Minggu, 08 Januari 2012

fotograpi jurnalistik


oleh: Abdul Rohman
BAB I
Pendahuluan

Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya sendiri Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.
Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari "being in the right place at the right time" . Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali
Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.
Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut.

- Seluk-beluk fotografi dan perkembangannya
Manusia sejak lama memang sudah lama tertarik pada dunia gambar-menggambar,hal itu terbukti dari penemuan objek gambar di gua-gua pada masa purba, seperti yang pernah ditemukan di Altamira, Spanyol dan Cromagnon, Perancis.
Pada perkembangannya, manusia muncul keinginan untuk mem-visualisasi-kan apa yang mereka lihat ke dalam bentuk-bentuk benda yang menjadi cikal bakal pemakaian Pictogram (Tulisan yang berbentuk gambar) seperti yang ditemukan di Mesir purba (Hieroghlyp), Sumeria (paku), dan lain-lainnya.

Adapun perkembangan fotografi tidak terlepas penemuan penting Ibnu Haitam dengan kamera Obskura-nya. Dengan penemuan yang berbentuk ruangan gelap dan di lensa sebagai tempat keluarnya cahaya, maka dunia "jepret-menjepret" pun dimulai.
Zaman pun berlalu, penemuan baru pun ditemukan. Kali ini sebuah kaca dijadikan alat untuk menangkap cahaya yang sebelumnya telah dilapisi dengan zat kimia tertentu. Alat ini merupakan cikal bakal kamera modern. Setelah penemuan yang penting itu, pers pun akhirnya memakai penemuan tersebut untuk proses fotografinya. Kira-kira pada abad ke-19 ditetapkan sebagai abad perkembangan fotografi (History of Photography, Alma Daveport, 1991). Untuk pemakaian pertama, yaitu pada tahun 1653. Harian Holladsche Mercurius memuat gambar penobatan Cromwell menjadi raja Inggris Raya.
Sebagai gambaran, bahwa dengan adanya pemakaian kamera ini, media-media pada zaman dahulu lebih banyak diminati dan memacu meningkatnya jumlah oplah yang tercetak. Terbukti pada tahun 1914, Time mampu mencetak 200.000 oplah, dan bahkan pada tahun 1925, Illustrated Daily News mencetak lebih dari 1.000.000 oplah!
Betapa besar pengaruhnya di media, sehingga tidak heran jika belakangan ini timbul ide untuk mengapresiasikan karya tersebut dengan penghargaan tingkat internasional, yang terkenal dengan Pulitzer Award. Pada era sekarang pun, fotografi jurnalistik sudah dikategorikan dalam sebuah seni.



BAB II
PEMBAHASAN

1.1 pengertian foto jurnalistik
Foto jurnalistik adalah jenis foto yang digolongkan sebagai foto yang bertujuan dalam permotretannya karena keinginan bercerita kepada orang lain. Jadi foto-foto di jenis ini kepentingan utamanya adalah keinginan dalam menyampaikan pesan (massage) pada orang lain dengan maksut agar orang lain melakukan sesuatu tindakan psikis maupun psikologis.
Banyak orang awam yang beranggapan bahwa yang disebut fotojurnalistik itu hanyalah foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto saja. Padahal fotojurnalistik sebenarnya mencakup hal yang sangat luas. Foto-foto advertensi, kalender, postcard adalah juga bisa dikatakan jenis fotojurnalistik.
Dalam buku serial Photojournalistic yang diterbitkan oleh Time Life diungkapkan bahwa: Sementara foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto (foto berita) yang penekanannya pada perekaman fakta otentik.
Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran. Foto berita, foto advertensi dan sebagainya itu semua ingin menceritakan sesuatu yang pada gilirannya akan membuat orang tersebut bertindak (feedback) . Foto-foto jurnalistik ini disiplinnya lebih banyak  membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh imaji tersebut bagi pemerhatinya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya persfoto yang baik adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa, tetapi dibuat dengan kemampuan teknologi secara otentik.
Untuk mencapai ini tentunya kita harus menguasai dua basic yang berbeda tadi. Yaitu pendekatan teknis serta pendekatan konseptual. Pada pendekatan teknis, seorang pemotret dituntut mengetahui dan menguasai betul segala aspek teknis dalam pemotretan yang mencakup, kamera, lensa dan aksesoris lainnya sebagai penunjang.
Definisi dari fotojurnalistik dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan itu. Biasanya foto jurnalistik memiliki ciri-ciri yang melekat seperti; Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
Melengkapi suatu berita/artikel dan dimuat dalam suatu media baik media cetak maupun media online. Sebuah foto dapat berdiri sendiri, tapi jurnalistik tanpa foto rasanya kurang lengkap. Sehingga timbul pertanyaan, mengapa foto begitu penting ? Karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam/mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa dan memiliki akurasi yang hakiki.
Kebenaran sebuah peristiwa tak bisa terbantahkan dengan kehadiran sebuah karya fotojurnalistik. Di dalam fotojurnalistik sendiri tidak ada suatu yang dibuat-buat, tidak adasesuatu yang direkayasa. Perstiwa begitu saja terjadi, yang kemudian diabadikan dalam sebuah bentuk fisual yang kemudian disiarkan, melalui media cetak maupun online.
Maka diharamkan apabila seorang jurnalis foto melakulan rekayasa dengan menambah atau mengurangi atau mengubah terhadap karya fotonya. Karya memang benar-benar terjadi apa adanya. Sebuah fakta yang terjadi yang direkam dalam sebuah media bergambar.
Itu sebabnya seorang fotojurnalis dituntut memiliki moralitas dan kejujuran yang tinggi. Dengan moralitas dan idialisme yang positif, seorang fotojurnalis mampu menyajikan sebuah fakta yang benar-benarjujurdahakiki.
Menurut mantan Redaktur Foto Kompas almarhum Kartono Ryadi, semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi.
Perbedaan foto jurnalis adalah terletak pada pilihan, membuat foto jurnalistik berarti memilih foto mana yang cocok. Dia mencontohkan dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil/memotret seluruh peristiwa. Mulai dari penerimaan tamu hingga usai acara. Tapi seorang wartawan foto hanya mengambil sisi-sisi yang dianggap menarik saja. Karena memang peristiwa itu nantinya akan menjadi pilihan wartan foto untuk dimuat di dalam medianya saja.
2.1 proses fotografi jurnalistik
  1. Pocket/compact. Kamera saku. Populer bagi orang awam, sederhana dan mudah dioperasikan. Menggunakan film format 35mm.
  2. Rangefinder. Kamera pencari jarak. Kecil, sekilas mirip dengan kamera saku. Bedanya, kamera ini mempunyai mekanisme fokusing (karenanya disebut rangefinder). Umumnya menggunakan film format 35mm.
  3. SLR, Single Lens Reflex. Kamera refleks lensa tunggal. Populer di kalangan profesional, amatir dan hobiis. Umumnya mempunyai lensa yang dapat diganti. Menggunakan film format 35mm. Disebut juga kamera sistem.
  4. TLR, Twin Lens Reflex. Kamera refleks lensa ganda. Biasanya menggunakan format medium.
  5. Viewfinder. Biasanya menggunakan format medium.
Komposisi dan Angle.
Komposisi adalah penempatan obyek dalam frame foto
Angle adalah sudut pemotretan, dari bawah, atas, atau sejajar.
Komposisi dan angle lebih menyangkut ke seni dari fotografi. Faktor selera fotografer sangat besar pengaruhnya
Shooting mode
  1. P, program AE. Mirip dengan mode auto dengan kontrol lebih. Dengan mode ini kita bisa mengontrol exposure compensation, ISO, metering mode, Auto/manual fokus, white balance, flash on/off, dan continues shooting.
  2. Tv, shutter speed priority AE. Kita menetukan speed, kamera akan menghitung aperture yang tepat.
  3. Av, aperture priority AE. Kita menentukan aperture, kamera mengatur speed.
  4. M, manual exposure. Kita yang menentukan aperture dan speed secara manual.
Komposisi dan Anglez
Mode auto, mode point and shoot, tinggal bidik dan jepret.
  1. Full auto, kamera yang menentukan semua parameter.
  2. Portrait, kamera menggunakan aperture terbesar untuk menyempitkan DOF.
  3. Landscape, kamera menggunakan aperture terkecil.
  4. Nightscene, menggunakan kecepatan lambat dan flash untuk menangkap obyek dan BG sekaligus.
  5. Fast shuter speed
  6. Full auto, kamera yang menentukan semua parameter.
  7. Portrait, kamera menggunakan aperture terbesar untuk menyempitkan DOF.
  8. Landscape, kamera menggunakan aperture terkecil.
  9. Nightscene, menggunakan kecepatan lambat dan flash untuk menangkap obyek dan BG sekaligus.
  10. Fast shuter speed
  11. Slow shutter speed
12.  Slow shutter spe
3.1 bentuk bentuk kamera
a. Kamera manual dan kamera otomatis. Kamera-kamera SLR terbaru umumnya sudah dilengkapi sistem autofokus dan autoexposure namun masih dapat dioperasikan secara manual.
b. Kamera digital. Menggunakan sensor digital sebagai pengganti film.
  1. Pocket/compact. Kamera saku. Populer bagi orang awam, sederhana dan mudah dioperasikan. Menggunakan film format 35mm.
  2. Rangefinder. Kamera pencari jarak. Kecil, sekilas mirip dengan kamera saku. Bedanya, kamera ini mempunyai mekanisme fokusing (karenanya disebut rangefinder). Umumnya menggunakan film format 35mm.
  3. SLR, Single Lens Reflex. Kamera refleks lensa tunggal. Populer di kalangan profesional, amatir dan hobiis. Umumnya mempunyai lensa yang dapat diganti. Menggunakan film format 35mm. Disebut juga kamera sistem.
  4. TLR, Twin Lens Reflex. Kamera refleks lensa ganda. Biasanya menggunakan format medium.
  5. Viewfinder. Biasanya menggunakan format medium.
C. Consumer. Kamera saku, murah, mudah pemakaiannya. Lensa tak dapat diganti. Sebagian besar hanya punya mode full-otomatis. Just point and shoot. Beberapa, seperti Canon seri A, memiliki mode manual.
2. Prosumer. Kamera SLR-like, harga menengah. Lensa tak dapat diganti. Shooting Mode manual dan auto.
3. DSLR. Digital SLR.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya persfoto yang baik adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa, tetapi dibuat dengan kemampuan teknologi secara otentik.
Untuk mencapai ini tentunya kita harus menguasai dua basic yang berbeda tadi. Yaitu pendekatan teknis serta pendekatan konseptual. Pada pendekatan teknis, seorang pemotret dituntut mengetahui dan menguasai betul segala aspek teknis dalam pemotretan yang mencakup, kamera, lensa dan aksesoris lainnya sebagai penunjang.
Definisi dari fotojurnalistik dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan itu. Biasanya foto jurnalistik memiliki ciri-ciri yang melekat seperti; Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar