan di tanah air.
Sesudah itu surat kabar nasional yang memuat teks proklamasi adalah
”Tjahaja” (Bandung), ”Asia Raya”(Jakarta), ”Asia Baroe” (Semarang), dan ”Soeara
Asia”(Surabaya). Pada tanggal 22 Agustus 1945 semua surat kabar nasional
memberitakan pengumuman resmi penguasa militer Jepang di Indonesia mengenai
penyerahan kekuasaan secara resmi dari tangan Jepang.
Sejalan dengan perkembangan politik dan letatanegaraan Indonesia, dunia pers
kita mengalami berbagai sistem :
a. Tahun 1945 – 1956 dianut sistem pers liberal dengan demokrasi
liberal
b. Tahun 1956 – 1960 dianut sistem pers otoriter dengan demokrasi
terpimpin
c. Tahun 1960 – 1965 dianut sistem pers quasi komunisme markisme dalam
pemerintahan
Dalam masa pemerintahan Orde Baru berlaku sistem pers :
a. Tahun 1967 – 1975 dianut sistem pers Indonesia yang bebas (hanya 8
tahun)
b. Tahun 1975 – 1997 dianut sistem pers otoriter (terjadi pemusatan
politik )
Di masa Reformasi (pasca orde baru) :
- pers mengalami kebebasan
- kehidupan politik diwarnai
multi partai seperti halnya dalam demokrasi liberal
- sistem perijinan dicabut
sehingga semua orang berhak menerbitkan media massa
- bahkan pada masa Gusdur
departemen penerangan dihapus dengan alasan pers harus melaksanakan swakelola
karena pers merupakan milik publik sehingga publiklah yang mengatur pers itu
sendiri.
Sistem pers yang ideal adalah yang didasarkan pada sistem idiologi dan
kultur kebudayaan sendiri, yaitu Pancasila. Sistem Pers Pancasila adalah sistem
yang bebas dan bertanggung jawab (kebebasan yang disertai pertanggungjawaban
sosial)
Fungsi dan peran pers di negara Pancasila :
a. sebagai media penyampai informasi yang efektif
b. sarana komunikasi dan penyampai informasi yang bertanggung jawab
Berita yang ideal ialah :
1. bersumber pada fakta yang benar dan disusun secara wajar
2. tidak didramatisasi sehingga dapat menyusahkan sumber berita,
kesimpangsiuran, bahkan konflik sosial
3. beritanya obyektif, enak dibaca oleh semua pihak.
6. Kode Etik Jurnalistik dan Asas-asasnya
Etika dan hukum belum otomatis menjamin terwujudnya pers yang tanpa cela,
pengelola pers juga membutuhkan profesionalisme. Kode etik adalah norma
yang berlaku dan disepakati dalam suatu profesi tertentu. Kode Etik
Jurnalistik PWI ialah suatu kode etik profesi wartawan Indonesia yang harus
dipatuhi. Hukum ialah seperangkat aturan yang dibuat, disahkan, serta
dikeluarkan dan dipaksakan berlakunya oleh negara, mengikat secara hukum kepada
semua warga negara dan dikenai sanksi bagi pelanggarnya.
Perbedaan Kode Etik dan hukum :
No
|
Aspek
|
Kode etik
|
Hukum
|
1
|
Sanksi bagi pelanggarnya
|
Mengatur tanpa disertai sanksi yang
konkret bagi pelanggarnya (sanksi bersumber dari nurani pelaku pelanggaran)
|
Mengatur dan mempunyai sanksi konkret dan
tegas dan diatur dalam UU (hukuman fisik)
|
2
|
Daya jangkauan
|
Terbatas pada kalangan tertentu saja,
norma yang berlaku khusus di kalangan profesi tertentu
|
Berlaku dan mengikat semua warga negara
(hukum yang bersifat publik)
|
3
|
Prosedur pembuatannya
|
Diputuskan oleh pranata (organisasi
profesi) yang bersangkutan sesuai aturan organisasi.
|
Dibuat oleh organ negara yang diberi
wewenang sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
|
7. Asas-asas Kode Etik Jurnalistik PWI
a. asas profesionalistas
1) tidak memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah
2) berimbang, adil dan jujur
3) mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum
4) mengetahui teknis penulisan yang tidak melanggar asas praduga tak
bersalah serta
tidak merugikan korban kesusilaan
5) mengetahui kredibilitas nara sumber
6) sopan dan terhormat dalam mencari berita
7) tidak melakukan plagiat
meneliti semua kebenaran bahan
berita terlebih dahulu
9) tanggung jawab moral besar ( mencabut sendiri berita yang salah walaupun
tanpa
ada permintaan.
b. asas nasionalisme
1. prioritas kepentingan umum, mendahulukan kepentingan nasional
2. pers bebas mengkritik pemerintah sepanjang hal itu untuk kepentingan
nasional
3. mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara
4. memperhatikan keselamatan keamanan bangsa
5. memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa
c. asas demokrasi
1. pers dapat berisi promosi tetapi pers tidak boleh menjadi alat propaganda
2. harus cover both side
3. harus jujur dan berimbang
d. asas religius
1. dalam pemberitaannya tidak boleh melecehkan agama
2. menghormati agama, kepercayaan, dan keyakinan agama lain
3. beriman dan bertakwa
8. Kode Etik Periklanan
a. publikasi reklame dengan maksud memperkenalkan / memberitahukan sesuatu
melalui media massa ( pers )
b. harus bersifat membangun, bermanfaat, bermoral
c. harus melindungi hak dan kehormatan publik
d. 1. iklan ditolak atau dibatalkan karena :
1) tidak jujur, menipu, menyesatkan, dan merugikan baik secara moral maupun
umum
2) melanggar hukum
3) merusak pergaulan, kepribadian, dan martabat seseorang
4) merusak kepentingan nasional
5) bertentangan dengan kode-kode profesi golongan lain
6) iklan politik yang destruktif
2. dijamin tidak bocor sebelum dimuat
3. diutamakan iklan yang mengabdi kepada kepentingan umum
4. diwajibkan meralat kembali iklan yang salah pasang
5. mencabut iklan-iklan dengan alamat palsu dengan itikad tidak baik
e. harus jelas ditandai dengan kata-kata ”Ini adalah iklan”
f. pers berhak menolak iklan yang menyalahi penerbitan pers dan kode etik
periklanan ini
g. pemasangan iklan harus dengan persetujuan pemasang iklan ybs.
h. 1. perusahaan pers mengenal adanya biro iklan dan kolportir
2. biro iklan harus mendapat pengakuan dari organisasi pers ybs. dan
kolportir oleh satu
atau lebih perusahaan surat kabar
i. pengawasan penataan iklan dilakukan oleh dewan kehormatan SPS .
9. Upaya Pembinaan Pers yang Bebas dan Bertanggung jawab
Pers dipegang/dikuasai pemerintah cenderung membela kepentingan penguasa dan
melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Pers bebas tak terkendali mengarah
terbentuknya pers liberal dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia
(persaingan bebas)
Oleh karena itu di Indonesia ada upaya-upaya dan pembatasan-pembatasan untuk
mengendalikan agar pers tidak terlalu bebas atau kebebasan yang berlebihan,
antara lain dengan cara :
a. Pembuatan Undang-undang Pers
Setiap undang-undang bertujuan mengatur hal-hal yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan. Dalam dunia pers pihak-pihak yang berkepentingan adalah
pemerintah, rakyat (warga masyarakat), dan para pengelola pers. Pers di
Indonesia adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab (free and
responsible press).
Pada masa orde lama pers dikuasai pemerintah, pada masa orde baru, pada
awalnya ada kebebasan pers tetapi lama-lama mengarah kepada pers yang dikuasai
pemerintah. Pada masa reformasi, pers mengalami perubahan yang mendasar dalam
wujud deregulasi menuju kebebasan pers sebagai salah satu pilar utama
demokrasi. Dengan UU No.40 th 1999 tentang Pers, dan UU No.32 th 2002 tantang
Penyiaran, kini keberadaan pers semakin terjamin.
b. Memfungsikan Dewan Pers sebagai Pembina Pers Nasional
Dewan Pers mempunyai tugas dan tanggung jawab membina kehidupan pers yang
bebas dan bertanggung jawab serta kemajuan pers Indonesia. Profesionalisme
wartawan ditingkatkan, dan kode etik dijadikan acuan dalam kerja pers dan
kewartawanan. Pers yang tidak mengindahkan dua hal tersebut akan langsung
berhadapan dengan masyarakat di negara hukum yang demokratis ini.
c. Penegakan Supremasi Hukum
Pemberdayaan masyarakat untuk memahami hukum dan hak asasi manusia dinilai
sangat penting, sehingga dukungan terhadap penegakan supremasi hukum dan
kepercayaan pada pemerintah semakin kuat, termasuk dalam kaitannya dengan
kehidupan pers akan sangat membantu perkembangan pers yang sehat, bebas, dan
bertanggung jawab.
d. Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran Rakyat akan Hak-hak Asasi Manusia.
Pers yang tidak sejalan dengan kesadaran tersebut akan semakin
ditinggalkan masyarakat pembacanya. Informasi yang benar, santun, dan
menarik menjadi kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan berperadaban.
10. Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa
Contoh bentuk penyalahgunaan tsb :
1) penyiaran berita/informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
2) peradilan oleh pers (trial by press)
3) membentuk opini yang menyesatkan
4) bentuk tulisan/siaran bebas yang bersifat provokatif
5) pelanggaran terhadap ketentuan UU Hukum Pidana
- delik penghinaan presiden dan wakil presiden
- delik penyebar kebencian
- delik penghinaan agama
- delik kesusilaan/pornografi
6) iklan yang menipu
11. Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa bagi Pribadi, Masyarakat,
Bangsa, dan Negara
a. Bagi Kepentingan Pribadi
Nama baik seseorang bisa dirugikan dengan adanya penyalahgunaan kebebasan
berpendapat dan penyampaian informasi. Terkadang walaupun informasi itu sudah
diralat, hal itu tidak cukup berpengaruh untuk mengubah nama baik seseorang
yang telah tercemar.
b. Bagi Kepentingan Masyarakat
Masyarakat dapat tertipu karena mendapat informasi yang gak benar dan
terpengaruh walaupun informasi itu gak benar karena hal itu diinformasikan
secara besar-besaran dan berulang-ulang. Masyarakat tdk mendapatkan informasi
yang seimbang.
c. Bagi Kepentingan Bangsa dan Negara
Pengungkapan kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara dilakukan dengan
sangat tajam melebihi kewajaran tentu akan merugikan bangsa dan negara,
terlebih jika tulisan itu tidak berdasarkan fakta yang benar. Hal semacam ini
akan menimbulkan dampak seperti berikut :
1) Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang karena tidak
percaya terhadap pemerintah. Akhirnya sikap dan partisipasi
masyarakat akan menurun.
2) Kepercayaan Luar Negeri luntur. Akhirnya minat kerja sama juga menurun,
selanjutnya akan menyulitkan bangsa kita di forum internasional. Lebih parah
rakyat menjadi terabaikan kesejahteraannya dan kurang terpenuhi kebutuhan pokok
rakyat
Tugas :
1. Deskripsikan fungsi dan peranan pers dalam masayakat Indonesia !
2. Sistem pers manakah yang pernah berlaku di Indonesia? Diskripsikan
jawabanmu !
3. Berikan lima perbedaan antara pers liberalis dengan pers komunis !
4. Apakah sanksi bagi wartawan yang salah menulis dalam pemberitaan ? Apa
alasannya !
5. Deskripsikan bagaimana sistem pers di Indonesia sesudah era reformasi
saat ini !
6. Mengapa pers pada masa penjajahan Belanda dan Jepang kurang berkembang ?
Alasannya?
7. Berikan penjelasanmu mengapa pers di Indonesia mengikuti asas bebas dan
bertanggung jawab sosial ?
8. Deskripsikan kondisi pers di masa orde baru dan di masa reformasi !
9. Berikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka
umum menurut UU No. 9 Th 1998 !
10. Deskripsikan lima alasan mengapa penulisan berita di media massa harus
mengindahkan kode etik jurnalistik !
[1] A. Muis, Titian Jalan Demokrasi Peranan
Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik, Harian Kompas, Jakarta , 2000
[2] Khrisna Harahap, Pasang Surut Kemerdekaan
Pers di Indonesia, PT. Grafitri Bumi Utami, Bandung, 2003, hlm. 23
[3] Pasal 8
UU Pers