Selasa, 17 Januari 2012

KOLEKTIPA SOSIAL






KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alkhamdulillah, puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang mana  telah memberikan rahmat serta karunianya sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Makalah yang berjudul kolektipa sosial ini, merupakan sebuah sarana yang dapat membantu proses perkuliahan khususnya pada mata kuliyah Sosiologi.
Kami sangat menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. maka dari itu kepada para ahli yang arif dan bijaksana, kami sangat mengharapkan tegur sapa dan kritik untuk penyusunan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya dalam memahami pelajaran Sosiologi.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                       
                                                                                    Cirebon, 8 Oktober 2011

Penulis,





PEMBAHASAN

Kolektipa Sosial: Latar belakang, Konsep, dan Pariasi kelompok
A.     Latar Belakang
Perbedaan penjelasan tentang kenyataan atau gejala sosial yang diberikan baik oleh ahli sosiologi maupun orang awam mungkin berdasarkan penerapan teori sosiologi, kenyataannya empirik yang dijadikan sasaran perhatian diupayakan agar dapat diberi makna yang lebih umum, bukan sekedar penafsiran langsung yang terbatas pada runcing dan waktu semata.
B.     Teori Sosiologi yang Menyeluruh
Jika diperhatikan cakupannya, dalam sosiologi terdapat berbagai jenis teori. Ada teori yang merupakan upaya untuk menjelaskan kenyataan sosial yang sangat terbatas dan ada pula teori yang berbentuk suatu sistem konsep yang menyeluruh yang diharapkan dapat menjadi sumber sejumlah besar penjelasan tentang keteraturan yang berkenaan dengan perilaku sosial yang diamati secara empirik seperti yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Talcott Parsons. R.K. Merton membedakan adanya jenis teori yang berada di antara kedua jenis teori tersebut. Ia menamakannya teori tingkat tengah, seperti teorsi tentang demokrasi dan teori tentang kelompok acuan.
Teori tentang masyarakat sebagai keseluruhan atau tentang gejala sosial yang besar menuntut penggunaan teori yang menyeluruh. Penggunaan teori yang menyeluruh yang dikembangkan dengan teliti atas dasar hasil pengkajian empirik memungkinkan peneliti lebih mudah mengetahui kekuatan dan kelemahan sistem teori yang bersangkutan.
Uraian singkat di bawah ini banyak didasarkan atas teori tindakan sosial yang dikembangkan oleh T. Parsons yang menurut penulis banyak membantu dalam memperoleh kejelasan tentang kenyataan sosial yang terdapat di kepulauan Indonesia.
Kenyataan Sosial      
Kenyataan sosial yang merupakan kenyataan empirik yang seharusnya memperoleh perhatian utama dari para ahli sosiologi Indonesia adalah kenyataan sosial yang terwujud di wilayah Republik Indonesia di kepulauan Indonesia yang terbentang luas antara benua Asia dan Australia dan antara lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kenyataan sosial tersebut terdapat pada masa kini maupun masa lampau, ketika belum ada batas-batas wilayah negara yang ditentukan oleh kekuasaan asing seperti kekuasaan Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Portugis. Dengan demikian ahli sosiologi juga memperhatikan perkembangan berbagai gejala sosial tertentu di masa lampau. (Bachtiar, Harsla W. (1972), The Legitimacy of The Military as A National Institution, dalam : Kebijakan dan perjuangan : Buku Kenangan untuk Letnan Jendral Dr. T. B. Simatupang, Jakarta ; Bpk Gunung Mulia hal. 90-103)

Di antara berbagai gejala sosial yang menuntut perhatian dari para ahli sosiologi adalah kolektiva sosial, yaitu sejumlah orang yang secara bersama mengacu pada sejumlah nilai dan aturan yang sama dan mempunyai sejumlah kepentingan yang sama dan menjalankan peranan sebagai pelaku dalam suatu jaringan peranan yang dibatasi oleh kolektiva tersebut. Oleh sebab itu mereka mengidentifikasi diri sebagai anggota kesatuan sosial yang sama. Kolektiva dapat terwujud sebagai kelompok sosial yang terdiri dari hanya dua orang anggota sampai beratus juta orang. Kalau masyarakat ditanggapi sebagai suatu sistem sosial menyeluruh dengan peranan sebagai satuan terkecil, kolektiva sosial merupakan struktur yang berusaha mencapai tujuan tertentu untuk memenuhi suatu kebutuhan sistem sosial yang bersangkutan. Kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu kolektiva dilakukan oleh para anggotanya melalui peranan masing-masing.
Di Indonesia, paling sedikit ada 4 jenis kolektiva sosial besar yang menuntut perhatian dari para ahli sosiologi Indonesia. Karena banyak mempengaruhi tindakan orang Indonesia. Keempat jenis kolektiva sosial besar ini ialah masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia dan umat dari masing-masing agama besar. Para ahli sosiologi diharapkan memberikan perhatian pada berbagai kolektiva sosial besar ini karena awam sering kali tidak mengadakan pembedaan yang tegas antara keempat jenis kolektiva besar ini. Hal ini akan mempengaruhi penjelasan yang berkenaan dengan berbagai gejala sosial tertentu dan cara mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkannya.
Mungkin saja kebanyakan orang di wilayah negara Republik Indonesia merupakan anggota di keempat kolektiva sosial besar ini. Tetapi pasti masih ada cukup banyak orang yang dalam kenyataan hanya anggota dari satu kolektiva sosial saja, atau dua, atau tiga, dan bukan anggota di keempat kolektiva sosial besar tersebut. Kenyataan demikian adalah kenyataan anggota-anggota keluarga-keluarga tertentu, perguruan-perguruan tertentu, perusahaan-perusahaan tertentu, rumah-rumah sakit tertentu, masyarakat-masyarakat pedesaan tertentu, dan banyak pengelompokkan-pengelompokkan lain.
Masyarakat Indonesia sebagai suatu sistem sosial terkait pada kebudayaan Indonesia, yang sering juga dinamakan kebudayaan nasional. Kebudayaan yang menyeluruh inipun dapat ditanggapi sebagai suatu sistem, suatu sistem budaya, yang mempunyai makna atau diharapkan mempunyai makna bagi warga masyarakat Indonesia. Sistem budaya ini terdiri atas kepercayaan-kepercayaan tertentu, seperti kepercayaan yang berkenaan dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa; adanya hidup di akhirat, surga dan neraka; adanya pahala bagi orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang yang berbuat jahat; pengetahuan kognitif tertentu, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan-peguruan tinggi dan yang dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam ilmu pengetahuan; nilai dan aturan yang menyatakan pola perilaku mana yang dianggap baik dan yang mana dianggap tidak baik; serta berbagai hasil ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan penggunaan simbol yang biasanya digunakan dalam menyatakan perasaan pelaku sebagaimana yang banyak terdapat dalam karya sastra dan seni.
Sebagai warga masyarakat, tiap pelaku yang berdiam di wilayah negara Republik Indonesia diharapkan berpedoman pada kebudayaan nasional, meskipun, sebagaimana nanti mudah-mudahan terlihat secara lebih jelas, tidak dalam setiap keadaan para pelaku bertindak dengan berpedoman pada kebudayaan nasional.
Tindakan-tindakan sosial tiap pelaku, atau tindakan yang diwujudkan oleh seorang pelaku terhadap orang lain, banyak tergantung pada tujuan pelaku, bagaimana pelaku melihat keadaan yang dihadapi, motivasi dan tenaga yang menggerakkan pelaku untuk berbuat, serta nilai dan aturan pelaku yang dijadikan pedoman dalam bertindak.
Tindakan antar warga masyarakat mengakibatkan terbentuknya berbagai sub-sistem dari masyarakat yang juga disebut sektor kehidupan bermasyarakat, seperti keluarga, ekonomi (terutama sebagai sistem produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa), kesehatan, ibadah agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, serta sastra dan seni. Masing-masing sub-sistem inipun diatur oleh sistem budaya tertentu, yang juga dikenal sebagai suatu pranata masyarakat yang bersangkutan, yang mengakibatkan para pelakunya cenderung memperhatikan sifat-sifat kepribadian tertentu dalam menjalankan peranan dalam sub-sistem yang bersangkutan, seperti kepribadian birokrasi, kepribadian pengusahawan, kepribadian petani, dan sebagainya.
Keluarga, misalnya, merupakan sub-sistem yang menyelenggarakan sosialisasi warga-warga baru masyarakat, yang biasanya lahir dan diasuh dalam kolektiva keluarga, melalui internalisasi unsur-unsur budaya yang mengatur masyarakat yang bersangkutan. Para warga baru dipersiapkan, semula terutama oleh ibu, kemudian juga oleh orang tua lain dan sekolah, agar dapat menjalankan peranan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam bidang ekonomi, agama, politik, dan sebagainya.
Keluarga tidak hanya berfungsi sebagai satuan sosial yang menyelenggarakan sosialisasi tapi juga sebagai satuan yang memberikan kepuasan emosional dan rangsangan perasaan bagi para anggotanya. Sebagai satuan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi sistem ekonomi serta mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sistem ekonomi. satuan politik yang dapat memberikan dukungan politik kepada pemimpin dalam sistem politik dan ikut melaksanakan keputusan politik yang dibuat oleh para pemimpin politik; satuan agama yang meletakkan dasar-dasar keyakinan agama para anggotanya dan merangsang para anggota melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianut dan sebagainya.
Sesungguhnya masih banyak orang pribumi di Indonesia yang dalam kenyataannya belum berperan dalam masyarakat Indonesia di luar kolektiva sosial kewilayahan dimana mereka hidup, yaitu masyarakat setempat masing-masing. Di wilayah negara Republik Indonesia tidak hanya terdapat masyarakat Indonesia, yang kini jumlah warganya lebih dari 190.000.000 orang, melainkan terdapat juga masyarakat-masyarakat yang lebih terbatas, seperti masyarakat daerah dan masyarakat setempat, atau komuniti. Masing-masing masyarakat inipun, seperti masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Melayu, masyarakat Bali dan masyarakat Bugis dan Makasar dapat ditanggapi sebagai sistem sosial tersendiri yang diatur oleh sistem budaya tersendiri dari warga-warga masyarakat yang memiliki kepribadian yang sedikit banyaknya terbentuk oleh kebudayaan dan struktur sosial masyarakat dimana mereka dibesarkan.
Bilamana seseorang semata-mata bertindak dengan mengacu pada kebudayaan masyarakat daerahnya saja, ia tidak dapat dianggap telah ikut berperan sebagai pelaku dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar. Dilihat secara analitik, banyak orang pribumi di wilayah Indonesia masih hanya berperan sebagai anggota masyarakat daerah asalnya saja. Penggambaran demikian tidak berarti bahwa dalam setiap keadaan seseorang dituntut untuk bertindak sebagai warga masyarakat Indonesia. Seseorang dapat menganggap diri anggota masyarakat daerah tertentu dan berperan sesuai dengan keanggotaannya, seperti dalam kehidupan keluarga, tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti di kantor, di perguruan, di perusahaan, dan di terminal bis, juga berperan sebagai anggota masyarakat Indonesia dengan mengacu pada kebudayaan Indonesia.
Tentu saja diharapkan agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya semua orang Indonesia dalam kenyataan memang menjalankan berbagai peranan sebagai warga masyarakat Indonesia disamping menjalankan peranan-peranan sebagai anggota kolektiva-kolektiva kewilayahan lain sebagaimana dituntut oleh apa yang dinamakan ikatan-ikatan primordialnya. Bahkan, tidak semua pelaku di wilayah Indonesia dapat dianggap sebagai warga masyarakat Indonesia. Ada banyak orang-orang lain, seperti para pejabat perwakilan asing dan para wisatawan dari luar negeri, dianggap bukan warga masyarakat; orang-orang lain demikian diperlakukan sebagai orang asing.
Masyarakat melangsungkan kehidupannya dengan diatur oleh negara ataupun diatur oleh negara. Di Indonesia masyarakat yang menyeluruh semakin banyak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia, dan berbagai umat agama.
Bangsa Indonesia
Kolektiva yang dikenal sebagai bangsa (nasion) Indonesia merupakan suatu ikatan solidaritas dan loyalitas antar sesama anggota yang terdiri atas sejumlah besar pelaku yang menganggap diri dan dianggap orang Indonesia atau manusia Indonesia, apapun rasnya, suku bangsanya, agamanya, ideologi politiknya, dan kewarganegaraannya.
Dalam kenyataan tidak semua orang yang dianggap orang Indonesia memang menganggap diri orang Indonesia dan sebaliknya: tidak semua orang yang menganggap diri orang Indonesia dianggap orang Indonesia oleh semua orang Indonesia lain. Keadaan demikianlah yang mengakibatkan adanya masalah persatuan dan kesatuan Indonesia.
Sebelum pembentukan bangsa Indonesia, dahulu sudah ada kolektiva-kolektiva sosial yang juga disebut bangsa tetapi sesudah pembentukan bangsa Indonesia disebut suku bangsa. Ketika wilayah kediaman suatu suku bangsa boleh dikatakan hanya didiami oleh penduduk pribumi saja, kolektiva sosial tersebut merupakan masyarakat tersendiri sebagaimana digambarkan di atas dalam pembicaraan tentang masyarakat.
Dalam perkembangan dimasa lampau, identitas suku bangsa, yang dulu dikenal sebagai bangsa sesungguhnya mengalami berbagai perubahan. Dalam masa lampau, suku bangsa tertentu dapat terwujud sebagai suatu kolektiva yang lebih luas ataupun kolektiva yang terbatas. Perubahan batas keanggotaan suatu suku bangsa dapat menjadi lebih luas karena adanya perubahan cara pandang yang berkenaan dengan golongan penduduk tertentu yang semula tidak dianggap anggota suku bangsa. Tetapi akhirnya dianggap merupakan bagian dari suku bangsa yang bersangkutan. Karena mereka memperlihatkan banyak ciri-ciri yang sama dengan yang dimiliki oleh kolektiva itu sendiri. Perluasan keanggotaannya suatu suku bangsa juga bisa terjadi karena keluasan dan pentingnya kesatuan politik yang lebih besar, yang pada suatu waktu juga menguasai wilayah suku bangsa yang bersangkutan.
Sebaliknya perubahan suatu suku bangsa menjadi lebih terbatas karena adanya perubahan pandangan sebagian anggota suku bangsa yang bersangkutan terhadap sejumlah anggota lain yang dianggap berbeda sebenarnya, atau menjadi berbeda, dalam berbagai pola perilaku. Penciutan suatu suku bangsa juga bisa terjadi karena pada suatu waktu kekuatan kesatuan politik yang lebih besar membuat batasan pemisah antara dua wilayah suku bangsa yang bersangkutan yang sebelum pemisahan ini merupakan satu wilayah dengan penduduk pribumi yang mengacu pada kebudayaan yang sama.
Bangsa Indonesia, kolektiva yang pada permulaan abad ini belum terbentuk, memperoleh para anggotanya dari dua sumber utama, yaitu: 1. suku-suku bangsa pribumi di wilayah Republik Indonesia, dan 2. golongan-golongan penduduk yang berasal dari luar kepulauan Indonesia, murni maupun peranakan, yang menetap di wilayah Republik Indonesia.
Rekrutmen para anggota pada dasarnya terjadi melalui dua jenis proses, yaitu: 1. pemasukan (inclusion), dan 2. pengerahan tenaga (mobilisasi). Pemasukan terjadi bilamana orang-orang yang tadinya berada di luar kolektiva yang dikenal sebagai bangsa Indonesia dijadikan anggota bangsa ini. Banyak diantara orang keturunan Arab, Cina, Belanda, Portugis atau bangsa asing lain menjadi bagian dari bangsa Indonesia melalui proses pemasukan. Penduduk pribumi di daerah Timor Timur juga menjadi bagian dari bangsa Indonesia melalui proses pemasukan ini.
Pada berbagai masyarakat daerah (terutama masyarakat daerah yang besar) yang semula juga merupakan wilayah suatu bangsa yang kini disebut suku bangsa, golongan terpelajar yang merupakan bagian dari golongan atas di masyarakat tersebut cenderung lebih dahulu menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan banyak diantara mereka telah menganggap diri anggota bangsa Indonesia sejak berada di bangku sekolah menengah pada akhir dekade kedua abad keduapuluh ini. Pada masyarakat demikian terjadi rekrutmen para anggota baru bangsa Indonesia melalui proses pengerahan tenaga diantara golongan-golongan bawahan yang semula tidak menganggap diri bagian dari bangsa hdonesia. Dalam masyarakat daerah yang demikian para pelaku dari golongan bawah pun menganggap diri sebagai orang Indonesia.
Kegiatan propaganda, pendidikan, dan upaya memperoleh anggota baru terutama di kalangan penduduk pribumi di kepulauan Indonesia yang dilancarkan oleh berbagai organisasi dalam masa gerakan kebangsaan Indonesia, seperti Perhimpunan Indonesia di negari Belanda, Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia Raya, Gerakan Rakyat Indonesia, Gabungan Politik Indonesia dan berbagai organisasi politik lain, organisasi pendidikan, organisasi kepanduan, organisasi olahraga dan sebagainya yang berasaskan kebangsaan Indonesia, mengakibatkan amat banyak orang yang dianggap orang Indonesia tapi dalam kenyataan belum menganggap diri orang Indonesia.
Berbagai perlambang dipilih atau dicipta sebagai perlambang persatuan bangsa. Persatuan para pelaku yang berasal dari berbagai ras, suku bangsa, agama, ideologi politik, dan kewarganegaraan sebagai satu bangsa Indonesia dipermudah dengan dijadikannya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lambat-laun tapi semakin cepat berkembang menjadi bahasa tersendiri yang dapat dibedakan dari bahasa Melayu. Bendera merah-putih menjadi perlambang dari bangsa yang baru ini dan nyanyian “Indonesia Raya”, yang digubah oleh pemuda W.R. Soepratman, menjadi lagu kebangsaannya.
Dalam waktu yang boleh dikatakan singkat bangsa baru ini juga memperoleh semacam ingatan bersama tentang riwayat bangsa ini dalam bentuk mitos tentang masa lampaunya, seperti kejayaan negara agung Majapahit dan Sriwijaya yang beberapa abad yang lalu telah mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah satu pemerintahan, serta keperkasaan para pahlawannya yang sejak dahulu telah bangkit mengangkat senjata memberi perlawanan terhadap kekuasaan penjajah asing. Riwayat Sultan Agung, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegon, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Si Singamaraja serta berbagai tokoh lain dari masa lampau menjadi kebanggaan bersama sebagai satu bangsa.
Nilai-nilai tertentu, seperti Ketuhanan, persatuan bangsa Indonesia, peri kemanusiaan, kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan gotong royong menjadi nilai-nilai bangsa Indonesia yang dijabarkan dalam semakin banyak aturan sebagai pedoman dalam tindakan-tindakan para anggotanya, terhadap satu sama lain maupun terhadap orang lain, seperti terhadap para penjajah asing.
Para pelaku yang menjalankan peranan dalam berbagai kolektiva yang merupakan perwujudan dari bangsa Indonesia lambat laun mengembangkan jatidiri sebagai manusia Indonesia, bagian dari bangsa Indonesia.
Kita perlu juga memperhatikan kenyataan bahwa sebelum diadakan kesepakatan antar para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia tentang batas bangsa dan wilayah Indonesia tak lama sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan, pada masa permulaan gerakan kebangsaan Indonesia, rekrutmen anggota bangsa yang sedang dibentuk ini tidak menghiraukan batas kewilayahan yang ditetapkan oleh penguasa penjajah asing. Pada waktu itu banyak golongan penduduk di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara juga menganggap diri bagian dari bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, meskipun banyak diantara mereka menamakan bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya ini bangsa Melayu.
Negara Republik Indonesia adalah suatu struktur politik yang diatur oleh undang-undang, terutama Undang-Undang Dasar 1945. Kolektiva yang dikenal sebagai negara Republik Indonesia ini diproklamasikan kehadirannya di dunia kita oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Para pemimpin gerakan kebangsaan yang mendirikan republik yang baru ini segera mensyahkan undang-undang dasar negara yang kini dikenal sebagai Undang-undang Dasar 1945 dan yang juga mengandung nilai-nilai dasar bangsa dan negara yang kini dikenal sebagai Pancasila.
Pancasila merupakan pedoman bertindak bagi para pelaku yang menganggap diri dan dianggap sebagai orang Indonesia serta yang menurut aturan perundang- undangan negara baru ini adalah warganegara Republik Indonesia. Kelima nilai Pancasila dianggap harus dijadikan pedoman bertindak terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
“Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan keyakinan bersama dari penduduk di kepulauan Indonesia yang kebanyakan berpegang teguh pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Meskipun pada bangsa Indonesia terdapat beberapa agama besar yang berbeda, semua mempunyai keyakinan yang sama berkenaan dengan adanya Tuhan sehingga atas dasar keyakinan yang sama itu bangsa Indonesia sedikit banyaknya merupakan satu umat yang besar, meskipun tidak atas dasar agama tertentu saja.
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan pedoman yang diharapkan menjadi dasar tindakan dalam upaya memberantas penindasan, kekejaman, dan penghinaan oleh manusia atau golongan yang satu terhadap manusia atau golongan yang lain, seperti banyak terjadi dalam masa penjajahan dan masa kekuasaan feodal, serta pedoman dalam upaya untuk terus-menerus meningkatkan harkat dan martabat manusia dan bangsa Indonesia.
“Persatuan Indonesia” merupakan pedoman untuk terus-menerusr mengusahakan dan mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa yang sesungguhnya terdiri dari berbagai golongan ras yang berbeda, suku bangsa yang berbeda, umat agama yang berbeda, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi yang berbeda, pendidikan yang berbeda, penghuni daerah geografi yang berbeda, dan sebagainya.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” merupakan pedoman yang diwarisi sebagai bagian dari kebudayaan para nenek moyang yang bilamana menghadapi masalah bersama, seperti perbedaan pandangan, perbedaan kepentingan, atau perbedaan kehendak, biasanya mengadakan musyawarah, langsung antar pihak-pihak yang bersangkutan ataupun melalui perwakilan, agar akhirnya diperoleh kesepakatan berkenaan dengan apa yang sebaiknya dilakukan.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan pedoman untuk upaya meniadakan kemiskinan dan kebodohan sehingga setiap orang Indonesia dapat memenuhi sekurang-kurangnya kebutuhan dasar yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya secara layak.
Para pelaku yang berperan dalam kolektiva yang diwujudkan oleh negara Republik Indonesia adalah para pelaku yang berperan sebagai warga negaranya, warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu sebagaimana dinyatakan oleh ideologi negara dan yang dinyatakan dalam undang-undang dan aturan perundang-undangannya.
Tatanan keteraturan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penduduk di wilayah negara menuntut adanya pemerintah yang berkewajiban memelihara tatanan ini agar satuan-satuan sosial yang mempunyai fungsi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menjalankan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Pemerintah berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan berbagai aturan umum yang berlaku dan memungkinkan satuan-satuan sosial demikian menjalankan tugas masing-masing. Pemerintah juga berkewajiban untuk menghalangi setiap upaya campur tangan pihak luar yang berusaha mengacau tatanan keteraturan yang ada.
Bilamana gangguan terhadap ketertiban umum tidak dapat dihindarkan dengan cara yang beradab, pemerintah dapat mengerahkan angkatan bersenjata sebagai satu-satunya kekuatan fisik yang diakui syah dalam wilayah negara untuk menghalangi kegiatan pihak pengacau atau membuat pihak pengacau ini tak berdaya lagi. Terhadap ancaman yang berasal dari luar wilayah diadakan upaya pertahanan negara sedangkan terhadap ancaman atau gangguan keamanan yang berasal dari dalam wilayah dapat diadakan berbagai jenis tindakan, termasuk pencabutan kebebasan bergerak dan pelaksanaan hukuman mati.
Melalui pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah, yang di Indonesia harus bertindak sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditentukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan asas kerakyatan, negara berusaha menyelenggarakan pembangunan nasional di berbagai bidang kehidupan dengan dukungan dari masyarakat.
Revolusi nasional, yang didahului oleh perjuangan kebangsaan, tidak hanya mengakhiri kehadiran kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda, melainkan juga mengakhiri kekuasaan pemerintah beberapa negara pribumi dan kekuasaan pemerintah tradisional lain yang pada waktu itu masih terdapat di banyak daerah di kepulauan Indonesia. Berakhirnya kekuasaan pemerintah tradisional di banyak daerah mengakibatkan birokrasi pemerintah negara Republik Indonesia lebih mudah berperan sebagai pengatur dan pembuat keputusan yang mengikat para warganegara di wilayah yang bersangkutan sedangkan penduduk di masing-masing daerah lebih mudah berperan sebagai warga negara Republik Indonesia dalam semakin banyak bidang kehidupam
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia dan bangsa Indonesia, belum semua golongan penduduk yang menurut undang-undang yang berlaku adalah warga negara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya adalah warga negara Indonesia. Masih banyak sekali orang Indonesia dalam yang kenyataannya belum berperan sebagai warga negara Republik Jndonesia.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Masing-masing kolektiva sosial besar tersebut di atas mengalami pertumbuhan atau pertambahan jumlah anggota yang dengan sendirinya mengakibatkan berbagai perubahan dalam kolektiva yang bersangkutan maupun antara masing-masing kolektiva dan kolektiva-kolektiva lain. Perubahan dalam kolektiva besar tertentu dapat terwujud sebagai perkembangan yang mengakibatkan terjadinya pembedaan (diferensiasi) fungsi atau pembagian kerja. Sehingga pembentukan berbagai struktur sosial semakin banyak. Disamping itu juga mengakibatkan munculnya profesionalisasi yang semula tidak begitu banyak persyaratan tapi kini semakin banyak dikaitkan dengan kemampuan yang diperoleh dari perguruan tinggi, termasuk peranan-peranan tertentu dalam masing-masing umat agama.
Masing-masing kolektiva sosial besar yang dikemukakan di atas dapat dikaji sebagai sasaran perhatian sendiri, sistem sosial tersendiri, sehingga segala sesuatu yang berada di luar kolektiva besar yang menjadi sasaran perhatian, termasuk kolektiva-kolektiva besar yang lain, menjadi lingkungarmya. Dengan demikian dapat dikaji apa yang menjadi keluaran kolektiva sosial yang menjadi sasaran perhatian utama dan kemana keluaran ini bergerak, sedangkan, sebaliknya, juga dapat dikaji apa yang menjadi masukan kolektiva sosial ini dari masing-masing kolektiva besar yang lain dan bagian-bagian lain dari lingkungannya.
Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh para pelaku masing-masing kolektiva sosial besar tersebut di atas dapat serasi satu sama lain sehingga para pelaku yang bersangkutan merasa bahwa kegiatan yang mereka selenggarakan sebagai anggota satu kolektiva didukung atau diperkuat oleh kolektiva besar yang lain. Akan tetapi, kepentingan-kepentingan tertentu dari kolektiva sosial besar ini juga bisa bertentangan sehingga para pelaku yang bersangkutan dihadapkan dengan pilihan, memprioritaskan kepentingan kolektiva yang satu atau kepentingan kolektiva yang lain. Tidak selalu masalah tuntutan untuk memilih antara dua atau lebih dari dua tuntutan adalah masalah yang mudah dapat diatasi.
 Pengertian Variasi Bahasa
Variasi bahasa menurut Aslindgaf (2007:17) adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induksinya. Variasi Bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register).
Macam-Macam Variasi Bahasa
Chaer (2004:62) mengatakan bahwa variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunanya, Adapun penjelasan variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1). Variasi Bahasa dari Segi Penutur.
a. Variasi Bahasa Idiolek
Variasi bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek. setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing.

b. Variasi Bahasa Dialek
Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Umpamanya, bahasa Jawa dialek Banyumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya.

c. Variasi Bahasa Kronolek atau Dialek Temporal
Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya,variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini.
d. Variasi Bahasa Sosiolek.
Adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
e. Variasi Bahasa Berdasarkan Usia
Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu varisi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa.
f. Variasi Bahasa Berdasarkan Pendidikan
Variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkat atas. Demikian pula, orang lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya dengan mahasiswa atau para sarjana.

g. Variasi Bahasa Berdasarkan Seks
Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak.

h. Variasi Bahasa Berdasarkan Profesi, Pekerjaan atau Tugas Para Penutur
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi yang digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagainya tentu mempunyai perbedaan variasi bahasa.

i. Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Kebangsawanan.
Variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan adalah variasi yang terkait dengan tingkat dan kedudukan penutur (kebangsawanan atau raja-raja) dalam masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti kata mati digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan kata mangkat.
Adapun penjelasan tentang variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1) Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari variasi sosial lainya.
2. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan di pandang rendah.
3. Vulgal adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan.
4. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.
5. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang cenderung menyingkat kata karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak), dll.
6. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial tertentu. Misalnya, para montir dengan istilah roda gila, didongkrak, dll.
7. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet,kaca mata artinya polisi.
8. Ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh dengan kepura-puraan. Misalnya, variasi bahasa para pengemis.
2). Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian.
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalis harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas, adalah ragam bahasa yang menunjukan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang menggunakan bahasa tersebut.
3. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan.
Variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya, Chaer (2004:700) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu:
a. Gaya atau Ragam Beku (frozen).
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,yang digunakan pada situasi-situasi hikmat, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah, dan sebagainya.
b. Gaya atau Ragam Resmi (formal).
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya.
c. Gaya atau Ragam Usaha (konsultatif).
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi.
d. Gaya atau Ragam Santai (casual).
Gaya bahasa ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat dan sebagainya.
e. Gaya atau Ragam Akrab (intimate).
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-pendek dan tidak jelas.
 f. Variasi Bahasa dari Segi Sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Misalnya, telepon, telegraf, radio yang menunjukan adanya perbedaan dari variasi bahasa yang digunakan. salah satunya adalah ragam atau variasi bahasa lisan dan bahasa tulis yang pada kenyataannya menunjukan struktur yang tidak sama.

Sebab-Sebab Adanya Variasi Bahasa
Bebrapa penyebab adanya variasi bahasa adalah sebagai berikut :
1. Interferensi
Chaer (1994:66) memberikan batasan bahwa interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan,sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu. Bahasa daerah menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi, sehingga rasa cinta terhadap bahasa nasional terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk.(eds.) (2003:9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa, misalnya pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahsa Inggris oleh sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi. Selain bahasa daerah, bahasa asing (Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengakibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya masyarakat lebih cenderung menggunakan kata “pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
2. Integrasi
Selain Interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia. Chaer (1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk dan sudah dianggap, diperlukan dan di pakai sebagai bagian dari bahasa yang menerima atau yang memasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah di sesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi seperti montir, sopir, dongkrak.

3. Alih kode dan campur kode.
Alih kode adalah beralihnya suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa lain) (Chaer, 1994:67). Campur kode adalah dua kode atau lebih di gunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai (Chaer, 1994:69). Diantara dua gejala bahasa itu, baik alih kode maupun campur kode gejala yang sering merusak bahasa Indonesia adalah campur kode. Biasanya dalam berbicara dalam bahasa Indonesia di campurkan dengan unsur-unsur bahasa daerah, begitu juga sebaliknya. Dalam kalangan orang terpelajar sering kali bahasa Indonesia di campur dengan unsur-unsur bahasa Inggris.
4. Bahasa Gaul.
Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya para anak jalanan. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama kamus bahasa gaul pada tahun 1999. Contoh penggunaan bahasa gaul adalah sebagai berikut :
Bahasa Indonesia Bahasa Gaul
Ayah; Bokap
Ibu; Nyokap
Saya; Gue.
Penggunaan Variasi Bahasa
Penggunaan variasi bahasa harus di sesuaikan dengan tempatnya (diglosia), yaitu antara bahasa resmi dan tidak resmi.
1. Bahasa Resmi (Tinggi)
Bahasa resmi digunakan dalam situasi resmi seperti, pidato kenegaraan, pengantar pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi, dan buku pelajaran.
2. Bahasa Tidak Resmi (Rendah)
Bahasa ini digunakan dalam situasi yang non formal atau tidak resmi, seperti di rumah, di warung, di jalan, surat-surat pribadi dan catatan untuk dirinya sendiri.


variasi Agama
Kolektiva sosial besar terakhir yang ditampilkan dalam tulisan ini ialah umat agama. Kolektiva ini terbentuk oleh para penganut agama tertentu: kepercayaan- kepercayaan yang didasarkan atas beberapa kitab tertentu yang dianggap suci dan berbagai kegiatan ibadah yang diselenggarakan menurut aturan tertentu. Oleh sebab itu, pedoman yang dianggap berlaku oleh para anggota kolektiva besar demikian adalah ajaran agama yang bersangkutan serta berbagai nilai dan aturan hukum agama.
Di wilayah negara Republik Indonesia terdapat paling sedikit 7 umat agama yang besar, yaitu umat Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Sikh, dan Tridharma menurut ajaran Lao-tse dan Kongtju. Para anggota umat suatu agama di wilayah negara Republik Indonesia tidak mencakup semua warga masyarakat Indonesia, semua anggota bangsa Indonesia, ataupun semua warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, masing-masing umat agama, tanpa kecuali, juga beranggotakan sejumlah orang asing yang menganut agama yang sama. Bahkan sesungguhnya umat agama di Indonesia merupakan bagian dari umat yang jauh lebih besar dan tersebar di luar Indonesia. Hubungan atas dasar rasa setiakawanan dengan sesama umat di luar Indonesia, oleh sebab itu, merupakan masalah tersendiri. Pusat kegiatan ibadah umat Islam berada di luar Indonesia, di Mekkah dan Medinah. Berbagai jemaah agama Kristen Protestan merupakan bagian dari jemaah agama yang berpusat di Belanda, Jerman, Amerika Serikat, atau negeri lain. Umat agama Katolik merupakan bagian dari umat besar yang dipimpin oleh hirarki gereja yang berpusat di Vatikan. Umat agama Hindu, Buddha, dan Sikh mengacu pada kitab-kitab suci yang berasal dari India. Agama Tridharma menurut ajaran Lao-tse dan Khongtju mengacu pada tradisi budaya di Cina.
Struktur masing-masing umat agama sebagai kolektiva sosial tidak sama. Ada umat yang mewujudkan integrasi, atau persatuan anggota umat yang kuat dan ada umat yang terdiri atas banyak kolektiva sosial yang lebih kecil dan tidak terikat satu sama lain. Ada umat yang mempunyai birokrasi yang sangat berkembang dan ada umat yang boleh dikatakan tidak mempunyai birokrasi.
Di sisi lain, umat agama Islam, umat agama Kristen Protestan dan umat agama Katolik masing-masing berkeyakinan bahwa penyebaran luas agama yang dianut, yang ditanggapi sebagai satu-satunya agama yang benar, adalah tanggung jawab para anggota umat, bahkan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan. Keyakinan demikian berarti masing-masing umat berusaha memperluas umat dengan merekrut anggota-anggota baru yang semula berada di luar umat yang bersangkutan, hal mana dapat ditanggapi sebagai ancaman oleh umat yang lain.
Beberapa abad yang lalu, J.J. Rousseau telah mempersoalkan kehadiran lebih dari satu agama di suatu negara dalam bab terakhir bukunya yang berpengaruh besar yang merupakan salah satu hasil karya tulisnya, Contract Social (Perjanjian Sosial). Dalam keadaan demikian, menurut Rousseau, akan tumbuh suatu gejala yang menyerupai agama dan yang dinamakannya agama kewarganegaraan (religion civile). Gejala ini tahun 1960-an ditampilkan kembali oleh ahli sosiologi agama R.N. Bellah yang menggambarkan kehadiran agama kewarganegaraan (civil religion) di negara Amerika Serikat, dimana penduduk mewujudkan berbagai agama yang berbeda, sehingga seluruh negara Amerika juga merupakan satu umat agama, meskipun masing-masing umat agama yang lebih terbatas, seperti agama Protestan, agama Katolik, agama Yahudi, agama Islam, agama Buddha, dan sebagainya tetap bertahan sebagai umat tersendiri.
Bilamana kita memperhatikan masyarakat kita, juga terlihat tumbuhnya gejala yang menyerupai suatu agama dalam pengertian sosiologi, dan yang dinamakan agama kewarganegaraan oleh Rousseau dan Bellah. Ciri-ciri agama ini yang terwujud pada sekalian warganegara Republik Indonesia adalah kepercayaan pada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, keyakinan yang ditampilkan pada setiap upacara resmi dalam bentuk doa, seperti pada upacara pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat; kepercayaan pada adanya dunia akhirat; surga dan neraka; adanya pahala bagi yang berbuat baik dan hukuman buat yang berbuat jahat; adanya kitab yang menyerupai kitab suci, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang diperlukan dengan penuh kekhidmatan; adanya tokoh-tokoh yang diperlakukan seperti memperlakukan nabi, yaitu Ki Hadjar Dewantoro, Soekamo dan Mohammad Hatta; adanya tokoh-tokoh yang diberi wewenang untuk menafsirkan kitab suci seperti wewenang ulama atau pendeta, yaitu para anggota BP-7 dan para manggala; adanya simbol-simbol tertentu yang melambangkan umat yang bersangkutan, yaitu Garuda Pancasila dan bendera Merah-Putih; adanya upacara-upacara yang memberi perasaan keagamaan bagi para pesertanya, seperti upacara Peringkatan Hari Kemerdekaan dan Hari Kesaktian Pancasila; adanya ritual yang diselenggarakan secara berkala, seperti upacara bendera; adanya para martir yang mengurbankan nyawa mereka untuk kelangsungan hidup umat, seperti para Pahlawan Revolusi; dan adanya tempat-tempat yang dikeramatkan, seperti Taman Pahlawan dan Lubang Buaya.

Konsep Budaya
Budaya merupakan kompleks keseluruhan dimana dimasukkannya pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan lain apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Beberapa aspek dari perlunya perluasan budaya.
1. Pertama, budaya merupakan konsep yang meliputi banyak hal (luas). Hal tersebut termasuk segala sesuatu dari pengaruh proses pemikiran individu dan perilakunya. Ketika budaya tidak menentukan sifat dasar dari frekuensi pada dorongan biologis seperti lapar atau seks, hal tersebut berpengaruh jika, kapan, dan bagaimana dorongan ini akan memberi kepuasan.
2. Kedua, budaya adalah hal yang diperoleh. Ia nya tidak dimasukkan mewarisi respon dan kecenderungan. Bagaimanapun, semenjak perilaku manusia dari perilaku.
3. Ketiga, kerumitan dari masyarakat modern merupakan kesungguhan dimana budaya jarang memberikan ketentuan yang terperinci atas perilaku yang tepat.
Budaya terutama dijalankan oleh keadaan yang batasannya cukup bebas pada perilaku individu dan oleh pengaruh fungsinya dari institusi seperti keluarga dan media massa. Kemudian, budaya memberikan kerangka dalam yang mana individu dan rumah tanga gaya hidup menyusun. Batasan dimana perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi yang spesifik. Norma dijalankan dari nilai budaya. Dimana nilai budaya adalah kepercayaan yang dipertahankan dimana menguatkan apa yang diinginkan. Pelanggaran dari norma budaya berakhir dengan sangsi yang merupakan hukuman dari pencelaan sosial yang ringan untuk dibuang dari kelompok.
Variasi Dalam Nilai Budaya
Nilai budaya memberikan dampak yang lebih pada perilaku konsumen dimana dalam hal ini dimasukkan kedalam tiga kategori umum:
orientasi nilai-lainnya
Merefleksi gambaran masyarakat dari hubungan yang tepat antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Hubungan ini mempunyai pengaruh yang utama dalam praktek pemasaran. Sebagai contoh, jika masyarakat menilai aktifitas kolektif, konsumen akan melihat kearah lain pada pedoman dalam keputusan pembelanjaan dan tidak akan merespon keuntungan pada seruan promosi untuk “menjadi seorang individual”. Dan begitu juga pada budaya yang individualistic.
sifat dasar dari nilai yang terkait ini termasuk individual/kolektif, kaum muda/tua, meluas/batas keluarga, maskulin/feminim, persaingan/kerjasama, dan perbedaan/keseragaman.
Individual/kolektif
Budaya individualis terdapat pada budaya Amerika, Australia, Inggris, Kanada, New Zealand, dan Swedia. Sedangkan Taiwan, Korea, Hongkong, Meksiko, Jepang, India, dan Rusia lebih kolektifis dalam orientasi mereka. Nilai ini adalah faktor kunci yang membedakan budaya, dan konsep diri yang berpengaruh besar pada individu. Tidak mengherankan, konsumen dari budaya yang memiliki perbedaan nilai, berbeda pula reaksi mereka pada produk asing, iklan, dan sumber yang lebih disukai dari suatu informasi. Seperti contoh, konsumen dari Negara yang lebih kolektifis cenderung untuk menjadi lebih suka meniru dan kurang inovatif dalam pembelian mereka dibandingkan dengan budaya individualistik. Dalam tema yang diangkat seperti ” be your self” dan “stand out”, mungkin lebih efektif dinegara amerika tapi secara umum tidak di negara Jepang, Korea, atau Cina.
Usia muda/tua
dalam hal ini apakah dalam budaya pada suatu keluarga, anak-anak sebagai kaum muda lebih berperan dibandingkan dengan orang dewasa dalam pembelian. Dengan kata lain adalah melihat faktor budaya yang lebih bijaksana dalam melihat sisi dari peran usia. Seperti contoh di Negara kepulauan fiji, para orang tua memilih untuk menyenangkan anak mereka dengan membeli suatu barang. Hal ini berbeda dengan para orang tua di Amerika yang memberikan tuntutan yang positif bagi anak mereka. Disamping itu, walaupun Cina memiliki kebijakan yang mengharuskan untuk membatasi keluarga memiliki lebih dari satu anak, tetapi bagi budaya mereka anak merupakan “kaisar kecil” bagi mereka. Jadi, apapun yang mereka inginkan akan segera dipenuhi. Dengan kata lain, penting untuk diingat bahwa segmen tradisional dan nilai masih berpengaruh dan pera pemasar harus menyesuaikan bukan hanya pada lintas budaya melainkan juga pada budaya didalamnya.
Luas/batasan keluarga
Yang dimaksud disini adalah bagaimana keluarga dalam suatu budaya membuat suatu keputusan penting bagi anggota keluarganya. Dengan kata lain apakah peran orang dewasa (orang tua) memiliki kebijakan yang lebih dalam memutuskan apa yang terbaik bagi anaknya. Atau malah sebaliknya anak-anak memberi keputusan sendiri apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dan bisa dikatakan juga bahwasanya pengaruh pembelian oleh orang tua akan berpengaruh untuk seterusnya pada anak. Seperti contoh pada beberapa budaya:
Di Meksiko, sama halnya dengan Amerika, peran orang dewasa sangat berpengaruh. Para orang tua lebih memiliki kecenderungan dalam mengambil keputusan dalam membeli.
Para orang dewasa muda di Thailand hidup sendiri diluar dari orang tua atau keluarga mereka. Tetapi ketergantungan dalam membeli masih dipengaruhi oleh orang tua maupun keluarga mereka.
Lain halnya di India, sesuatu hal yang akan dibeli diputuskan bersama-sama dalam satu keluarga (diskusi keluarga).
Persaingan/Kerjasama
Yang dimaksud disini adalah bagaimana orientasi baik itu maskulin maupun feminisme dalam keterbukaannya pada konsumen. Pada orientasi maskulin seperti di Amerika, keterbukaan menjadi suatu hal yang harus terpelihara. Lain halnya Jepang yang berorientasi feminim, Mereka menganggap bahwa keterbukaan sama halnya dengan “kehilangan muka”. Variasi dari nilai ini bisa dilihat dari perbedaan reaksi budaya pada iklan yang dibandingkan. Seperti contoh Amerika Serikat yang membesarkan hati mereka ketika mereka menggunakannya didalam budaya lain yang bisa dengan mudahnya mendapatkan reaksi yang tidak baik. Disisi lainnya, jepang yang memiliki kolektifitas yang lebih menurut sejarahnya menemukan perbandingan iklan menjadi sesuatu yang tidak disukai, meskipun demikian Pepsi menemukan anak muda Jepang sedikit lebih mau menerima jika pembandingan dilakukan dalam keterus-terangan dan cara yang lucu.
Sebagai aturannya, perbandingan iklan dapat digunakan dengan ketelitian dan hanya sungguh-sungguh telah teruji.
Perbedaan/keseragaman
Budaya dengan nilai yang berbeda tidak hanya akan menerima aturan yang bergai macam dari perilaku pribadi dan sikap tapi juga menerima variasi dalam bentuk makanan, pakaian, dan produk lain serta pelayanannya. Dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki keseragaman nilai, dimana mereka tidak menyukai serta menerima bermacam aturan dari rasa dan produk pilihan.
Jepang dan budaya kolektif lainnya cenderung untuk meletakkan nilai yang kuat dalam keseragaman dan kesesuaian, sebaliknya budaya individualistik yang lebih seperti Canada dan Belanda cenderung pada nilai perbedaan. Ketika banyak aspek penting dari budaya ini dibuat oleh perbedaan dalam nilai, satu yang nyata dengan relative ketiadaannya turis yang berlatar “etnis” di restoran-restoran Jepang dibandingkan dengan Canada dan Belanda. Walaupun demikian, perubahan ekonomi dan sosial yang digerakkan oleh usia muda pada masyarakat kolektifis, membuat perbedaan lebih diterima dibandingkan dengan hal tradisional yang dijumpai, dan juga jika kecenderungan dari tingkatan yang mutlak lebih rendah dibandingkan dengan sisi individualistik mereka.
Kebersihan
Ketika adanya perbedaan dalam meletakkan nilai kebersihan diantara budaya ekonomi berkembang, ada perbedaan yang sangat luas diantara budaya ini dengan banyak budaya negara kurang berkembang. Di banyak negara miskin, kebersihan dinilai tidak pada tingkatan yang cukup untuk menghasilkan lingkungan yang sehat. Hal ini dapat dilihat pada negara Cina dan India, dimana kebersihan menjadi Sesutu yang begitu mengkhawatirkan. Ketika hal tersebut menjadi dampak bagi budaya lokal, McDonald’s mendapat penghargaan dengan memeperkenalkan pengolahan makanan yang higienis dan toilet beberapa pasar Asia Timur termasuk Cina.
Tradisi/perubahan
Berbeda pada Amerika, konsumen pada tradisi Korea dan Cina kurang nyaman dengan situasi baru atau cara pemikiran baru. Nilai ini direfleksikan dalam iklan mereka dimana berbeda pada iklan di Amerika, dimana di Inggris dan Cina menekankan tradisi dan sejarah. Untuk target pada kerangka berpikir penonton melalui televisi, daya tarik budaya lebih digunakan. Dalam target majalah pada orang-orang muda Cina, daya tarik modern yang difokuskan pada teknologi, mode, dan kesenangan lebih banyak digunakan.
Religi/sekuler atau duniawi
Amerika Serikat relatif sekuler. Banyak budaya Islam dan juga beberapa budaya katholik lebih banyak berorientasi pada religi. Perbandingannya, religi bermain dengan peran yang sangat sedikit dalam budaya Cina. Bagaimanapun juga, Cina memili aktivitas religi didalamnya. Secara garis besarnya pengertian yang luas dan dan tipe dari yang berhubungan dengan pengaruh religi dalam budaya pada dasarnya untuk tujuan efektif semua elemen pada campuran pemasaran.
Variasi Kebudayaan Dalam Komunikasi Nonverbal
Perbedaan dalam sistem komunikasi verbal adalah lintas budaya yang nyata dengan segera dan harus diambil kedalam suatu perhitungan oleh keinginan pemasar untuk dilakukannya bisnis dalam budaya itu. Mungkin lebih penting dan bagaimanapun juga tentu saja lebih sulit untuk mengenal apakah sistem komunikasi nonverbal tersebut. Contoh utama dari variabel komunikasi nonverbal dimana mempengaruhi pemasar adalah waktu, ruang, simbol, hubungan, persetujuan, benda, dan etiket.
Waktu
Pengertian dari variasi waktu diantara budaya adalah dalam dua cara utama. Pertama, apa yang kita sebut perspektif waktu: ini adalah keseluruhan orientasi terhadap waktu. Kedua, adalah menempatkan interpretasi pada spesifik waktu yang digunakan.
Perspektif waktu
Ada dua jenis perspektif waktu antara lain;
1. Yang pertama, monochromic time perspective yakni orientasi yang kuat kearah sekarang serta waktu jangka pendek. Dan kedua, polychromic time perspective yakni orientasi kearah sekarang dan masa lalu. Arti dalam waktu yang digunakan
2. Perspektif yang dipakai akan membuat suatu pengertian yang berbeda dari waktu yang digunakan pada budaya yang berbeda. Seperti di negara yang berorientasi pada monochronic, mereka manganggap bahwa waktu adalah uang. Jadi setiap detik, menit, jam sangat berharga bagi mereka. Begitu sebaliknya pada negara yang berorientasi polichronic, istilah “tetaplah menunggu” menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka.
Simbol
Di Amerika jika melihat bayi memakai baju warna pink, maka bayi tersebut di identikkan dengan seorang perempuan. Begitu juga jika memakai warna biru, maka dapat dipastikan bahwa jenis kelaminnya adalah laki-laki. Tetapi hal tersebut akan ditanggapi berlainan di negara Belanda. Warna, gambar binatang, bentuk, angka, dan musik akan memberikan variasi pengartian dalam lintas budaya. Kegagalan dalam mengenal arti penempatan pada simbol bisa berakibat pada masalah yang serius. Salah satu contohnya adalah ketika pebisnis Cina yang bepergian untuk mengelilingi rute pasifik, kebanyakan mereka terkejut ketika melihat petugas perjalanan wisata tersebut memakai pakaian putih yang bagi Asia merupakan simbol dari kematian.

Benda
Pengartian budaya terhadap benda pada pola pembelian adalah sesuatu yang tidak disangka-sangka atau dengan kata lainnya adalah “hadiah”. Dalam beberapa budaya, pemberian hadiah dilakukan dalam beberapa bentuk. Dinegara Cina pemberian hadiah dilakukan secara rahasia, sedangkan di negara Arab dilakukan didepan orang yang akan diberikan hadiah. Dan begitu juga terhadap benda apa yang diberikan sebagai suatu hadiah.
Budaya Global
Isu penting yang dihadapi oleh pemasar adalah perluasan pada salah satu atau lebih pada budaya global konsumen atau pangsa yang tergabung. Ada kesan yang memberikan keterangan bahwa ada pergerakan yang sungguh-sungguh dalam arah ini. Budaya memiliki serta memberikan perangkat dari simbol hubungan-konsumsi dengan pengertian umum dan sifat diantara anggotanya. Satu diantara maksud budaya global adalah bahwasanya porsi dari budaya lokal menggambarkan diri mereka sendiri sebagai kosmopolitan, berpengetahuan banyak, dan modern. Beberapa individu memberikan banyak nilai dan perilaku hubungan konsumsi dengan individu yang serupa pada jarak lintas dari budaya bangsa.
Beberapa budaya dikreasikan oleh globalisasi media massa, kerja, pendidikan, dan wisata. Beberapa kategori produk (telpon genggam, internet) dan merk (Sony, Nike) menjadi simbol hubungan pada budaya ini. Ini tidak diimplikasikan bahwa merk ini digunakan pada iklan global yang sama tetapi melainkan tema pokok dan simbol yang mungkin sama.
Budaya Global Anak Umur Belasan Tahun (ABG)
Para ABG seluruh dunia menonton banyak pertunjukan yang sama, melihat film dan video yang sama, dan mendengar musik yang sama. Mereka tidak hanya mengidolakan musisi yang sama, tetapi juga musisinya, baik itu gaya berpakaian, kelakuan, dan sikap, dimana melengkapi mereka dengan banyak karakter. Pemasar menggunakan kesamaan ini diantara ABG lintas budaya untuk meluncurkan merk global. Dengan kata lain, dalam mengiklankan produknya pemasar menggunakan model yang dapat dikenal para ABG diseluruh dunia seperti bintang olah raga. Atau juga dengan mengiklankan pada bentuk keseleruhan dari lintas budaya tersebut. Seperti pepsi yang dalam satu iklan memperlihathkan aktivitas ABG diseluruh dunia.
Apa itu distribusi, politik, dan struktur legal bagi produk?
Struktur yang legal dari suatu negara bisa memiliki dampak dalam tiap aspek dari campuran pemasaran perusahaan. Seperti contoh dua akhir iklan FedEx untuk Amerika Latin dikarenakan pembatasan legal di Meksiko. Begitu juga dengan distribusi dan politik yang juga berpengaruh dalam pemasaran suatu produk.



















DAFTAR PUSTAKA

Alwi,dkk (eds). 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta
Bachtiar, Harsla W. (1972), The Legitimacy of The Military as A National Institution, dalam : Kebijakan dan perjuangan : Buku Kenangan untuk Letnan Jendral Dr. T. B. Simatupang, Jakarta ; Bpk Gunung Mulia hal. 90-103
http//:variasi kelompok sosiologi







Cirebon

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alkhamdulillah, puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang mana  telah memberikan rahmat serta karunianya sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Makalah yang berjudul kolektipa sosial ini, merupakan sebuah sarana yang dapat membantu proses perkuliahan khususnya pada mata kuliyah Sosiologi.
Kami sangat menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. maka dari itu kepada para ahli yang arif dan bijaksana, kami sangat mengharapkan tegur sapa dan kritik untuk penyusunan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya dalam memahami pelajaran Sosiologi.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                       
                                                                                    Cirebon, 8 Oktober 2011

Penulis,





PEMBAHASAN

Kolektipa Sosial: Latar belakang, Konsep, dan Pariasi kelompok
A.     Latar Belakang
Perbedaan penjelasan tentang kenyataan atau gejala sosial yang diberikan baik oleh ahli sosiologi maupun orang awam mungkin berdasarkan penerapan teori sosiologi, kenyataannya empirik yang dijadikan sasaran perhatian diupayakan agar dapat diberi makna yang lebih umum, bukan sekedar penafsiran langsung yang terbatas pada runcing dan waktu semata.
B.     Teori Sosiologi yang Menyeluruh
Jika diperhatikan cakupannya, dalam sosiologi terdapat berbagai jenis teori. Ada teori yang merupakan upaya untuk menjelaskan kenyataan sosial yang sangat terbatas dan ada pula teori yang berbentuk suatu sistem konsep yang menyeluruh yang diharapkan dapat menjadi sumber sejumlah besar penjelasan tentang keteraturan yang berkenaan dengan perilaku sosial yang diamati secara empirik seperti yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Talcott Parsons. R.K. Merton membedakan adanya jenis teori yang berada di antara kedua jenis teori tersebut. Ia menamakannya teori tingkat tengah, seperti teorsi tentang demokrasi dan teori tentang kelompok acuan.
Teori tentang masyarakat sebagai keseluruhan atau tentang gejala sosial yang besar menuntut penggunaan teori yang menyeluruh. Penggunaan teori yang menyeluruh yang dikembangkan dengan teliti atas dasar hasil pengkajian empirik memungkinkan peneliti lebih mudah mengetahui kekuatan dan kelemahan sistem teori yang bersangkutan.
Uraian singkat di bawah ini banyak didasarkan atas teori tindakan sosial yang dikembangkan oleh T. Parsons yang menurut penulis banyak membantu dalam memperoleh kejelasan tentang kenyataan sosial yang terdapat di kepulauan Indonesia.
Kenyataan Sosial      
Kenyataan sosial yang merupakan kenyataan empirik yang seharusnya memperoleh perhatian utama dari para ahli sosiologi Indonesia adalah kenyataan sosial yang terwujud di wilayah Republik Indonesia di kepulauan Indonesia yang terbentang luas antara benua Asia dan Australia dan antara lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kenyataan sosial tersebut terdapat pada masa kini maupun masa lampau, ketika belum ada batas-batas wilayah negara yang ditentukan oleh kekuasaan asing seperti kekuasaan Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Portugis. Dengan demikian ahli sosiologi juga memperhatikan perkembangan berbagai gejala sosial tertentu di masa lampau. (Bachtiar, Harsla W. (1972), The Legitimacy of The Military as A National Institution, dalam : Kebijakan dan perjuangan : Buku Kenangan untuk Letnan Jendral Dr. T. B. Simatupang, Jakarta ; Bpk Gunung Mulia hal. 90-103)

Di antara berbagai gejala sosial yang menuntut perhatian dari para ahli sosiologi adalah kolektiva sosial, yaitu sejumlah orang yang secara bersama mengacu pada sejumlah nilai dan aturan yang sama dan mempunyai sejumlah kepentingan yang sama dan menjalankan peranan sebagai pelaku dalam suatu jaringan peranan yang dibatasi oleh kolektiva tersebut. Oleh sebab itu mereka mengidentifikasi diri sebagai anggota kesatuan sosial yang sama. Kolektiva dapat terwujud sebagai kelompok sosial yang terdiri dari hanya dua orang anggota sampai beratus juta orang. Kalau masyarakat ditanggapi sebagai suatu sistem sosial menyeluruh dengan peranan sebagai satuan terkecil, kolektiva sosial merupakan struktur yang berusaha mencapai tujuan tertentu untuk memenuhi suatu kebutuhan sistem sosial yang bersangkutan. Kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu kolektiva dilakukan oleh para anggotanya melalui peranan masing-masing.
Di Indonesia, paling sedikit ada 4 jenis kolektiva sosial besar yang menuntut perhatian dari para ahli sosiologi Indonesia. Karena banyak mempengaruhi tindakan orang Indonesia. Keempat jenis kolektiva sosial besar ini ialah masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia dan umat dari masing-masing agama besar. Para ahli sosiologi diharapkan memberikan perhatian pada berbagai kolektiva sosial besar ini karena awam sering kali tidak mengadakan pembedaan yang tegas antara keempat jenis kolektiva besar ini. Hal ini akan mempengaruhi penjelasan yang berkenaan dengan berbagai gejala sosial tertentu dan cara mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkannya.
Mungkin saja kebanyakan orang di wilayah negara Republik Indonesia merupakan anggota di keempat kolektiva sosial besar ini. Tetapi pasti masih ada cukup banyak orang yang dalam kenyataan hanya anggota dari satu kolektiva sosial saja, atau dua, atau tiga, dan bukan anggota di keempat kolektiva sosial besar tersebut. Kenyataan demikian adalah kenyataan anggota-anggota keluarga-keluarga tertentu, perguruan-perguruan tertentu, perusahaan-perusahaan tertentu, rumah-rumah sakit tertentu, masyarakat-masyarakat pedesaan tertentu, dan banyak pengelompokkan-pengelompokkan lain.
Masyarakat Indonesia sebagai suatu sistem sosial terkait pada kebudayaan Indonesia, yang sering juga dinamakan kebudayaan nasional. Kebudayaan yang menyeluruh inipun dapat ditanggapi sebagai suatu sistem, suatu sistem budaya, yang mempunyai makna atau diharapkan mempunyai makna bagi warga masyarakat Indonesia. Sistem budaya ini terdiri atas kepercayaan-kepercayaan tertentu, seperti kepercayaan yang berkenaan dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa; adanya hidup di akhirat, surga dan neraka; adanya pahala bagi orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang yang berbuat jahat; pengetahuan kognitif tertentu, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan-peguruan tinggi dan yang dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli dalam ilmu pengetahuan; nilai dan aturan yang menyatakan pola perilaku mana yang dianggap baik dan yang mana dianggap tidak baik; serta berbagai hasil ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan penggunaan simbol yang biasanya digunakan dalam menyatakan perasaan pelaku sebagaimana yang banyak terdapat dalam karya sastra dan seni.
Sebagai warga masyarakat, tiap pelaku yang berdiam di wilayah negara Republik Indonesia diharapkan berpedoman pada kebudayaan nasional, meskipun, sebagaimana nanti mudah-mudahan terlihat secara lebih jelas, tidak dalam setiap keadaan para pelaku bertindak dengan berpedoman pada kebudayaan nasional.
Tindakan-tindakan sosial tiap pelaku, atau tindakan yang diwujudkan oleh seorang pelaku terhadap orang lain, banyak tergantung pada tujuan pelaku, bagaimana pelaku melihat keadaan yang dihadapi, motivasi dan tenaga yang menggerakkan pelaku untuk berbuat, serta nilai dan aturan pelaku yang dijadikan pedoman dalam bertindak.
Tindakan antar warga masyarakat mengakibatkan terbentuknya berbagai sub-sistem dari masyarakat yang juga disebut sektor kehidupan bermasyarakat, seperti keluarga, ekonomi (terutama sebagai sistem produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa), kesehatan, ibadah agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, serta sastra dan seni. Masing-masing sub-sistem inipun diatur oleh sistem budaya tertentu, yang juga dikenal sebagai suatu pranata masyarakat yang bersangkutan, yang mengakibatkan para pelakunya cenderung memperhatikan sifat-sifat kepribadian tertentu dalam menjalankan peranan dalam sub-sistem yang bersangkutan, seperti kepribadian birokrasi, kepribadian pengusahawan, kepribadian petani, dan sebagainya.
Keluarga, misalnya, merupakan sub-sistem yang menyelenggarakan sosialisasi warga-warga baru masyarakat, yang biasanya lahir dan diasuh dalam kolektiva keluarga, melalui internalisasi unsur-unsur budaya yang mengatur masyarakat yang bersangkutan. Para warga baru dipersiapkan, semula terutama oleh ibu, kemudian juga oleh orang tua lain dan sekolah, agar dapat menjalankan peranan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam bidang ekonomi, agama, politik, dan sebagainya.
Keluarga tidak hanya berfungsi sebagai satuan sosial yang menyelenggarakan sosialisasi tapi juga sebagai satuan yang memberikan kepuasan emosional dan rangsangan perasaan bagi para anggotanya. Sebagai satuan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi sistem ekonomi serta mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sistem ekonomi. satuan politik yang dapat memberikan dukungan politik kepada pemimpin dalam sistem politik dan ikut melaksanakan keputusan politik yang dibuat oleh para pemimpin politik; satuan agama yang meletakkan dasar-dasar keyakinan agama para anggotanya dan merangsang para anggota melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianut dan sebagainya.
Sesungguhnya masih banyak orang pribumi di Indonesia yang dalam kenyataannya belum berperan dalam masyarakat Indonesia di luar kolektiva sosial kewilayahan dimana mereka hidup, yaitu masyarakat setempat masing-masing. Di wilayah negara Republik Indonesia tidak hanya terdapat masyarakat Indonesia, yang kini jumlah warganya lebih dari 190.000.000 orang, melainkan terdapat juga masyarakat-masyarakat yang lebih terbatas, seperti masyarakat daerah dan masyarakat setempat, atau komuniti. Masing-masing masyarakat inipun, seperti masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Melayu, masyarakat Bali dan masyarakat Bugis dan Makasar dapat ditanggapi sebagai sistem sosial tersendiri yang diatur oleh sistem budaya tersendiri dari warga-warga masyarakat yang memiliki kepribadian yang sedikit banyaknya terbentuk oleh kebudayaan dan struktur sosial masyarakat dimana mereka dibesarkan.
Bilamana seseorang semata-mata bertindak dengan mengacu pada kebudayaan masyarakat daerahnya saja, ia tidak dapat dianggap telah ikut berperan sebagai pelaku dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar. Dilihat secara analitik, banyak orang pribumi di wilayah Indonesia masih hanya berperan sebagai anggota masyarakat daerah asalnya saja. Penggambaran demikian tidak berarti bahwa dalam setiap keadaan seseorang dituntut untuk bertindak sebagai warga masyarakat Indonesia. Seseorang dapat menganggap diri anggota masyarakat daerah tertentu dan berperan sesuai dengan keanggotaannya, seperti dalam kehidupan keluarga, tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti di kantor, di perguruan, di perusahaan, dan di terminal bis, juga berperan sebagai anggota masyarakat Indonesia dengan mengacu pada kebudayaan Indonesia.
Tentu saja diharapkan agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya semua orang Indonesia dalam kenyataan memang menjalankan berbagai peranan sebagai warga masyarakat Indonesia disamping menjalankan peranan-peranan sebagai anggota kolektiva-kolektiva kewilayahan lain sebagaimana dituntut oleh apa yang dinamakan ikatan-ikatan primordialnya. Bahkan, tidak semua pelaku di wilayah Indonesia dapat dianggap sebagai warga masyarakat Indonesia. Ada banyak orang-orang lain, seperti para pejabat perwakilan asing dan para wisatawan dari luar negeri, dianggap bukan warga masyarakat; orang-orang lain demikian diperlakukan sebagai orang asing.
Masyarakat melangsungkan kehidupannya dengan diatur oleh negara ataupun diatur oleh negara. Di Indonesia masyarakat yang menyeluruh semakin banyak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia, dan berbagai umat agama.
Bangsa Indonesia
Kolektiva yang dikenal sebagai bangsa (nasion) Indonesia merupakan suatu ikatan solidaritas dan loyalitas antar sesama anggota yang terdiri atas sejumlah besar pelaku yang menganggap diri dan dianggap orang Indonesia atau manusia Indonesia, apapun rasnya, suku bangsanya, agamanya, ideologi politiknya, dan kewarganegaraannya.
Dalam kenyataan tidak semua orang yang dianggap orang Indonesia memang menganggap diri orang Indonesia dan sebaliknya: tidak semua orang yang menganggap diri orang Indonesia dianggap orang Indonesia oleh semua orang Indonesia lain. Keadaan demikianlah yang mengakibatkan adanya masalah persatuan dan kesatuan Indonesia.
Sebelum pembentukan bangsa Indonesia, dahulu sudah ada kolektiva-kolektiva sosial yang juga disebut bangsa tetapi sesudah pembentukan bangsa Indonesia disebut suku bangsa. Ketika wilayah kediaman suatu suku bangsa boleh dikatakan hanya didiami oleh penduduk pribumi saja, kolektiva sosial tersebut merupakan masyarakat tersendiri sebagaimana digambarkan di atas dalam pembicaraan tentang masyarakat.
Dalam perkembangan dimasa lampau, identitas suku bangsa, yang dulu dikenal sebagai bangsa sesungguhnya mengalami berbagai perubahan. Dalam masa lampau, suku bangsa tertentu dapat terwujud sebagai suatu kolektiva yang lebih luas ataupun kolektiva yang terbatas. Perubahan batas keanggotaan suatu suku bangsa dapat menjadi lebih luas karena adanya perubahan cara pandang yang berkenaan dengan golongan penduduk tertentu yang semula tidak dianggap anggota suku bangsa. Tetapi akhirnya dianggap merupakan bagian dari suku bangsa yang bersangkutan. Karena mereka memperlihatkan banyak ciri-ciri yang sama dengan yang dimiliki oleh kolektiva itu sendiri. Perluasan keanggotaannya suatu suku bangsa juga bisa terjadi karena keluasan dan pentingnya kesatuan politik yang lebih besar, yang pada suatu waktu juga menguasai wilayah suku bangsa yang bersangkutan.
Sebaliknya perubahan suatu suku bangsa menjadi lebih terbatas karena adanya perubahan pandangan sebagian anggota suku bangsa yang bersangkutan terhadap sejumlah anggota lain yang dianggap berbeda sebenarnya, atau menjadi berbeda, dalam berbagai pola perilaku. Penciutan suatu suku bangsa juga bisa terjadi karena pada suatu waktu kekuatan kesatuan politik yang lebih besar membuat batasan pemisah antara dua wilayah suku bangsa yang bersangkutan yang sebelum pemisahan ini merupakan satu wilayah dengan penduduk pribumi yang mengacu pada kebudayaan yang sama.
Bangsa Indonesia, kolektiva yang pada permulaan abad ini belum terbentuk, memperoleh para anggotanya dari dua sumber utama, yaitu: 1. suku-suku bangsa pribumi di wilayah Republik Indonesia, dan 2. golongan-golongan penduduk yang berasal dari luar kepulauan Indonesia, murni maupun peranakan, yang menetap di wilayah Republik Indonesia.
Rekrutmen para anggota pada dasarnya terjadi melalui dua jenis proses, yaitu: 1. pemasukan (inclusion), dan 2. pengerahan tenaga (mobilisasi). Pemasukan terjadi bilamana orang-orang yang tadinya berada di luar kolektiva yang dikenal sebagai bangsa Indonesia dijadikan anggota bangsa ini. Banyak diantara orang keturunan Arab, Cina, Belanda, Portugis atau bangsa asing lain menjadi bagian dari bangsa Indonesia melalui proses pemasukan. Penduduk pribumi di daerah Timor Timur juga menjadi bagian dari bangsa Indonesia melalui proses pemasukan ini.
Pada berbagai masyarakat daerah (terutama masyarakat daerah yang besar) yang semula juga merupakan wilayah suatu bangsa yang kini disebut suku bangsa, golongan terpelajar yang merupakan bagian dari golongan atas di masyarakat tersebut cenderung lebih dahulu menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan banyak diantara mereka telah menganggap diri anggota bangsa Indonesia sejak berada di bangku sekolah menengah pada akhir dekade kedua abad keduapuluh ini. Pada masyarakat demikian terjadi rekrutmen para anggota baru bangsa Indonesia melalui proses pengerahan tenaga diantara golongan-golongan bawahan yang semula tidak menganggap diri bagian dari bangsa hdonesia. Dalam masyarakat daerah yang demikian para pelaku dari golongan bawah pun menganggap diri sebagai orang Indonesia.
Kegiatan propaganda, pendidikan, dan upaya memperoleh anggota baru terutama di kalangan penduduk pribumi di kepulauan Indonesia yang dilancarkan oleh berbagai organisasi dalam masa gerakan kebangsaan Indonesia, seperti Perhimpunan Indonesia di negari Belanda, Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia Raya, Gerakan Rakyat Indonesia, Gabungan Politik Indonesia dan berbagai organisasi politik lain, organisasi pendidikan, organisasi kepanduan, organisasi olahraga dan sebagainya yang berasaskan kebangsaan Indonesia, mengakibatkan amat banyak orang yang dianggap orang Indonesia tapi dalam kenyataan belum menganggap diri orang Indonesia.
Berbagai perlambang dipilih atau dicipta sebagai perlambang persatuan bangsa. Persatuan para pelaku yang berasal dari berbagai ras, suku bangsa, agama, ideologi politik, dan kewarganegaraan sebagai satu bangsa Indonesia dipermudah dengan dijadikannya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lambat-laun tapi semakin cepat berkembang menjadi bahasa tersendiri yang dapat dibedakan dari bahasa Melayu. Bendera merah-putih menjadi perlambang dari bangsa yang baru ini dan nyanyian “Indonesia Raya”, yang digubah oleh pemuda W.R. Soepratman, menjadi lagu kebangsaannya.
Dalam waktu yang boleh dikatakan singkat bangsa baru ini juga memperoleh semacam ingatan bersama tentang riwayat bangsa ini dalam bentuk mitos tentang masa lampaunya, seperti kejayaan negara agung Majapahit dan Sriwijaya yang beberapa abad yang lalu telah mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah satu pemerintahan, serta keperkasaan para pahlawannya yang sejak dahulu telah bangkit mengangkat senjata memberi perlawanan terhadap kekuasaan penjajah asing. Riwayat Sultan Agung, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegon, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Si Singamaraja serta berbagai tokoh lain dari masa lampau menjadi kebanggaan bersama sebagai satu bangsa.
Nilai-nilai tertentu, seperti Ketuhanan, persatuan bangsa Indonesia, peri kemanusiaan, kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan gotong royong menjadi nilai-nilai bangsa Indonesia yang dijabarkan dalam semakin banyak aturan sebagai pedoman dalam tindakan-tindakan para anggotanya, terhadap satu sama lain maupun terhadap orang lain, seperti terhadap para penjajah asing.
Para pelaku yang menjalankan peranan dalam berbagai kolektiva yang merupakan perwujudan dari bangsa Indonesia lambat laun mengembangkan jatidiri sebagai manusia Indonesia, bagian dari bangsa Indonesia.
Kita perlu juga memperhatikan kenyataan bahwa sebelum diadakan kesepakatan antar para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia tentang batas bangsa dan wilayah Indonesia tak lama sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan, pada masa permulaan gerakan kebangsaan Indonesia, rekrutmen anggota bangsa yang sedang dibentuk ini tidak menghiraukan batas kewilayahan yang ditetapkan oleh penguasa penjajah asing. Pada waktu itu banyak golongan penduduk di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara juga menganggap diri bagian dari bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, meskipun banyak diantara mereka menamakan bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya ini bangsa Melayu.
Negara Republik Indonesia adalah suatu struktur politik yang diatur oleh undang-undang, terutama Undang-Undang Dasar 1945. Kolektiva yang dikenal sebagai negara Republik Indonesia ini diproklamasikan kehadirannya di dunia kita oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Para pemimpin gerakan kebangsaan yang mendirikan republik yang baru ini segera mensyahkan undang-undang dasar negara yang kini dikenal sebagai Undang-undang Dasar 1945 dan yang juga mengandung nilai-nilai dasar bangsa dan negara yang kini dikenal sebagai Pancasila.
Pancasila merupakan pedoman bertindak bagi para pelaku yang menganggap diri dan dianggap sebagai orang Indonesia serta yang menurut aturan perundang- undangan negara baru ini adalah warganegara Republik Indonesia. Kelima nilai Pancasila dianggap harus dijadikan pedoman bertindak terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
“Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan keyakinan bersama dari penduduk di kepulauan Indonesia yang kebanyakan berpegang teguh pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Meskipun pada bangsa Indonesia terdapat beberapa agama besar yang berbeda, semua mempunyai keyakinan yang sama berkenaan dengan adanya Tuhan sehingga atas dasar keyakinan yang sama itu bangsa Indonesia sedikit banyaknya merupakan satu umat yang besar, meskipun tidak atas dasar agama tertentu saja.
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan pedoman yang diharapkan menjadi dasar tindakan dalam upaya memberantas penindasan, kekejaman, dan penghinaan oleh manusia atau golongan yang satu terhadap manusia atau golongan yang lain, seperti banyak terjadi dalam masa penjajahan dan masa kekuasaan feodal, serta pedoman dalam upaya untuk terus-menerus meningkatkan harkat dan martabat manusia dan bangsa Indonesia.
“Persatuan Indonesia” merupakan pedoman untuk terus-menerusr mengusahakan dan mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa yang sesungguhnya terdiri dari berbagai golongan ras yang berbeda, suku bangsa yang berbeda, umat agama yang berbeda, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi yang berbeda, pendidikan yang berbeda, penghuni daerah geografi yang berbeda, dan sebagainya.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” merupakan pedoman yang diwarisi sebagai bagian dari kebudayaan para nenek moyang yang bilamana menghadapi masalah bersama, seperti perbedaan pandangan, perbedaan kepentingan, atau perbedaan kehendak, biasanya mengadakan musyawarah, langsung antar pihak-pihak yang bersangkutan ataupun melalui perwakilan, agar akhirnya diperoleh kesepakatan berkenaan dengan apa yang sebaiknya dilakukan.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan pedoman untuk upaya meniadakan kemiskinan dan kebodohan sehingga setiap orang Indonesia dapat memenuhi sekurang-kurangnya kebutuhan dasar yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya secara layak.
Para pelaku yang berperan dalam kolektiva yang diwujudkan oleh negara Republik Indonesia adalah para pelaku yang berperan sebagai warga negaranya, warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu sebagaimana dinyatakan oleh ideologi negara dan yang dinyatakan dalam undang-undang dan aturan perundang-undangannya.
Tatanan keteraturan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penduduk di wilayah negara menuntut adanya pemerintah yang berkewajiban memelihara tatanan ini agar satuan-satuan sosial yang mempunyai fungsi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menjalankan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Pemerintah berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan berbagai aturan umum yang berlaku dan memungkinkan satuan-satuan sosial demikian menjalankan tugas masing-masing. Pemerintah juga berkewajiban untuk menghalangi setiap upaya campur tangan pihak luar yang berusaha mengacau tatanan keteraturan yang ada.
Bilamana gangguan terhadap ketertiban umum tidak dapat dihindarkan dengan cara yang beradab, pemerintah dapat mengerahkan angkatan bersenjata sebagai satu-satunya kekuatan fisik yang diakui syah dalam wilayah negara untuk menghalangi kegiatan pihak pengacau atau membuat pihak pengacau ini tak berdaya lagi. Terhadap ancaman yang berasal dari luar wilayah diadakan upaya pertahanan negara sedangkan terhadap ancaman atau gangguan keamanan yang berasal dari dalam wilayah dapat diadakan berbagai jenis tindakan, termasuk pencabutan kebebasan bergerak dan pelaksanaan hukuman mati.
Melalui pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah, yang di Indonesia harus bertindak sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditentukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan asas kerakyatan, negara berusaha menyelenggarakan pembangunan nasional di berbagai bidang kehidupan dengan dukungan dari masyarakat.
Revolusi nasional, yang didahului oleh perjuangan kebangsaan, tidak hanya mengakhiri kehadiran kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda, melainkan juga mengakhiri kekuasaan pemerintah beberapa negara pribumi dan kekuasaan pemerintah tradisional lain yang pada waktu itu masih terdapat di banyak daerah di kepulauan Indonesia. Berakhirnya kekuasaan pemerintah tradisional di banyak daerah mengakibatkan birokrasi pemerintah negara Republik Indonesia lebih mudah berperan sebagai pengatur dan pembuat keputusan yang mengikat para warganegara di wilayah yang bersangkutan sedangkan penduduk di masing-masing daerah lebih mudah berperan sebagai warga negara Republik Indonesia dalam semakin banyak bidang kehidupam
Sama halnya dengan masyarakat Indonesia dan bangsa Indonesia, belum semua golongan penduduk yang menurut undang-undang yang berlaku adalah warga negara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya adalah warga negara Indonesia. Masih banyak sekali orang Indonesia dalam yang kenyataannya belum berperan sebagai warga negara Republik Jndonesia.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Masing-masing kolektiva sosial besar tersebut di atas mengalami pertumbuhan atau pertambahan jumlah anggota yang dengan sendirinya mengakibatkan berbagai perubahan dalam kolektiva yang bersangkutan maupun antara masing-masing kolektiva dan kolektiva-kolektiva lain. Perubahan dalam kolektiva besar tertentu dapat terwujud sebagai perkembangan yang mengakibatkan terjadinya pembedaan (diferensiasi) fungsi atau pembagian kerja. Sehingga pembentukan berbagai struktur sosial semakin banyak. Disamping itu juga mengakibatkan munculnya profesionalisasi yang semula tidak begitu banyak persyaratan tapi kini semakin banyak dikaitkan dengan kemampuan yang diperoleh dari perguruan tinggi, termasuk peranan-peranan tertentu dalam masing-masing umat agama.
Masing-masing kolektiva sosial besar yang dikemukakan di atas dapat dikaji sebagai sasaran perhatian sendiri, sistem sosial tersendiri, sehingga segala sesuatu yang berada di luar kolektiva besar yang menjadi sasaran perhatian, termasuk kolektiva-kolektiva besar yang lain, menjadi lingkungarmya. Dengan demikian dapat dikaji apa yang menjadi keluaran kolektiva sosial yang menjadi sasaran perhatian utama dan kemana keluaran ini bergerak, sedangkan, sebaliknya, juga dapat dikaji apa yang menjadi masukan kolektiva sosial ini dari masing-masing kolektiva besar yang lain dan bagian-bagian lain dari lingkungannya.
Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh para pelaku masing-masing kolektiva sosial besar tersebut di atas dapat serasi satu sama lain sehingga para pelaku yang bersangkutan merasa bahwa kegiatan yang mereka selenggarakan sebagai anggota satu kolektiva didukung atau diperkuat oleh kolektiva besar yang lain. Akan tetapi, kepentingan-kepentingan tertentu dari kolektiva sosial besar ini juga bisa bertentangan sehingga para pelaku yang bersangkutan dihadapkan dengan pilihan, memprioritaskan kepentingan kolektiva yang satu atau kepentingan kolektiva yang lain. Tidak selalu masalah tuntutan untuk memilih antara dua atau lebih dari dua tuntutan adalah masalah yang mudah dapat diatasi.
 Pengertian Variasi Bahasa
Variasi bahasa menurut Aslindgaf (2007:17) adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induksinya. Variasi Bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register).
Macam-Macam Variasi Bahasa
Chaer (2004:62) mengatakan bahwa variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunanya, Adapun penjelasan variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1). Variasi Bahasa dari Segi Penutur.
a. Variasi Bahasa Idiolek
Variasi bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek. setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing.

b. Variasi Bahasa Dialek
Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Umpamanya, bahasa Jawa dialek Banyumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya.

c. Variasi Bahasa Kronolek atau Dialek Temporal
Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya,variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini.
d. Variasi Bahasa Sosiolek.
Adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
e. Variasi Bahasa Berdasarkan Usia
Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu varisi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa.
f. Variasi Bahasa Berdasarkan Pendidikan
Variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkat atas. Demikian pula, orang lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya dengan mahasiswa atau para sarjana.

g. Variasi Bahasa Berdasarkan Seks
Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak.

h. Variasi Bahasa Berdasarkan Profesi, Pekerjaan atau Tugas Para Penutur
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi yang digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagainya tentu mempunyai perbedaan variasi bahasa.

i. Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Kebangsawanan.
Variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan adalah variasi yang terkait dengan tingkat dan kedudukan penutur (kebangsawanan atau raja-raja) dalam masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti kata mati digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan kata mangkat.
Adapun penjelasan tentang variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1) Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari variasi sosial lainya.
2. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan di pandang rendah.
3. Vulgal adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan.
4. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.
5. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang cenderung menyingkat kata karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak), dll.
6. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial tertentu. Misalnya, para montir dengan istilah roda gila, didongkrak, dll.
7. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet,kaca mata artinya polisi.
8. Ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh dengan kepura-puraan. Misalnya, variasi bahasa para pengemis.
2). Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian.
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalis harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas, adalah ragam bahasa yang menunjukan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang menggunakan bahasa tersebut.
3. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan.
Variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya, Chaer (2004:700) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu:
a. Gaya atau Ragam Beku (frozen).
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,yang digunakan pada situasi-situasi hikmat, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah, dan sebagainya.
b. Gaya atau Ragam Resmi (formal).
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya.
c. Gaya atau Ragam Usaha (konsultatif).
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi.
d. Gaya atau Ragam Santai (casual).
Gaya bahasa ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat dan sebagainya.
e. Gaya atau Ragam Akrab (intimate).
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-pendek dan tidak jelas.
 f. Variasi Bahasa dari Segi Sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Misalnya, telepon, telegraf, radio yang menunjukan adanya perbedaan dari variasi bahasa yang digunakan. salah satunya adalah ragam atau variasi bahasa lisan dan bahasa tulis yang pada kenyataannya menunjukan struktur yang tidak sama.

Sebab-Sebab Adanya Variasi Bahasa
Bebrapa penyebab adanya variasi bahasa adalah sebagai berikut :
1. Interferensi
Chaer (1994:66) memberikan batasan bahwa interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan,sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu. Bahasa daerah menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi, sehingga rasa cinta terhadap bahasa nasional terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk.(eds.) (2003:9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa, misalnya pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahsa Inggris oleh sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi. Selain bahasa daerah, bahasa asing (Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengakibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya masyarakat lebih cenderung menggunakan kata “pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
2. Integrasi
Selain Interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia. Chaer (1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk dan sudah dianggap, diperlukan dan di pakai sebagai bagian dari bahasa yang menerima atau yang memasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah di sesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi seperti montir, sopir, dongkrak.

3. Alih kode dan campur kode.
Alih kode adalah beralihnya suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa lain) (Chaer, 1994:67). Campur kode adalah dua kode atau lebih di gunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai (Chaer, 1994:69). Diantara dua gejala bahasa itu, baik alih kode maupun campur kode gejala yang sering merusak bahasa Indonesia adalah campur kode. Biasanya dalam berbicara dalam bahasa Indonesia di campurkan dengan unsur-unsur bahasa daerah, begitu juga sebaliknya. Dalam kalangan orang terpelajar sering kali bahasa Indonesia di campur dengan unsur-unsur bahasa Inggris.
4. Bahasa Gaul.
Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya para anak jalanan. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama kamus bahasa gaul pada tahun 1999. Contoh penggunaan bahasa gaul adalah sebagai berikut :
Bahasa Indonesia Bahasa Gaul
Ayah; Bokap
Ibu; Nyokap
Saya; Gue.
Penggunaan Variasi Bahasa
Penggunaan variasi bahasa harus di sesuaikan dengan tempatnya (diglosia), yaitu antara bahasa resmi dan tidak resmi.
1. Bahasa Resmi (Tinggi)
Bahasa resmi digunakan dalam situasi resmi seperti, pidato kenegaraan, pengantar pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi, dan buku pelajaran.
2. Bahasa Tidak Resmi (Rendah)
Bahasa ini digunakan dalam situasi yang non formal atau tidak resmi, seperti di rumah, di warung, di jalan, surat-surat pribadi dan catatan untuk dirinya sendiri.


variasi Agama
Kolektiva sosial besar terakhir yang ditampilkan dalam tulisan ini ialah umat agama. Kolektiva ini terbentuk oleh para penganut agama tertentu: kepercayaan- kepercayaan yang didasarkan atas beberapa kitab tertentu yang dianggap suci dan berbagai kegiatan ibadah yang diselenggarakan menurut aturan tertentu. Oleh sebab itu, pedoman yang dianggap berlaku oleh para anggota kolektiva besar demikian adalah ajaran agama yang bersangkutan serta berbagai nilai dan aturan hukum agama.
Di wilayah negara Republik Indonesia terdapat paling sedikit 7 umat agama yang besar, yaitu umat Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Sikh, dan Tridharma menurut ajaran Lao-tse dan Kongtju. Para anggota umat suatu agama di wilayah negara Republik Indonesia tidak mencakup semua warga masyarakat Indonesia, semua anggota bangsa Indonesia, ataupun semua warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, masing-masing umat agama, tanpa kecuali, juga beranggotakan sejumlah orang asing yang menganut agama yang sama. Bahkan sesungguhnya umat agama di Indonesia merupakan bagian dari umat yang jauh lebih besar dan tersebar di luar Indonesia. Hubungan atas dasar rasa setiakawanan dengan sesama umat di luar Indonesia, oleh sebab itu, merupakan masalah tersendiri. Pusat kegiatan ibadah umat Islam berada di luar Indonesia, di Mekkah dan Medinah. Berbagai jemaah agama Kristen Protestan merupakan bagian dari jemaah agama yang berpusat di Belanda, Jerman, Amerika Serikat, atau negeri lain. Umat agama Katolik merupakan bagian dari umat besar yang dipimpin oleh hirarki gereja yang berpusat di Vatikan. Umat agama Hindu, Buddha, dan Sikh mengacu pada kitab-kitab suci yang berasal dari India. Agama Tridharma menurut ajaran Lao-tse dan Khongtju mengacu pada tradisi budaya di Cina.
Struktur masing-masing umat agama sebagai kolektiva sosial tidak sama. Ada umat yang mewujudkan integrasi, atau persatuan anggota umat yang kuat dan ada umat yang terdiri atas banyak kolektiva sosial yang lebih kecil dan tidak terikat satu sama lain. Ada umat yang mempunyai birokrasi yang sangat berkembang dan ada umat yang boleh dikatakan tidak mempunyai birokrasi.
Di sisi lain, umat agama Islam, umat agama Kristen Protestan dan umat agama Katolik masing-masing berkeyakinan bahwa penyebaran luas agama yang dianut, yang ditanggapi sebagai satu-satunya agama yang benar, adalah tanggung jawab para anggota umat, bahkan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan. Keyakinan demikian berarti masing-masing umat berusaha memperluas umat dengan merekrut anggota-anggota baru yang semula berada di luar umat yang bersangkutan, hal mana dapat ditanggapi sebagai ancaman oleh umat yang lain.
Beberapa abad yang lalu, J.J. Rousseau telah mempersoalkan kehadiran lebih dari satu agama di suatu negara dalam bab terakhir bukunya yang berpengaruh besar yang merupakan salah satu hasil karya tulisnya, Contract Social (Perjanjian Sosial). Dalam keadaan demikian, menurut Rousseau, akan tumbuh suatu gejala yang menyerupai agama dan yang dinamakannya agama kewarganegaraan (religion civile). Gejala ini tahun 1960-an ditampilkan kembali oleh ahli sosiologi agama R.N. Bellah yang menggambarkan kehadiran agama kewarganegaraan (civil religion) di negara Amerika Serikat, dimana penduduk mewujudkan berbagai agama yang berbeda, sehingga seluruh negara Amerika juga merupakan satu umat agama, meskipun masing-masing umat agama yang lebih terbatas, seperti agama Protestan, agama Katolik, agama Yahudi, agama Islam, agama Buddha, dan sebagainya tetap bertahan sebagai umat tersendiri.
Bilamana kita memperhatikan masyarakat kita, juga terlihat tumbuhnya gejala yang menyerupai suatu agama dalam pengertian sosiologi, dan yang dinamakan agama kewarganegaraan oleh Rousseau dan Bellah. Ciri-ciri agama ini yang terwujud pada sekalian warganegara Republik Indonesia adalah kepercayaan pada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, keyakinan yang ditampilkan pada setiap upacara resmi dalam bentuk doa, seperti pada upacara pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat; kepercayaan pada adanya dunia akhirat; surga dan neraka; adanya pahala bagi yang berbuat baik dan hukuman buat yang berbuat jahat; adanya kitab yang menyerupai kitab suci, yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang diperlukan dengan penuh kekhidmatan; adanya tokoh-tokoh yang diperlakukan seperti memperlakukan nabi, yaitu Ki Hadjar Dewantoro, Soekamo dan Mohammad Hatta; adanya tokoh-tokoh yang diberi wewenang untuk menafsirkan kitab suci seperti wewenang ulama atau pendeta, yaitu para anggota BP-7 dan para manggala; adanya simbol-simbol tertentu yang melambangkan umat yang bersangkutan, yaitu Garuda Pancasila dan bendera Merah-Putih; adanya upacara-upacara yang memberi perasaan keagamaan bagi para pesertanya, seperti upacara Peringkatan Hari Kemerdekaan dan Hari Kesaktian Pancasila; adanya ritual yang diselenggarakan secara berkala, seperti upacara bendera; adanya para martir yang mengurbankan nyawa mereka untuk kelangsungan hidup umat, seperti para Pahlawan Revolusi; dan adanya tempat-tempat yang dikeramatkan, seperti Taman Pahlawan dan Lubang Buaya.

Konsep Budaya
Budaya merupakan kompleks keseluruhan dimana dimasukkannya pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan lain apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Beberapa aspek dari perlunya perluasan budaya.
1. Pertama, budaya merupakan konsep yang meliputi banyak hal (luas). Hal tersebut termasuk segala sesuatu dari pengaruh proses pemikiran individu dan perilakunya. Ketika budaya tidak menentukan sifat dasar dari frekuensi pada dorongan biologis seperti lapar atau seks, hal tersebut berpengaruh jika, kapan, dan bagaimana dorongan ini akan memberi kepuasan.
2. Kedua, budaya adalah hal yang diperoleh. Ia nya tidak dimasukkan mewarisi respon dan kecenderungan. Bagaimanapun, semenjak perilaku manusia dari perilaku.
3. Ketiga, kerumitan dari masyarakat modern merupakan kesungguhan dimana budaya jarang memberikan ketentuan yang terperinci atas perilaku yang tepat.
Budaya terutama dijalankan oleh keadaan yang batasannya cukup bebas pada perilaku individu dan oleh pengaruh fungsinya dari institusi seperti keluarga dan media massa. Kemudian, budaya memberikan kerangka dalam yang mana individu dan rumah tanga gaya hidup menyusun. Batasan dimana perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi yang spesifik. Norma dijalankan dari nilai budaya. Dimana nilai budaya adalah kepercayaan yang dipertahankan dimana menguatkan apa yang diinginkan. Pelanggaran dari norma budaya berakhir dengan sangsi yang merupakan hukuman dari pencelaan sosial yang ringan untuk dibuang dari kelompok.
Variasi Dalam Nilai Budaya
Nilai budaya memberikan dampak yang lebih pada perilaku konsumen dimana dalam hal ini dimasukkan kedalam tiga kategori umum:
orientasi nilai-lainnya
Merefleksi gambaran masyarakat dari hubungan yang tepat antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Hubungan ini mempunyai pengaruh yang utama dalam praktek pemasaran. Sebagai contoh, jika masyarakat menilai aktifitas kolektif, konsumen akan melihat kearah lain pada pedoman dalam keputusan pembelanjaan dan tidak akan merespon keuntungan pada seruan promosi untuk “menjadi seorang individual”. Dan begitu juga pada budaya yang individualistic.
sifat dasar dari nilai yang terkait ini termasuk individual/kolektif, kaum muda/tua, meluas/batas keluarga, maskulin/feminim, persaingan/kerjasama, dan perbedaan/keseragaman.
Individual/kolektif
Budaya individualis terdapat pada budaya Amerika, Australia, Inggris, Kanada, New Zealand, dan Swedia. Sedangkan Taiwan, Korea, Hongkong, Meksiko, Jepang, India, dan Rusia lebih kolektifis dalam orientasi mereka. Nilai ini adalah faktor kunci yang membedakan budaya, dan konsep diri yang berpengaruh besar pada individu. Tidak mengherankan, konsumen dari budaya yang memiliki perbedaan nilai, berbeda pula reaksi mereka pada produk asing, iklan, dan sumber yang lebih disukai dari suatu informasi. Seperti contoh, konsumen dari Negara yang lebih kolektifis cenderung untuk menjadi lebih suka meniru dan kurang inovatif dalam pembelian mereka dibandingkan dengan budaya individualistik. Dalam tema yang diangkat seperti ” be your self” dan “stand out”, mungkin lebih efektif dinegara amerika tapi secara umum tidak di negara Jepang, Korea, atau Cina.
Usia muda/tua
dalam hal ini apakah dalam budaya pada suatu keluarga, anak-anak sebagai kaum muda lebih berperan dibandingkan dengan orang dewasa dalam pembelian. Dengan kata lain adalah melihat faktor budaya yang lebih bijaksana dalam melihat sisi dari peran usia. Seperti contoh di Negara kepulauan fiji, para orang tua memilih untuk menyenangkan anak mereka dengan membeli suatu barang. Hal ini berbeda dengan para orang tua di Amerika yang memberikan tuntutan yang positif bagi anak mereka. Disamping itu, walaupun Cina memiliki kebijakan yang mengharuskan untuk membatasi keluarga memiliki lebih dari satu anak, tetapi bagi budaya mereka anak merupakan “kaisar kecil” bagi mereka. Jadi, apapun yang mereka inginkan akan segera dipenuhi. Dengan kata lain, penting untuk diingat bahwa segmen tradisional dan nilai masih berpengaruh dan pera pemasar harus menyesuaikan bukan hanya pada lintas budaya melainkan juga pada budaya didalamnya.
Luas/batasan keluarga
Yang dimaksud disini adalah bagaimana keluarga dalam suatu budaya membuat suatu keputusan penting bagi anggota keluarganya. Dengan kata lain apakah peran orang dewasa (orang tua) memiliki kebijakan yang lebih dalam memutuskan apa yang terbaik bagi anaknya. Atau malah sebaliknya anak-anak memberi keputusan sendiri apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dan bisa dikatakan juga bahwasanya pengaruh pembelian oleh orang tua akan berpengaruh untuk seterusnya pada anak. Seperti contoh pada beberapa budaya:
Di Meksiko, sama halnya dengan Amerika, peran orang dewasa sangat berpengaruh. Para orang tua lebih memiliki kecenderungan dalam mengambil keputusan dalam membeli.
Para orang dewasa muda di Thailand hidup sendiri diluar dari orang tua atau keluarga mereka. Tetapi ketergantungan dalam membeli masih dipengaruhi oleh orang tua maupun keluarga mereka.
Lain halnya di India, sesuatu hal yang akan dibeli diputuskan bersama-sama dalam satu keluarga (diskusi keluarga).
Persaingan/Kerjasama
Yang dimaksud disini adalah bagaimana orientasi baik itu maskulin maupun feminisme dalam keterbukaannya pada konsumen. Pada orientasi maskulin seperti di Amerika, keterbukaan menjadi suatu hal yang harus terpelihara. Lain halnya Jepang yang berorientasi feminim, Mereka menganggap bahwa keterbukaan sama halnya dengan “kehilangan muka”. Variasi dari nilai ini bisa dilihat dari perbedaan reaksi budaya pada iklan yang dibandingkan. Seperti contoh Amerika Serikat yang membesarkan hati mereka ketika mereka menggunakannya didalam budaya lain yang bisa dengan mudahnya mendapatkan reaksi yang tidak baik. Disisi lainnya, jepang yang memiliki kolektifitas yang lebih menurut sejarahnya menemukan perbandingan iklan menjadi sesuatu yang tidak disukai, meskipun demikian Pepsi menemukan anak muda Jepang sedikit lebih mau menerima jika pembandingan dilakukan dalam keterus-terangan dan cara yang lucu.
Sebagai aturannya, perbandingan iklan dapat digunakan dengan ketelitian dan hanya sungguh-sungguh telah teruji.
Perbedaan/keseragaman
Budaya dengan nilai yang berbeda tidak hanya akan menerima aturan yang bergai macam dari perilaku pribadi dan sikap tapi juga menerima variasi dalam bentuk makanan, pakaian, dan produk lain serta pelayanannya. Dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki keseragaman nilai, dimana mereka tidak menyukai serta menerima bermacam aturan dari rasa dan produk pilihan.
Jepang dan budaya kolektif lainnya cenderung untuk meletakkan nilai yang kuat dalam keseragaman dan kesesuaian, sebaliknya budaya individualistik yang lebih seperti Canada dan Belanda cenderung pada nilai perbedaan. Ketika banyak aspek penting dari budaya ini dibuat oleh perbedaan dalam nilai, satu yang nyata dengan relative ketiadaannya turis yang berlatar “etnis” di restoran-restoran Jepang dibandingkan dengan Canada dan Belanda. Walaupun demikian, perubahan ekonomi dan sosial yang digerakkan oleh usia muda pada masyarakat kolektifis, membuat perbedaan lebih diterima dibandingkan dengan hal tradisional yang dijumpai, dan juga jika kecenderungan dari tingkatan yang mutlak lebih rendah dibandingkan dengan sisi individualistik mereka.
Kebersihan
Ketika adanya perbedaan dalam meletakkan nilai kebersihan diantara budaya ekonomi berkembang, ada perbedaan yang sangat luas diantara budaya ini dengan banyak budaya negara kurang berkembang. Di banyak negara miskin, kebersihan dinilai tidak pada tingkatan yang cukup untuk menghasilkan lingkungan yang sehat. Hal ini dapat dilihat pada negara Cina dan India, dimana kebersihan menjadi Sesutu yang begitu mengkhawatirkan. Ketika hal tersebut menjadi dampak bagi budaya lokal, McDonald’s mendapat penghargaan dengan memeperkenalkan pengolahan makanan yang higienis dan toilet beberapa pasar Asia Timur termasuk Cina.
Tradisi/perubahan
Berbeda pada Amerika, konsumen pada tradisi Korea dan Cina kurang nyaman dengan situasi baru atau cara pemikiran baru. Nilai ini direfleksikan dalam iklan mereka dimana berbeda pada iklan di Amerika, dimana di Inggris dan Cina menekankan tradisi dan sejarah. Untuk target pada kerangka berpikir penonton melalui televisi, daya tarik budaya lebih digunakan. Dalam target majalah pada orang-orang muda Cina, daya tarik modern yang difokuskan pada teknologi, mode, dan kesenangan lebih banyak digunakan.
Religi/sekuler atau duniawi
Amerika Serikat relatif sekuler. Banyak budaya Islam dan juga beberapa budaya katholik lebih banyak berorientasi pada religi. Perbandingannya, religi bermain dengan peran yang sangat sedikit dalam budaya Cina. Bagaimanapun juga, Cina memili aktivitas religi didalamnya. Secara garis besarnya pengertian yang luas dan dan tipe dari yang berhubungan dengan pengaruh religi dalam budaya pada dasarnya untuk tujuan efektif semua elemen pada campuran pemasaran.
Variasi Kebudayaan Dalam Komunikasi Nonverbal
Perbedaan dalam sistem komunikasi verbal adalah lintas budaya yang nyata dengan segera dan harus diambil kedalam suatu perhitungan oleh keinginan pemasar untuk dilakukannya bisnis dalam budaya itu. Mungkin lebih penting dan bagaimanapun juga tentu saja lebih sulit untuk mengenal apakah sistem komunikasi nonverbal tersebut. Contoh utama dari variabel komunikasi nonverbal dimana mempengaruhi pemasar adalah waktu, ruang, simbol, hubungan, persetujuan, benda, dan etiket.
Waktu
Pengertian dari variasi waktu diantara budaya adalah dalam dua cara utama. Pertama, apa yang kita sebut perspektif waktu: ini adalah keseluruhan orientasi terhadap waktu. Kedua, adalah menempatkan interpretasi pada spesifik waktu yang digunakan.
Perspektif waktu
Ada dua jenis perspektif waktu antara lain;
1. Yang pertama, monochromic time perspective yakni orientasi yang kuat kearah sekarang serta waktu jangka pendek. Dan kedua, polychromic time perspective yakni orientasi kearah sekarang dan masa lalu. Arti dalam waktu yang digunakan
2. Perspektif yang dipakai akan membuat suatu pengertian yang berbeda dari waktu yang digunakan pada budaya yang berbeda. Seperti di negara yang berorientasi pada monochronic, mereka manganggap bahwa waktu adalah uang. Jadi setiap detik, menit, jam sangat berharga bagi mereka. Begitu sebaliknya pada negara yang berorientasi polichronic, istilah “tetaplah menunggu” menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka.
Simbol
Di Amerika jika melihat bayi memakai baju warna pink, maka bayi tersebut di identikkan dengan seorang perempuan. Begitu juga jika memakai warna biru, maka dapat dipastikan bahwa jenis kelaminnya adalah laki-laki. Tetapi hal tersebut akan ditanggapi berlainan di negara Belanda. Warna, gambar binatang, bentuk, angka, dan musik akan memberikan variasi pengartian dalam lintas budaya. Kegagalan dalam mengenal arti penempatan pada simbol bisa berakibat pada masalah yang serius. Salah satu contohnya adalah ketika pebisnis Cina yang bepergian untuk mengelilingi rute pasifik, kebanyakan mereka terkejut ketika melihat petugas perjalanan wisata tersebut memakai pakaian putih yang bagi Asia merupakan simbol dari kematian.

Benda
Pengartian budaya terhadap benda pada pola pembelian adalah sesuatu yang tidak disangka-sangka atau dengan kata lainnya adalah “hadiah”. Dalam beberapa budaya, pemberian hadiah dilakukan dalam beberapa bentuk. Dinegara Cina pemberian hadiah dilakukan secara rahasia, sedangkan di negara Arab dilakukan didepan orang yang akan diberikan hadiah. Dan begitu juga terhadap benda apa yang diberikan sebagai suatu hadiah.
Budaya Global
Isu penting yang dihadapi oleh pemasar adalah perluasan pada salah satu atau lebih pada budaya global konsumen atau pangsa yang tergabung. Ada kesan yang memberikan keterangan bahwa ada pergerakan yang sungguh-sungguh dalam arah ini. Budaya memiliki serta memberikan perangkat dari simbol hubungan-konsumsi dengan pengertian umum dan sifat diantara anggotanya. Satu diantara maksud budaya global adalah bahwasanya porsi dari budaya lokal menggambarkan diri mereka sendiri sebagai kosmopolitan, berpengetahuan banyak, dan modern. Beberapa individu memberikan banyak nilai dan perilaku hubungan konsumsi dengan individu yang serupa pada jarak lintas dari budaya bangsa.
Beberapa budaya dikreasikan oleh globalisasi media massa, kerja, pendidikan, dan wisata. Beberapa kategori produk (telpon genggam, internet) dan merk (Sony, Nike) menjadi simbol hubungan pada budaya ini. Ini tidak diimplikasikan bahwa merk ini digunakan pada iklan global yang sama tetapi melainkan tema pokok dan simbol yang mungkin sama.
Budaya Global Anak Umur Belasan Tahun (ABG)
Para ABG seluruh dunia menonton banyak pertunjukan yang sama, melihat film dan video yang sama, dan mendengar musik yang sama. Mereka tidak hanya mengidolakan musisi yang sama, tetapi juga musisinya, baik itu gaya berpakaian, kelakuan, dan sikap, dimana melengkapi mereka dengan banyak karakter. Pemasar menggunakan kesamaan ini diantara ABG lintas budaya untuk meluncurkan merk global. Dengan kata lain, dalam mengiklankan produknya pemasar menggunakan model yang dapat dikenal para ABG diseluruh dunia seperti bintang olah raga. Atau juga dengan mengiklankan pada bentuk keseleruhan dari lintas budaya tersebut. Seperti pepsi yang dalam satu iklan memperlihathkan aktivitas ABG diseluruh dunia.
Apa itu distribusi, politik, dan struktur legal bagi produk?
Struktur yang legal dari suatu negara bisa memiliki dampak dalam tiap aspek dari campuran pemasaran perusahaan. Seperti contoh dua akhir iklan FedEx untuk Amerika Latin dikarenakan pembatasan legal di Meksiko. Begitu juga dengan distribusi dan politik yang juga berpengaruh dalam pemasaran suatu produk.



















DAFTAR PUSTAKA

Alwi,dkk (eds). 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta
Bachtiar, Harsla W. (1972), The Legitimacy of The Military as A National Institution, dalam : Kebijakan dan perjuangan : Buku Kenangan untuk Letnan Jendral Dr. T. B. Simatupang, Jakarta ; Bpk Gunung Mulia hal. 90-103
http//:variasi kelompok sosiologi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar