Senin, 23 Januari 2012

Hukum Pers di Indonesia




1. Pengantar

Secara umum, suatu siaran radio dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) jenis yaitu siaran hiburan yang berisi hal-hal yang dapat dinikmati pendengar sebagai sesuatu yang menghibur, dan jenis yang kedua adalah siaran berita yang memuat informasi-informasi untuk pendengar.  Muatan siaran yang kedua sering dikaitkan dengan pers atau jurnalistik.  Oleh karena itu penyelenggaraan radio siaran swasta dan televisi juga harus memperhatikan aturan-aturan yang berkaitan dengan kegiatan pers  dan kegiatan jurnaslistik. 

Sesuai dengan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers), disebutkan bahwa Perusahaan Per adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers yang meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelanggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.  Berdasarkan pengertian tersebut secara tegas terdapat kelompok media elektronik sebagai perusahaan pers.  Media elektronik tersebut salah satunya adalah radio siaran swasta.  Artinya, radio siaran swasta harus pula patuh terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam UU Pers. 

2. Kebebasan Pers

Untuk lebih memahami hal-hal yang diatur dalam UU Pers kaitannya penyelenggaraan radio siaran swasta, sebelumnya akan dibahas dahulu secara singkat tentang Kemerdekaan Pers.  Hal ini diperlukan agar lebih mudah memahami muatan dalam UU Pers.  Kemerdekaan Pers atau dikenal juga dengan Kebebasan Pers adalah kebebasan yang dibarengi dengan kewajiban-kewajiban.  Dengan kata lain, tuntutan kebebasan tersebut harus pula memikul kewajiban atau tanggungjawab tertentu sehingga kebebasan pers berlaku tanpa batas.[1] Maksud dan tujuan Kebebasan Pers di Indonesia adalah menciptakan pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab guna mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dengan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.[2] 

Pengaturan tentang pers yang berkaitan dengan radio siaran swasta terdapat dalam beberapa pasal dalam UU Pers yaitu Pasal 2, tentang Kemerdekaan Pers ; Pasal 7, tentang wartawan dan kode etik jurnalistik ; Pasal 13, tentang ketentuan periklanan ; Pasal 18, tentang ketentuan pidana.  Tentang Kemerdekaan Pers telah disinggung sebelumnya, sedangkan  tentang wartawan dalam pasal 7 ayat (1) UU Pers disebutkan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Dalam hal ini yang dimaksud wartawan di radio siaran swasta adalah wartawan yang disebut wartawan elektronik, meskipun sampai saat ini masih terdapat kerancuan siapa-siapa saja yang dikelompokkan sebagai wartawan elektronik.  Namun, yang terpenting adalah semua pihak yang disebut sebagai wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik dan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.[3]

Untuk ketentuan periklanan dalam pasal 13, disebutkan bahwa larangan memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atai mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Disamping itu, dilarang adanya iklan yang menawarkan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta peragan wujud rokok dan atau penggunan rokok.  Berkaitan dengan ketentuan pidana dalam pasal 18 UU Pers, disebutkan adanya ancaman pidana untuk pelanggaran-pelanggaran pasal-pasal tertentu dalam UU Pers. 

3. Hak Tolak, Hak Jawab dan Hak Koreksi

Substansi lain juga berkaitan dengan radio siaran swasta adalah adanya Hak Tolak, Hak Jawab dan Hak Koreksi.  Menurut pasal 1 butir 10 UU Pers, Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang yang harus dirahasiakan.  Pengertian Hak Jawab termuat dalam pasal 10 butir 11 UU pers adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.  Untuk Hak Koreksi dimuat dalam pasal 10 butir 12 UU Pers yang menyebutkan bahwa hak tersebut adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membentulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain, selain itu kaitannya dengan Hak Koreksi adalah Kewajiban koreksi yang pengertiannya termuat dalam pasal 10 butir 13 UU Pers yaitu keharusan melakukan kpreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah dineritakan oleh pers yang bersangkutan.

Mekanisme Penyelesaian Masalah Pemberitaan Pers

Jumat, 09 Pebruari 2007 16:39
Oleh R.H. Siregar
Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003, 2003-2006

Sampai sekarang belum ada jalan keluar yang dapat menuntaskan penyelesaian masalah atau penanganan perkara akibat pemberitaan pers. Karena mekanisme yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UUPers) dalam menyelesaikan masalah akibat pemberitaan pers selain belum memuaskan, juga masih diperdebatkan. Di satu sisi kalangan pers menginginkan supaya kekeliruan dan atau kesalahan yang terjadi dalam pemberitaan pers diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai ketentuan UUPers. Tapi pada sisi lain aparat penegak hukum umumnya cenderung menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana karena pengaturannya dalam UUPers tidak lengkap.

Mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers masih diperdebatkan karena  ada pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi menurut UUPers tidak mengikat. Mekanisme itu hanya mengikat pihak pers sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) UUPers yang mewajibkan pers melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sedangkan pihak di luar pers sama sekali tidak terikat untuk melaksanakannya. Sebab yang namanya “hak”, maka tergantung yang bersangkutan apakah akan mempergunakan haknya atau tidak. Demikian juga beberapa pertimbangan hukum majelis hakim mengatakan, bahwa pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi tidak menyebabkan hilangnya gugatan perdata dan tuntutan pidana.

Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan supaya anggota masyarakat lebih dulu menempuh mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UUPers sebelum menempuh proses hukum apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers. Lagi pula kalangan masyarakat sering mengeluh mengingat pelaksanaan Hak Jawab kurang memuaskan. Di samping itu, juga tidak efektif karena penempatan Hak Jawab sering kurang proporsional dan terlambat memuatnya. Lagi pula seperti dikeluhkan Letjen TNI Djadja Suparman ada kecenderungan pers menerapkan cara-cara pemberitaan “pukul dulu urusan belakangan”. Artinya beritakan dulu apa  adanya, soal kemudian ada koreksi dan atau pelurusan berita, itu urusan nanti. Cara-cara inilah oleh berbagai pihak dikualifikasi sebagai character assassination atau pembunuhan karakter.
Memang harus diakui, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers  menjadi masalah karena kedua hak itu yang tadinya merupakan norma etik menjadi norma hukum. Sebelum kedua hak itu ditetapkan menjadi norma hukum, maka sebagai norma etik  dengan dilaksanakannya Hak Jawab dan Hak Koreksi, penyelesaian masalah telah dianggap selesai. Akan tetapi dengan ditetapkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai norma hukum dalam hukum positif, maka penyelesaian masalah menurut norma etik tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara hukum sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPers.
Bahkan sebenarnya dengan dimasukkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi menjadi ketentuan hukum positif sangat memberatkan pers karena UUPers menetapkan apabila pers tidak melaksanakan Hak Jawab diancam pidana denda maksimal Rp. 500 juta. Padahal sesuai ketentuan kode etik, apabila Hak Jawab tidak dilaksanakan dikenakan sanksi moral, namun sanksi itu berubah menjadi pidana sekalipun berupa denda. Pembentuk UU sendiri dalam hal ini sebenarnya tidak adil, karena kalau Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers sebagaimana mestinya, tidak ada imbalan atau kompensasi dengan menyatakan tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan.
Dengan demikian, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers tersebut menjadi kurang efektif. Sebab, tidak ada kewajiban kalangan masyarakat untuk menempuh mekanisme dimaksud. Di sini terasa sekali pembentuk UU bersikap mendua (ambivalen). Kalau pembentuk UU mau fair, maka  seharusnya tidak hanya pers yang wajib melayani Hak Jawab, tapi masyarakat juga wajib menempuh mekanisme Hak Jawab apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam pemberitaan pers.
Di samping berbagai kendala seperti dikemukakan di atas, mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers seperti diatur dalam UUPers  tersebut tidak mencapai sasaran. Tidak lain karena pembentuk UUPers sebenarnya tidak menghendaki UUPers sebagai lex specialis dalam konteks adagium hukum yang mengatakan lex specialis derogat legi generali. Bahkan sebenarnya pembentuk UUPers  justru mentolerir masuknya peraturan perundang-undangan lain dalam kaitan dengan perkara pers. Beberapa bukti untuk itu dapat disebut sebagai berikut.
  • Dalam Penjelasan Umum UUPers pada alinea terakhir ditegaskan, “untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dengan rumusan seperti itu jelas sekali bahwa pembentuk UUPers tidak berkehendak produknya bersifat mandiri. Dengan kata lain, pembentuk UU mengundang masuknya atau berlakunya peraturan perundang-undangan lain berkenaan dengan perkara pers.
  • Alinea terakhir Penjelasan Pasal 12 UUPers menyatakan, “sepanjang menyangkut pertanggung jawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Itu berarti kalau ada tuntutan pidana, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan lain, seperti KUHPidana dan KUHAP, bukan UUPers. Kembali di sini terbukti bahwa pembentuk UUPers tidak menginginkan produk legislatif ini bersifat mandiri atau dijadikan sebagai lex specialis.
  • Penjelasan Pasal 8 UUPers menegaskan, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan Penjelasan Pasal 8 ini juga menunjukkan pengakuan pemberlakuan ketentuan lain.
  • Penjelasan Pasal 9 UUPers mengenai kesempatan bekerja termasuk mendirikan perusahaan pers, juga ditegaskan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  • Penjelasan Pasal 11 UUPers mengenai penambahan modal asing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jelaslah bagi kita bahwa sejak semula pembentuk UUPers tidak menginginkan produk legislatif yang satu ini dikualifikasi sebagai lex specialis.
Idealnya UUPers merupakan lex specialis. Yaitu UUPers yang bersifat khusus meniadakan UU bersifat umum, seperti KUHPidana. Akan tetapi untuk menjadi lex specialis, mau tidak mau UUPers yang berlaku sekarang harus direvisi atau disempurnakan. Penulis sendiri termasuk orang yang sejak semula menghendaki supaya UUPers merupakan lex specialis. Ketika pada tahun 1979 dibentuk Tim Naskah Akademis Penyempurnaan UUPers (UU No. 11 Tahun 1966) oleh Menteri Kehakiman, Prof. Oemar Seno Adji, penuslis termasuk salah seorang anggota tim di samping  S.Tasrif (almarhum), Jakob Oetama dan diketuai oleh Kepala BPHN, Dr. JCT Simorangkir SH (almarhum) yang merekomendasikan menjadikan UUPers  sebagai lex specialis.
Untuk itu, semua jenis delik pers yang terdapat dalam KUHPidana dimasukkan ke dalam UUPers yang disempurnakan, tapi dengan modifikasi. Antara lain menetapkan pencemaran nama baik sebagai perkara perdata tidak lagi merupakan perkara pidana. Selain itu, paradigma pemenjaraan wartawan akibat kekeliruan dan atau kesalahan dalam pemberitaan yang dianut oleh KUHPidana buatan pemerintah kolonial Belanda diganti dengan pidana denda. Jadi tidak ada lagi kriminalisasi atau pemidanaan masuk penjara atas karya jurnalistik.
Dalam hubungan ini, kalangan pers yang menginginkan pemberlakuan UUPers berkaitan dengan penyelesaian perkara pers, tidak bisa disalahkan, bertolak dari pemahaman bahwa UUPers adalah UU bersifat khusus. Sebaliknya, anggota masyarakat dan aparat penegak hukum umumnya yang cenderung mempergunakan pasal-pasal KUHPidana dalam penyelesaian perkara pers, juga tidak bisa disalahkan, karena bertolak dari pemikiran bahwa UUPers bukan lex specialis atas KUHPidana.
Dikatakan demikian karena UUPers belum memenuhi syarat menjadi lex specialis. Menurut berbagai pemikiran yang dihimpun dan menurut ketentuan KUHPidana, maka paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya suatu UU dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
  1. Untuk menjadi lex specialis, rezim hukumnya harus sama. Misalnya sama-sama rezim hukum pidada. Itu berarti rezim hukum perdata tidak mungkin menjadi lex specialis terhadap rezim hukum pidana. Sedangkan UUPers rezim hukumnya tidak jelas karena berisikan berbagai rezim hukum seperti perdata, pidana, hukum acara, HAKI, Cyber-law dan lain-lain. Karena itu UUPers  perlu disempurnakan supaya dapat dijadikan sebagai lex specialis terhadap KUHPidana.
  2. Harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh dua aturan yang berbeda (vide Pasal 63 KUHPidana). Jadi dikaitkan dengan UUPers harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh UUPers, juga dilarang oleh KUHPidana. Sebagai contoh, larangan penghinaan yang diatur dalam KUHPidana juga harus diatur dalam UUPers. Tapi ternyata tindak pidana penghinaan hanya diatur oleh KUHPidana, tidak diatur oleh UUPers. Oleh karena itu, kalau ada pengaduan ke pihak kepolisian tentang penghinaan, mau tidak mau memakai Pasal 310 KUHPidana, karena tidak diatur dalam UUPers. Dari segi ini pun jelas sekali bahwa UUPers tidak memenuhi syarat untuk dijadikan lex specialis terhadap KUHPidana.
  3. Ancaman hukuman UU bersifat lex specialis jauh lebih berat dari UU bersifat umum. Contohnya, Pasal 339 dan Pasal 340 KUHPidana. Atau UU Anti Korupsi dan UU Anti-terorisme terhadap KUHPidana, ancaman hukuman UU bersifat khusus tersebut jauh lebih berat dari ancaman hukuman UU bersifat umum (KUHPidana). Sedangkan UUPers seperti diketahui ancaman hukumannya maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
Lantas bagaimana jalan keluar atau perundang-undangan mana yang diterapkan dalam hal terjadi masalah akibat pemberitaan pers. Seperti dikemukakan di atas, idealnya adalah menerapkan UUPers sebagai lex specialis. Untuk itu, maka UUPers yang berlaku sekarang harus disempurnakan. Dan dalam penyempurnaan itu pun harus menjadi jelas menyangkut pertanggungjawaban pidana pers. Sebab menurut UUPers yang berlaku sekarang dikaitkan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana menurut KUHPidana terdapat perbedaan, sehingga terkesan terjadi dualisme.
Di samping itu, prinsip ultimum remidium dalam perkara pidana perlu diterapkan dalam penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers. Dengan prinsip ini, maka penerapan pasal-pasal pidana merupakan upaya terakhir. Itu berarti, kalau masih ada upaya hukum yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah, maka ketentuan itulah yang lebih dulu dipergunakan. Dengan demikian, seyogianya diupayakan dulu penyelesaian masalah  menurut UUPers, tidak langsung begitu saja mengancam pasal-pasal pidana, lebih-lebih berkenaan dengan masalah yang timbul akibat pemberitaan pers.*
(Tulisan ini merupakan makalah RH Siregar yang disampaikan dalam beberapa diskusi)

Resume Materi PKn *

Oleh Edhuard Eddy Widodo Inshani
PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRASI
(Materi PKn kelas XII IA-IS SMA semester Genap)
1. Pengertian
Pers berasal dari bahasa Belanda, yang artinya menekan atau mengepres. Sedangkan press dari bahasa Inggris dan Amerika. Pers dan press mempunyai arti yang sama yakni menekan atau mengepres. Naskah atau berita yang dimuat di surat kabar atau majalah diartikan sebagai masuk dalam pers. Kata pers atau press berasal dari cara kerja percetakan pada jaman dahulu. Menurut Simorangkir arti pers adalah :
a. pers dalam arti sempit, hanya terbatas pada media cetak
b. pers dalam arti luas, bukan saja menyangkut media cetak tetapi juga media elektronik
2. Fungsi dan Peranan Pers
Secara umum fungsi pers adalah sebagai berikut :
a. Memberi informasi, dengan membaca surat kabar, majalah, tabloid, melihat TV atau mendengarkan radio masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi yang beraneka ragam, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
b. Mendidik, tulisan yang dimuat pers dapat mendidik masyarakat atau pembacanya dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
c. Memberi control, pers dapat melaksanakan atau memberikan control social dan menyampaikan berbagai kritik yang konstruktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Karena besarnya pengaruh pers dalam mempengaruhi opini public dapat dikatakan pers merupakan kekuatan atau pilar ke empat dalam system demokrasi yang patut diperhitungkan setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif.
d. Menghubungkan atau menjebatani, sebagai penghubung/jembatan antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya, lebih-lebih bila melalui jalur kelembagaan tidak tersalurkan.
e. Memberi hiburan, bukan hal-hal yang lucu saja tetapi dalam arti yang lebih luas lagi, seperti memberi rasa puas, menyenangkan, dan membanggakan.
g. Sebagai lembaga ekonomi.
Menurut UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pasal 6 bahwa peranan pers nasional adalah :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan demokrasi, supremasi hukum, dan HAM serta menghormati kebhinnekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
3. Masyarakat Demokrasi
Secara umum demokratis bermakna bahwa segala sesuatu dalam masyarakat itu dilakukan dari, oleh, dan untuk semua anggotanya. Semua dilakukan berdasarkan aturan hukum yang disepakati.
Ciri-ciri pemerintahan negara yang menganut rule of law :
a. melindungi atau menjamin hak asasi warga negara
b. mempunyai perwakilan rakyat yang representative
c. anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis
d. adanya pendidikan kewarganegaraan (civics education )
e. masa jabatan pemegang pemerintahan dibatasi oleh periode tertentu
Pers dalam menyampaikan informasi tidak akan dilakukan secara vulgar dan sebebas-bebasnya, tetapi dengan memperhatikan asas kelaziman informasi, yaitu asas praduga tak bersalah dalam berita kasus pidana. Contoh pemberitaan nama tersangka ditulis inisialnya saja, korban atau pelaku kejahatan ditampilkan dalam bentuk agak dikaburkan atau tertutup matanya. Semua itu dalam rangka jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
DPR yang representative, artinya yg benar-benar mencerminkan sebagai wakil rakyat, suaranya akan didengar dan diketahui oleh masyarakat melalui pers.
Ciri-ciri masyarakat demokratis :
a. sikap hidup warganya terbuka
b. kritis terhadap informasi
c. tidak mudah terprovokasi
d. memiliki sikap tenggang rasa dalam kebersamaan
e. menghargai nilai-nilai kemanusiaan
4. Pers dalam Masyarakat Indonesia yang Demokratis
a. Sistem Pers Komunis
Sistem ini berlaku di Eropa Timur, terutama sebelum runtuhnya Uni Soviet, seperti Rusia, Bulgaria, Cekoslovakia, dan RRC. Di sini pers berfungsi sebagai sarana propaganda dan alat perjuangan faham komunis. Beritanya mencerminkan nilai-nilai komunisme. Pers dikelola dan dimodali oleh pemerintah atas nama negara. Kebebasan pers tidak ada, kontrol sosial sangat kecil sekali. Jadi dalam sistem ini pers relatif bersifat otoriter.
b. Sistem Pers Liberalis
Hak kebebasan pers  benar-benar dijamin keberadaannya selaras dengan paham liberalisme, tulisannya bahkan kadang-kadang berbeda dengan kepentingan masyarakat atau pemerintah. Pemodal pers bisa dari pemerintah atau swasta, atau dari keduanya. Kontrol sosial benar-benar berlaku bebas, seperti kritik-kritik tajam baik ditujukan kepada perseorangan, lembaga, maupun pemerintah. Sistem ini berlaku di Australia, Inggris, dsb.
c. Sistem Pers Kapitalis
Perkembangan kapitalisme tidak dapat dipisahkan dengan liberalisme, namun dalam sistem pers terdapat perbedaan. Keberadaan pers di negara kapitalis berfungsi mendukung kelangsungan hidup idiologi kapitalis tsb.  Individualisme dijunjung tinggi, hal ini memunculkan kebebasan mengembangkan usaha sendiri/swasta, sehingga mampu bersaing secara bebas ( free fight liberalism ). Dalam bidang usaha/ekonomi berlaku homo homini lupus yakni yang kuat dapat bertahan hidup, dan yang lemah akan kalah dan mati, demikian pula pers. Di sini pers diselenggarakan pihak swasta pemilik modal sehingga pemerintah sulit mengontrol pers. Pers berfungsi sebagai media bisnis dan strategis. Contoh sistem pers Amerika Serikat.
d. Sistem Pers Bertanggung jawab
Sistem pers ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan bahwa setiap manusia melekat pada dirinya hak asasi yang tidak bisa dilaksanakan dengan mutlak.
1) Pers dan Masyarakat Saling Membutuhkan, pers butuh pembaca sebagai sumber pemasukan baik dari iklan maupun pemasaran, masyarakat butuh informasi dan juga penyebaran informasi. Kewajiban dan tanggung jawab pers tercantum dalam kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia, juga undang-undang pers dan peraturan hukum lainnya.
2)  Hak Jawab atas Suatu Berita, hak jawab adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh tulisan pada sebuah atau beberapa penerbitan. Hak jawab ini ditujukan kepada media yang merugikan seseorang agar memuat bantahan dari mereka yang dirugikan. Tentang hak jawab, pasal 4 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa setiap pemberitaan yang ternyata tidak benar harus dicabut atau diralat, dan pihak yang dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud.
3)   Hak Tolak, hak tolak disebut juga hak ingkar wartawan. Hak tolak tidak berlaku dalam kaitannya dengan hal-hal yang membahayakan kepentingan negara. Hak tolak jika ada orang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa, biasanya yang bersangkutan penasaran ingin tahu sumber berita itu dan siapa yang membocorkan informasi itu melalui media massa. Kemudian orang yng merasa dirugikan tadi menghubungi media massa yang memuat berita itu untuk mengetahui sumber beritanya. Pihak redaksi tidak bersedia memberitahukannya, karena wartawan mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, seperti nama, jabatan, alamat atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasinya. Hak tolak juga dimiliki oleh profesi lainnya seperti dokter, rohaniwan, dan notaris ( pasal 120 / 2  KUHP ) ”Dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta”
5. Perkembangan Pers di Indonesia
Pada tanggal 7 Agustus 1774 terbit surat kabar pertama ”Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan”.  Muncul beberapa surat kabar berbahasa Melayu, Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907). Surat kabar Tionghoa pertama kali muncul adalah Li Po (1901), kemudian Sin Po (1910).
Koran pertama yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan dan Maklumat Komite Nasional Indonesia adalah ”Soeara Asia” (18 Agustus 1945).  Berita ini oleh Jepang diperintahkan dicabut tetapi redaksinya membangkang dan akhirnya berita itulah yg menggelorakan semangat kemerdekaan di tanah air.
Sesudah itu surat kabar nasional yang memuat teks proklamasi adalah ”Tjahaja” (Bandung), ”Asia Raya”(Jakarta), ”Asia Baroe” (Semarang), dan ”Soeara Asia”(Surabaya).  Pada tanggal 22 Agustus 1945 semua surat kabar nasional memberitakan pengumuman resmi penguasa militer Jepang di Indonesia mengenai penyerahan kekuasaan secara resmi dari tangan Jepang.
Sejalan dengan perkembangan politik dan letatanegaraan Indonesia, dunia pers kita mengalami berbagai sistem :
a. Tahun 1945 – 1956  dianut sistem pers liberal dengan demokrasi liberal
b. Tahun 1956 – 1960  dianut sistem pers otoriter dengan demokrasi terpimpin
c. Tahun 1960 – 1965  dianut sistem pers quasi komunisme markisme dalam pemerintahan
Dalam masa pemerintahan Orde Baru berlaku sistem pers :
a. Tahun 1967 – 1975  dianut sistem pers Indonesia yang bebas (hanya 8 tahun)
b. Tahun 1975 – 1997  dianut sistem pers otoriter (terjadi pemusatan politik )
Di masa Reformasi (pasca orde baru) :
-         pers mengalami kebebasan
-         kehidupan politik diwarnai multi partai seperti halnya dalam demokrasi liberal
-         sistem perijinan dicabut sehingga semua orang berhak menerbitkan media massa
-         bahkan pada masa Gusdur departemen penerangan dihapus dengan alasan pers harus melaksanakan swakelola karena pers merupakan milik publik sehingga publiklah yang mengatur pers itu sendiri.
Sistem pers yang ideal adalah yang didasarkan pada sistem idiologi dan kultur kebudayaan sendiri, yaitu Pancasila. Sistem Pers Pancasila adalah sistem yang bebas dan bertanggung jawab (kebebasan yang disertai pertanggungjawaban sosial)
Fungsi dan peran pers di negara Pancasila :
a. sebagai media penyampai informasi yang efektif
b. sarana komunikasi dan penyampai informasi yang bertanggung jawab
Berita yang ideal ialah :
1. bersumber pada fakta yang benar dan disusun secara wajar
2. tidak didramatisasi sehingga dapat menyusahkan sumber berita, kesimpangsiuran, bahkan konflik sosial
3. beritanya obyektif, enak dibaca oleh semua pihak.
6. Kode Etik Jurnalistik dan Asas-asasnya
Etika dan hukum belum otomatis menjamin terwujudnya pers yang tanpa cela, pengelola pers juga membutuhkan profesionalisme.  Kode etik adalah norma yang berlaku dan disepakati dalam suatu profesi tertentu.  Kode Etik Jurnalistik PWI ialah suatu kode etik profesi wartawan Indonesia yang harus dipatuhi. Hukum ialah seperangkat aturan yang dibuat, disahkan, serta dikeluarkan dan dipaksakan berlakunya oleh negara, mengikat secara hukum kepada semua warga negara dan dikenai sanksi bagi pelanggarnya.
Perbedaan Kode Etik dan hukum :
No
Aspek
Kode etik
Hukum
1
Sanksi bagi pelanggarnya
Mengatur tanpa disertai sanksi yang konkret bagi pelanggarnya (sanksi bersumber dari nurani pelaku pelanggaran)
Mengatur dan mempunyai sanksi konkret dan tegas dan diatur dalam UU (hukuman fisik)
2
Daya jangkauan
Terbatas pada kalangan tertentu saja, norma yang berlaku khusus di kalangan profesi tertentu
Berlaku dan mengikat semua warga negara (hukum yang bersifat publik)
3
Prosedur pembuatannya
Diputuskan oleh pranata (organisasi profesi) yang bersangkutan sesuai aturan organisasi.
Dibuat oleh organ negara yang diberi wewenang sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
7. Asas-asas Kode Etik Jurnalistik PWI
a. asas profesionalistas
1) tidak memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah
2) berimbang, adil dan jujur
3) mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum
4) mengetahui teknis penulisan yang tidak melanggar asas praduga tak bersalah serta
tidak merugikan korban kesusilaan
5) mengetahui kredibilitas nara sumber
6) sopan dan terhormat dalam mencari berita
7) tidak melakukan plagiat
8)meneliti semua kebenaran bahan berita terlebih dahulu
9) tanggung jawab moral besar ( mencabut sendiri berita yang salah walaupun tanpa
ada permintaan.
b. asas nasionalisme
1. prioritas kepentingan umum, mendahulukan kepentingan nasional
2. pers bebas mengkritik pemerintah sepanjang hal itu untuk kepentingan nasional
3. mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara
4. memperhatikan keselamatan keamanan bangsa
5. memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa
c. asas demokrasi
1. pers dapat berisi promosi tetapi pers tidak boleh menjadi alat propaganda
2. harus cover both side
3. harus jujur dan berimbang
d. asas religius
1. dalam pemberitaannya tidak boleh melecehkan agama
2. menghormati agama, kepercayaan, dan keyakinan agama lain
3. beriman dan bertakwa
8. Kode Etik Periklanan
a. publikasi reklame dengan maksud memperkenalkan / memberitahukan sesuatu melalui media massa ( pers )
b. harus bersifat membangun, bermanfaat, bermoral
c. harus melindungi hak dan kehormatan publik
d. 1. iklan ditolak atau dibatalkan karena :
1) tidak jujur, menipu, menyesatkan, dan merugikan baik secara moral maupun umum
2) melanggar hukum
3) merusak pergaulan, kepribadian, dan martabat seseorang
4) merusak kepentingan nasional
5) bertentangan dengan kode-kode profesi golongan lain
6) iklan politik yang destruktif
2. dijamin tidak bocor sebelum dimuat
3. diutamakan iklan yang mengabdi kepada kepentingan umum
4. diwajibkan meralat kembali iklan yang salah pasang
5. mencabut iklan-iklan dengan alamat palsu dengan itikad tidak baik
e. harus jelas ditandai dengan kata-kata ”Ini adalah iklan”
f. pers berhak menolak iklan yang menyalahi penerbitan pers dan kode etik periklanan ini
g. pemasangan iklan harus dengan persetujuan pemasang iklan ybs.
h. 1. perusahaan pers mengenal adanya biro iklan dan kolportir
2. biro iklan harus mendapat pengakuan dari organisasi pers ybs. dan kolportir oleh satu
atau lebih perusahaan surat kabar
i. pengawasan penataan iklan dilakukan oleh dewan kehormatan SPS .
9. Upaya Pembinaan Pers yang Bebas dan Bertanggung jawab
Pers dipegang/dikuasai pemerintah cenderung membela kepentingan penguasa dan melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Pers bebas tak terkendali mengarah terbentuknya pers liberal dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (persaingan bebas)
Oleh karena itu di Indonesia ada upaya-upaya dan pembatasan-pembatasan untuk mengendalikan agar pers tidak terlalu bebas atau kebebasan yang berlebihan, antara lain dengan cara :
a. Pembuatan Undang-undang Pers
Setiap undang-undang bertujuan mengatur hal-hal yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Dalam dunia pers pihak-pihak yang berkepentingan adalah pemerintah, rakyat (warga masyarakat), dan para pengelola pers. Pers di Indonesia adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab (free and responsible press).
Pada masa orde lama pers dikuasai pemerintah, pada masa orde baru, pada awalnya ada kebebasan pers tetapi lama-lama mengarah kepada pers yang dikuasai pemerintah. Pada masa reformasi, pers mengalami perubahan yang mendasar dalam wujud deregulasi menuju kebebasan pers sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Dengan UU No.40 th 1999 tentang Pers, dan UU No.32 th 2002 tantang Penyiaran, kini keberadaan pers semakin terjamin.
b. Memfungsikan Dewan Pers sebagai Pembina Pers Nasional
Dewan Pers mempunyai tugas dan tanggung jawab membina kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab serta kemajuan pers Indonesia. Profesionalisme wartawan ditingkatkan, dan kode etik dijadikan acuan dalam kerja pers dan kewartawanan. Pers yang tidak mengindahkan dua hal tersebut akan langsung berhadapan dengan masyarakat di negara hukum yang demokratis ini.
c. Penegakan Supremasi Hukum
Pemberdayaan masyarakat untuk memahami hukum dan hak asasi manusia dinilai sangat penting, sehingga dukungan terhadap penegakan supremasi hukum dan kepercayaan pada pemerintah semakin kuat, termasuk dalam kaitannya dengan kehidupan pers akan sangat membantu perkembangan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab.
d. Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran Rakyat akan Hak-hak Asasi Manusia.
Pers yang tidak  sejalan dengan kesadaran tersebut akan semakin ditinggalkan masyarakat pembacanya. Informasi yang benar, santun, dan menarik  menjadi kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan berperadaban.
10. Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa
Contoh bentuk penyalahgunaan tsb :
1) penyiaran berita/informasi yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
2) peradilan oleh pers (trial by press)
3) membentuk opini yang menyesatkan
4) bentuk tulisan/siaran bebas yang bersifat provokatif
5) pelanggaran terhadap ketentuan UU Hukum Pidana
- delik penghinaan presiden dan wakil presiden
- delik penyebar kebencian
- delik penghinaan agama
- delik kesusilaan/pornografi
6) iklan yang menipu
11. Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa bagi Pribadi, Masyarakat, Bangsa, dan Negara
a. Bagi Kepentingan Pribadi
Nama baik seseorang bisa dirugikan dengan adanya penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi. Terkadang walaupun informasi itu sudah diralat, hal itu tidak cukup berpengaruh untuk mengubah nama baik seseorang yang telah tercemar.
b. Bagi Kepentingan Masyarakat
Masyarakat dapat tertipu karena mendapat informasi yang gak benar dan terpengaruh walaupun informasi itu gak benar karena hal itu diinformasikan secara besar-besaran dan berulang-ulang. Masyarakat tdk mendapatkan informasi yang seimbang.
c. Bagi Kepentingan Bangsa dan Negara
Pengungkapan kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara dilakukan dengan sangat tajam melebihi kewajaran tentu akan merugikan bangsa dan negara, terlebih jika tulisan itu tidak berdasarkan fakta yang benar. Hal semacam ini akan menimbulkan dampak seperti berikut :
1) Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang karena tidak   percaya terhadap pemerintah. Akhirnya sikap dan partisipasi masyarakat akan menurun.
2) Kepercayaan Luar Negeri luntur. Akhirnya minat kerja sama juga menurun, selanjutnya akan menyulitkan bangsa kita di forum internasional. Lebih parah rakyat menjadi terabaikan kesejahteraannya dan kurang terpenuhi kebutuhan pokok rakyat
Tugas :
1. Deskripsikan fungsi dan peranan pers dalam masayakat Indonesia !
2. Sistem pers manakah yang pernah berlaku di Indonesia? Diskripsikan jawabanmu !
3. Berikan lima perbedaan antara pers liberalis dengan pers komunis !
4. Apakah sanksi bagi wartawan yang salah menulis dalam pemberitaan ? Apa alasannya !
5. Deskripsikan bagaimana sistem pers di Indonesia sesudah era reformasi saat ini !
6. Mengapa pers pada masa penjajahan Belanda dan Jepang kurang berkembang ? Alasannya?
7. Berikan penjelasanmu mengapa pers di Indonesia mengikuti asas bebas dan bertanggung jawab sosial ?
8. Deskripsikan kondisi pers di masa orde baru dan di masa reformasi !
9. Berikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum menurut UU No. 9 Th 1998 !
10. Deskripsikan lima alasan mengapa penulisan berita di media massa harus mengindahkan kode etik jurnalistik !



[1] A. Muis, Titian Jalan Demokrasi Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik, Harian Kompas, Jakarta , 2000
[2] Khrisna Harahap, Pasang Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia, PT. Grafitri Bumi Utami, Bandung, 2003, hlm. 23
[3] Pasal 8 UU Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar