Sabtu, 24 Desember 2011

mimpiku

mimpiku 22.desember.2011
Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu. Aku menatap begitu takjubnya, segitu banyakkah burung bangau yang sedang berkencan di tempat ini? Burung-burung itu serempak mencericitkan kicau mirip tangisan paling bahagia yang memekakkan telinga tetapi pada saat yang sama mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka mengayunkan sayap dalam gerak yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat, kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga melompat, berlari, melompat lagi, dan berlari lagi. Itulah pemandangan yang aku lihat di pagi itu saat matahari hendak menunjukkan jati dirinya. Aku terdiam sesaat mengagumi keindahan yang ada di depan mataku. Tak pernah ku melihat alam seindah ini, udara sesejuk ini, dan mentari sehangat ini bahkan saat malampun sang bulan selalu menemani walau terkadang terselimuti kabut juga. Aku yang tak pernah bisa merasakan kedamaian seperti saat ini kini kurasakan juga. Ku tarik nafas sedalam mungkin untuk kemudian kuhembuskan kembali “hahhh… segar sekali” terpancar satu senyuman dari bibirku untuk mengawali hari yang indah ini. Terlihat di ujung sana ada seorang lelaki kencur berusia sepuluh tahun. Di tangannya terlihat seperti memegang sesuatu untuk ia berikan pada burung bangau indah itu. Alisku berkerut heran. Seperti dengan sendirinya kakiku melangkah menuju anak laki-laki itu. Dari jauh ia tersenyum manis padaku, ia memberiku segenggam jagung lalu ia menyuruhku untuk memberikannya pada bangau-bangau itu. Indah sekali saat aku melihat bangau-bangau itu saling berebut makanan, sebagian ada yang berterbangan dengan arah yang acak-acakan. Kembali ku rasakan hembusan udara segar di pinggir pantai itu, kembali muncul juga senyuman-senyuman damai dari bibirku. “Dani” Ia mengasongkan tangan kanannya sembari tersenyum, rambutnya yang agak sedikit lurus juga sdikit panjang menutupi mata sebelah kanannya karena tersapu angin laut. Senyumnya manis sekali. “Viona” Kubalas dengan senyuman hangat juga. Dani tertawa kecil, tangannya masih menggenggam tanganku bahkan ia mengayun-ngayunkannya. Disitulah awal keakraban antara Dani yang baru berusia sepuluh tahun dan aku Viona yang sudah mulai menginjak dewasa. Tak sangka kami akan seakrab dan sedekat ini. Dani, adikku. Setiap pagi dan sore ia pasti mengajakku untuk memberi makan bangau-bangau itu. Ia tertawa begitu lepas selepas hamparan air laut yang ada di hadapanku, senang rasanya kalau aku menjadi Dani yang selalu ceria dan bahagia. Mungkin karena ia masih kecil, belum ada yang harus ia pikirkan dalam hidupnya yang baru seusia jagung ini. Kala harus menengok kedalam hidupku, aku sudah cukup perih dengan semua ini. Tak ada yang bisa ku lakukan selain ini, meninggalkan semua orang yang selalu membuatku merasa terkekang dan terikat dengan kedaan yang harus aku jalani. Aku tahu ini bukan cara terbaik untukku ataupun untuk mereka tapi aku benar-benar telah kehilangan arah. Aku sudah terlalu lelah menghadapinya. Terlalu jauh untuk ku gapai kebahagiaan itu tapi Dani, anak kecil itu sedikit banyak ianya mampu mengobati rasa kebimbangan yang tertancap di hati. Serupa pancang yang terpacak yang menjulang bertahun-tahun di tepian jembatan sana, hanya berteman gelombang pasang surut, arus, terpaan angin, juga kebat tali sampan atau pompong yang melingkarinya. Sesekali singgah juga burung raja udang sekedar menjengah mangsanya kemudian terbang lagi, senyap lagi. Apa hidupku di takdirkan untuk seperti ini? Aku rasa tidak, masih ada hal lainnya yang lebih indah di hari ini, esok dan seterusnya di banding hari kemarin. Disini aku merasakan adanya ketenangan, adanya kedamaian juga pasti ada jiwa yang lebih baik pula. Tawanya Dani selalu menenangkan jiwaku, entah apa yang ada dalam dirinya hingga ia mampu membuatku tertawa lepas selepas saat ini. Hari ini berbeda, tidak seperti biasanya. Dani membawaku ke puncak gunung dimana di sekeliling gunung itu hanya ada hamparan ilalang yang hampir kering namun masih berbunga. Di sela-sela bukit itu ada sebuah gubuk kecil yang terbuat dari jerami dan ranting-ranting namun cukup nyaman juga walau tempatnya agak sempit. Dani memegang pergelangan tanganku dan menuntunku menuju gubuk itu. Aku yang tak pandai berjalan di atas jalan setapak memang sedikit risih awalnya namun karena sudah sering akhirnya terbiasa juga. Aku terkagum-kagum melihat hamparan padang ilalang yang sangat luas itu. Anginnya tak pernah berhenti membelai lembut wajah kusutku. Dani terdiam sesaat, ia mengambil nafas yang cukup dalam, matanya terpejam, bibirnya tersenyum dan kedua tangannya terlentang. Rambutnya terkibas-kibas terkena hembusan angin di siang yang menyala. Aku terdiam sejenak melihat tingkahlakunya anak seusia Dani yang menurutku laganya sudah seperti orang dewasa saja. Rasa penasaranpun kini semakin memuncak membuatku ingin rasa melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan anak ingusan itu. Jiwaku melayang, pikiranku seperti ada diatas awang-awang. Sejenak aku melihat seperti ada bayangan Ayah, ia memarahi aku dan memukulku dan tiba-tiba aku serentak ketakutan. Tetapi berbeda dengan bayangan Ibuku. Ibu yang selama hampir dua bulan ini sudah aku tinggalkan. Ia mengelus-ngelus rambutku dan berkata “Ibu sayang kamu” sembari mengecup keningku. Aku tak kuasa menahan airmata yang yang sudah lama terbendung ini. Tubuhku lemas kala aku mengingat Ibu yang kini sangat jauh dariku. Perlahan aku membuka mata yang basah karena airmata, ku tengokkan kepalaku kearah Dani yang berada di sebelah kananku. Aku melihat Dani menangis, airmatanya tidak kalah banyak dengan airmataku sampai ia tersedu-sedu. Serentak aku menyapanya dan memeluknya. Aku tidak tahu kenapa ia menangis, seperti ada beban di pikirannya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Aku memeluknya dengan erat layaknya seorang ibu yang memeluk anak kandungnya sendiri. Aku mengusap-ngusap rambutnya, memeluknya lagi dan mencium keningnya. Biarkan dia tenang. Airmatanya kini tidak lagi membasahi pipinya yang mungil. Ia berdiri dan beranjak dari pangkuanku. Aku mengikuti langkah kakinya yang pendek, aku berdiri tepat di belakangnya memegang pundaknya yang kurus. “Dani” Aku terdiam sejenak di sela-sela lembutnya angin yang mengusap airmata. “Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau menangis seperti itu? Katakan padaku Dani, katakana!” Dani masih terdiam menikmati lamunannya yang terbawa luasnya hamparan padang ilalang bersama angin sepoi-sepoinya. Ia terlihat seperti menelan ludah yang lama mengental di mulutnya. “Apapun yang terjadi padamu, ceritakanlah padaku. Biarkan aku tahu segala tentangmu. Dengan begitu semua beban yang ada di pikiranmu akan terasa lebih ringan” Dani masih terdiam dan membisu, sekarang kepalanya lebih menunduk. Ku pegang tangannya, ku yakinkan dia dengan semua permasalahan hidup ini. Ku pegang erat tangan kirinya dengan kedua tanganku. Ku tengadahkan kepalanya dan ku tatap matanya yang masih memerah. “Percayalah. Hidup ini indah” Kulempari dia dengan senyuman yakin tetapi Dani masih saja menunduk. Ku tarik lengannya dan kubawa dia berlari dan menari di tengah luasnya hamparan padang ilalang, langkah kakinya yang pendek membuat satu sejarah dimasanya bahwa ia mampu bangkit dari sebuah keterpurukan walau tak seutuhnya ia bisa dapat bebas dari semua masalah hidup yang tak seharusnya ia tanggung dalam usia yang sangat dini. Akhirnya ia tertawa sangat lepas sekali. Hatiku tenang setenang angin yang menari-nari menyelimuti tubuhku saat aku bisa melihat tawanya kembali dan ia berbisik sangat pelan “Hidup ini indah” kemudian tertawa lagi. Main petak umpet di tengah padang ilalang memang biasa ia lakukan bersama teman-temannya yang lain namun kali ini ia mengajakku, nantangin kemampuanku dalam hal petak umpet padahal sudah pasti akulah pemenangnya. Kali ini tebakanku salah, ternyata aku yang kalah. Aku menutupi kedua mataku dengan tanganku lalu berhitung sampai bilangan dua puluh lima. “1 2 3.….25” Samar-samar terdengar suaranya Dani meneriakan bahwa ia sudah siap, akupun mengamati satu persatu tempat yang menurutku mencurigakan. Sepuluh menit sudah aku mencari-cari tempat persembunyian Dani namun tak kunjung ku temukan juga. Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia. Bayanganku sudah terlalu jauh, bagaimana kalau tiba-tiba ia di patuk ular yang sangat ganas, bagaimana kalau ia tiba-tiba di bawa oleh orang-orang tak di kenal, aduh pikiranku jadi tidak karuan kaya gini. Aku benar-benar merasa takut. Bagaimana kalau aku tiba-tiba mendapatinya sudah tergeletak tak bernyawa dan di tubuhnya penuh dengan luka dan darah yang tak kunjung berhenti mengalir? Hah… apalah aku ini. Kenapa berpikiran seperti ini? Aku kembali melanjutkan pencarian tentu saja masih dengan rasa panik dan ketakutan. Saat aku merasa bingung dan terdiam di tengah-tengah padang ilalang, samar-samar aku mendengar bunyi daun ilalang kering yang seperti terinjak, serentak aku berbalik arah mengikuti suara itu. Ku panggil-panggil namanya berulang kali tapi ia tidak mendengarkanku sama sekali. Tiba-tiba Dani mengagetkanku dengan hentakkan yang cukup membuat jantungku seperti mau copot saja. Dani kembali tertawa lepas sambil memberiku seikat bunga ilalang yang sudah ia hias seindah mungkin. Aku tersenyum dan mencium bunga ilalang itu. Aku tidak tahu apa maksudnya dengan bunga ilalang yang ia berikan padaku. Tentu saja pikiranku dengan pikirannya pasti berbeda, aku sudah dewasa sedangkan dia masih anak-anak tidak mungkin dia melakukan seperti apa yang aku pikirkan sekarang. Itu hanya tingkahlaku anak ingusan saja. “Hari sudah hampir sore. Apa kita gak bakalan pulang?” Dani menatapku tajam sambil tersenyum. Aku menarik nafas dan kemudian mengeluarkannya kembali. “Tempat ini adalah salah satu tempat terindah yang pernah aku temui. Sedikitnya tempat ini bisa membuatku tenang karena anginnya yang sangat sejuk dan padang ilalangnya yang luas juga suasana pantai yang indah” “Maksudmu, kau masih betah tinggal disini?” Dani kembali bertanya. Alis tebalnya mengerut menyatukan kedua bola matanya yang bulat. Terduduk di bukit itu memang terasa nyaman apalagi di tambah pemandangan langit sore yang berawan emas menyala. Lembayung sore menemani akhir di hari ini namun angin sepoi-sepoinya masih tetap membasuh wajahku yang lusuh. Kami terdiam dalam kebisuan disela-sela jeritan suara jangkrik yang kini mulai berbunyi. “Tahukah kau, hari ini adalah hari paling indah setelah hari kemarin dan kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi” Tuturnya sambil tersenyum. “Aku senang bisa punya teman sebaik kamu walaupun usia kita terpaut sangat jauh. Tapi mungkin inilah yang dinamakan persahabatan, tidak mengenal perbedaan. Bukan begitu kak Viona?” Sambungnya sambil menatapku tajam. Aku terdiam sejenak lalu mengikuti senyumannya yang manis. “Dani. Apa sebelumnya kau tidak pernah punya sahabat?” Ia tertunduk lama dan tidak berbicara. “Maaf jika kau merasa tersinggung dengan pertanyaanku” Aku merasa bersalah dengan sikapnya yang seperti itu. Tetapi sedikitnya aku bisa menebak apa yang ia pikirkan saat ini. Rasa sedih dan kecewa? Itu sudah pasti, terlihat dari mimik wajahnya yang muram. “Ka Viona. Aku kangen dia” Alisku mengerut heran. “Dia siapa?” “Dia yang selalu menemani hari-hariku, dia yang selalu membuatku lebih bersemangat. Aku kangen Sella” Kepalanya kembali tertunduk sambil menarik nafas dan membuangnya kembali. Aku tersenyum heran. Sella adalah sahabatnya Dani dari kecil dari mulai saat ia baru bisa merangkak berjalan hingga mereka bisa berlari-lari di pantai sana. Bermain pasir, menuliskan setiap mimpi-mimpi mereka diatas pasir laut walau akhirnya akan tersapu ombak juga. Mereka juga membangun rumah impian walau mereka tahu pada akhirnya akan roboh juga, tetapi memang indah dirasa kala Dani harus mengingat hal itu. Sella juga yang akhirnya memutuskan untuk membangun gubuk jerami yang ia rencanakan di bukit padang ilalang itu namun sayang Sella terlalu cepat pergi meniggalkan Dani. Akhirnya hanya Dani seorang yang membangun gubuk itu untuk Sella jika suatu saat nanti Sella kembali pulang atau hanya sekedar menjenguknya, maka ia akan membawa Sella dan menunjukkan kalau ia benar-benar membangun gubuk itu untuk Sella walaupun ia tidak tahu kapan Sella akan kembali atau bahkan mungkin Sella tidak akan pernah kembali, ia sama sekali tidak tahu. Sella itu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Memang mereka itu keluarga yang cukup berada, tidak seperti Dani yang hanya seorang anak nelayan yang serba berkekurangan karena penghasilan ayahnya yang kurang mencukupi. Tetapi Dani sama sekali tidak pernah merasa risih dengan keuangan yang hampir setiap hari di permasalahkan oleh ibu tirinya. Orangtuanya Sella sudah ia anggap seperti orangtuanya sendiri, begitu dekat ia dengan orangtuanya Sella hingga ia benar-benar ngarasa nyaman berada dekat dengan keluarga Sella. Bisa di maklumi dengan pribadi ibu tirinya yang selalu marah-marah dan selalu menuntut Dani untuk selalu bekerja membanting tulang padahal usia Dani masih sangat dini untuk melakukan itu semua. Tak jarang aku memergoki Dani sedang di pukuli oleh ibu tirinya, tetapi aku belum mampu membelanya walau sesungguhnya aku tidaklah tega membiarkan Dani dalam keadaan seperti itu. Jantungku seperti bergetar, teringat akan ayah yang selalu memukuli aku. Mungkin rasa sakit yang Dani rasakan tidaklah sesakit yang aku rasakan. Ibu tirinya Dani lebih sering memukuli dan menyiksa Dani hingga anak itu berlumuran darah, barulah ibu yang tidak punya hati itu merasa puas terkadang merasa ketakutan juga. Takut kalau-kalau bapaknya Dani mengetahui apa yang ia lakukan terhadap Dani. Mungkin ia bisa mati juga terkena amukan sang suami yang membela anaknya. Dani mempunyai seorang adik tiri yang masih berusia empat tahun. Tentu saja ia sangat sayang terhadap Esty adik tirinya itu, begitu juga Esty sangat menyayangi kakaknya. Dani selalu membawa main Esty kala ada selang waktu tetapi Dani selalu di salahkan oleh ibu tirinya. Jengkel dan kesal sudah pasti ia rasakan, tetapi Dani kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya terlalu tangguh untuk di lawan. Tak jarang iapun sering menangis di pundakku namun bukan dengan alasan yang sebenarnya. Aku tahu ia membohongi aku. Luka yang ada di lengan dan di kaki juga di wajahnya bukanlah akibat dari ia terjatuh dari pohon, melainkan karena ia di pukuli ibu tirinya. Memang, ibunya itu tidak layak di sebut sebagai seorang ibu jika ia sendiri tidak mampu memperlakukan anak-anak sebagaimana mestinya walaupun itu bukan anak kandungnya sendiri. Burung-burung pantai kembali berterbangan satu arah yang membentuk segitiga seperti kapal udara yang melaju cepat. Anginpun kian kencang mendorong kapal-kapal di laut yang sedang berburu ikan. Satu kesatuan perburuan ikan yang sangat kompak di kapal itu. Salah satunya ada bapaknya Dani yang termasuk karyawan di kapal itu. Jarang sekali ia pulang ke rumah, maka tak heran jika istrinya bisa leluasa menyuruh ini itu terhadap Dani dengan semena-mena. Penghasilan dari berburu ikan tidaklah seberapa, hanya cukup untuk makan saja, bahkan untuk membiayai sekolahnya Danipun tentu sangat kesusahan dan harus meminjam kesana-sini walau sebenarnya sudah ada bantuan dari pemerintah. Tiga hari sekali bahkan terkadang sampai satu minggu bapaknya Dani tidak pulang. Dani selalu merasa kesepian di rumah. Maka tak heran kalau Dani akan selalu mengajakku untuk bermain dengannya. Suatu pagi saat udara masih sejuk, saat sang mentari baru memancarkan sinarnya, aku melihat Dani berpakaian seragam SD. Aku tahu ia pasti akan berangkat sekolah, tetapi kenapa ia seperti bersedih? Sambil memakaikan sepatu yang sudah bolong-bolong pinggirnya, kepalanya tertunduk bersandar di lutuk kurusnya. Tentu saja aku merasa penasaran dengan tingkah lakunya yang lagi-lagi aneh. Ku langkahkan kakiku dari rumah pak Ajo. Pak Ajo itu adalah supirnya ayah yang kini sudah pensiun dari kerjaannya sebagai supir pribadi. Ia kini lebih memilih mengurus ladangnya ketimbang kembali kerja bersama ayahku. Aku mengikuti langkah kakinya Dani yang tergesa-gesa. Sepanjang jalan, airmatanya tak pernah berhenti menetes membasahi seragam lusuhnya. “Dani…” Ku panggil namanya, serentak ia berhenti dan menengok kebelakang tepat kearahku. “Tunggu sebentar, aku ikut” Sambungku sambil berlari menyusulnya. Dani tersenyum sambil mengusap airmatanya. Ia kelihatan seperti sangat bersemangat sekali. Kakinya melangkah dengan pasti, pergelangan tangannya aku genggam erat. Aku tahu, hari ini adalah hari terpenting untuknya. Hari ini akan menjadi hari yang paling ia takutkan dan was-was karena akan di umumkannya hasil ujian kelulusan. Dengan sendirinya aku bisa mengerti kenapa Dani menangis saat hendak berangkat sekolah tadi pagi, karena ia ingin di hari terpentingnya ini, ayah ibunya bisa menghadiri undangan dari sekolah untuk sama-sama menyaksikan hasil ujiannya. Walaupun hanya sebagai ibu tiri yang tak pernah berhenti menyiksanya, tetapi Dani sangat mengharapkan ibu tirinya itu bisa datang ke sekolahnya itu. Tapi apa yang Dani dapatkan dari bibir tajamnya sang ibu tiri, ia seperti mendapat penghinaan, cacian dan makian. Ya sudahlah. Dani tidak mau memaksakan kehendak oranglain yang jelas-jelas sebenarnya sangat ia benci. Sementara ibu kandungnya, sudah lama meninggal saat melahirkan Dani sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dani sama sekali tidak mengetahui wajah ibu kandungnya, bahkan potretnyapun tidak ada. Malang sekali nasibmu Dani. Pagi itu, tibalah aku di sebuah sekolah SD. Dengan bangga, Dani menunjukkan sekolahnya padaku. Terlihat jelas di papan gerbang masuk ada tulisan nama SD tersebut “SD Negeri 1 Harapan Bangsa”. Bangunannya seperti sudah hampir rusak, tembok-temboknya seperti sudah lama sekali, tidak pernah di renovasi. Dengan semangat, Dani menuntunku ke dalam sekolahnya. Terlihat beberapa teman dekatnya Dani menyapanya hangat, ia memperkenalkan aku ke teman-temannya. Ia seperti bangga sekali bisa memperkenalkan aku pada semua temannya. Terlihat ada beberapa guru yang keluar masuk dari ruangan kantor, salah satu dari guru itu seperti kelihatan ada yang masih sangat muda tetapi tidak begitu terlihat jelas olehku. Sementara Dani bermain-main dengan temannya, aku melihat-lihat bangunan sekolah yang sudah mulai menua. Hari semakin siang, maka para orangtua muridpun sudah banyak yang berdatangan lalu aku mencoba bergabung dengan para ibu-ibu itu. Obrolanpun di mulai dengan asiknya. Rupa-rupanya aku sudah mulai bisa bercampur dengan ibu-ibu walaupun di rumah aku tidak pernah mau bercampur dengan ibu-ibu tapi kini disini tentu saja lain cerita. Tak sengaja aku melihat Dani sedang ngobrol dengan gurunya, lalu aku berjalan menuju Dani dan gurunya itu. “Dani, kenapa?” Serentak aku bertanya pada Dani, aku takut ia melakukan sesuatu yang melanggar aturan sekolah. “Anda siapanya Dani?” Belum sempat Dani menjawab pertanyaanku, tiba-tiba guru muda yang sejak tadi aku perhatikan itu mengajukan sebuah pertanyaan terhadapku. “Emh, saya kakaknya Dani. Maaf Pak, apa adik saya ini melakukan kesalahan?” “Sebaiknya kita bicarakan di kantor saja, mari!” Lalu ia berjalan dengan gagahnya. Rasa senang dan takut kini terlalu berkecamuk di hatiku. Aku senang karena guru muda yang ganteng itu membuat jantungku berdegup kencang. Aku merasa takut karena aku takut Dani bermasalah dengan sekolahnya sehingga menyebabkan sesuatu yang fatal untuk nilainya. Aku berjalan mengikuti guru muda itu menuju kantor sekolah dan kemudian masuk keruangan pribadinya. Ia mempersilahkan aku untuk duduk di kursi yang telah di sediakan. Setelah sekian lama, setelah panjang lebar membicarakan masalah Dani, ternyata Dani tidak melakukan apa-apa yang bisa membuat nilainya buruk. Tetapi wali kelasnya Dani itu hanya heran, kenapa Dani sering tidak masuk sekolah saat sebelum ujian? Bukan ia tidak tahu akan prilaku ibu tirinya Dani, tetapi kenapa bisa sesering itu? Akupun menjelaskan sedikitnya kenapa Dani bisa seperti itu. Berlalu dari situ, guru muda itu menatap mataku dengan tajam entah itu di sengaja ataupun tidak, aku tidak tahu, yang aku rasakan saat itu hanyalah merasa tegang. Apa mungkin aku jatuh cinta sama guru muda itu? Sepertinya begitu. Tidak lama dari situ, acara pengumuman kelulusanpun akan segera di mulai maka kami segera menyudahi perbincangan itu dan beranjak keluar. Dani seperti benar-benar tegang, ia takut kalau-kalau nilainya turun dan ia tidak akan lolos. Dani terlihat gugup dan tegang, tangannya dingin, mukanya pucat dan ia gelisah. “Dani, tenanglah! Kamu pasti lolos dan nilaimu tidak mungkin seburuk yang kau kira” Dani hanya menatapku dan tersenyum tak pasti lalu kemudian menunduk lagi. Satu persatu nama murid di sebutkan dengan nilai dan prestasi yang di dapatkan. Tibalah saatnya giliran nama Dani yang di sebut. Mata Dani melotot tajam memperhatikan mulut sang guru yang sedang menyebut namanya, tangannya lebih dingin dari sebelumnya, sudah pasti jantungnyapun berdegup sangat kencang. Ku pegang kedua tangan Dani agar dia tidak begitu panik dengan keadaan yang ada. “Muhammad Dani Herdiansyah” Seru guru yang memberi pengumuman kelulusan itu. “Mencapai peringkat satu juara umum” Terdengar sangat menggelegar sekali suara itu. Dengan serentak Dani bersujud dan mengucap syukur. Aku mencium keningnya dan memeluk erat tubuh kurusnya Dani. Matanya memerah dan kemudian meneteslah airmatanya. Aku seperti terbawa suasana, terharu, senang dan bahagia. Dani yang kesehariannya sangat tidak seperti kebanyakan anak-anak lainnya yang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain dan bermain sementara Dani harus bekerja banting tulang, mengasuh adiknya, membantu cari uang demi sesuap nasi. Hari yang paling ia takutkan ternyata berubah menjadi hari yang paling membahagiakan. Tetapi sayang, ayah ibunya tidak bisa menyaksikan kebahagiaan yang kini di rasakannya. Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya, ibunya yang kini sudah berada di surga, ibu tirinya yang tak pernah akrab dengannya. Semuanya seperti tidak memperdulikan Dani dalam kondisi apapun. Suara jangkrik kembali terdengar saat Dani sedang mencurahkan segala isi hatinya yang terbendung sekian lama. Tentang ayahnya yang tak pernah pulang, tentang ibu tirinya yang selalu menyiksanya, tentang ibu kandung yang meninggal saat ia di lahirkan dan juga tentang semua mimpi-mimpinya. Aku berfikir ketika Dani harus menerima siksaan dari ibu tirinya, apa dia akan terus seperti itu? Di perlakukan tidak layak oleh ibu tirinya. Sangat di sayangkan apabila anak sepintar Dani harus berhenti sekolah, terlebih ia memiliki mimpi-mimpi yang tinggi, tentu ia pasti akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan kelak jika dewasa. “Dani. Setelah ini kau mau kemana?” Tanyaku sambil mengusap punggung kurusnya Dani. Ia terdiam sejenak lalu menghelak nafas. “Aku gak tahu, kak” Serunya lirih. Tanpa harus berunding dengan Dani, aku sudah berencana akan membawa Dani pulang ke rumahku lalu disana ia akan melanjutkan sekolahnya, menimba ilmu setinggi-tingginya dan menggapai mimpi-mimpi itu dengan pasti. Namun tentu saja itu semua tergantung izin dari orangtuanya Dani. Malam itu saat bapaknya Dani telah pulang dari pelayaran, aku tergesa-gesa segera membicarakan tentang Dani, tentu saja aku melakukan itu di belakangnya Dani. Tanpa di sangka-sangka ternyata bapaknya Dani mengizinkan aku untuk membawa Dani pulang bersamaku walaupun pada awalnya bapaknya Dani sama sekali tidak memberi izin. Hal itupun segera aku ceritakan pada Dani. Dani kelihatan sangat senang tetapi ia kembali berfikir, siapa yang akan membantu ibu tirinya kelak kalau ia pergi meninggalkan kampung halamannya? “Tidak, aku tidak mau ikut kak” “Dani. Dengan ikutnya kamu kesana, bukan berarti kamu akan meninggalkan mereka untuk selamanya. Suatu saat jika kamu telah berhasil meraih mimpi-mimpi kamu, kamu akan kembali kesini bersama mimpi-mimpi itu”. “Apa kakak yakin aku bisa kembali kesini bersama mimpi-mimpi itu?” “Lihat mata kakak, Dani! Apa kamu tidak percaya pada kakakmu ini? Disana, berbagai peluang dan kesempatan sangat mudah di dapatkan. Nanti kamu bisa memilih sesukamu, mana yang akan kamu pilih” Dani tersenyum senang. “Apa benar begitu kak?” “Tentu saja benar, kamu mau ya ikut kakak” Dani mengangguk. Malam itu juga Dani membereskan semua pakaiannya dengan semangat. Semua barang-barang kesayangannya ia masukkan kedalam tas bajunya. Bapaknya terlihat sedih melihat Dani yang terlalu semangat dengan semua itu. Ibu tirinya secara tak sadar meneteskan airmata, mungkin ia akan merasa kehilangan Dani, tidak ada yang membantunya dalam pkerjaan rumah ataupun tidak ada yang membantunya mengasuh Esty. Tetapi Dani belum menyadari orangtuanya yang benar sedih dan akan merasa kehilangan. Di tengah malam yang gelap, ia menulis sebuah surat yang ia tujukan untuk ibu kandungnya. Untuk ibu tercinta… Ibu… Apakabar disana? Aku kangen sama ibu, kapan aku bisa bertemu denganmu ibu. Tiada hentinya aku mendoakan ibu yang tak pernah bertemu denganku. Ibu… Aku mendapat peringkat satu dan menjadi juara umum di sekolah. Ini semua aku persembahkan hanya untukmu ibu. Ibu… Besok aku akan pergi meninggalkan kampung halaman ini dan ikut bersama kak Viona, bermaksud untuk mewujudkan semua mimpi-mimpiku, ibu tahukan semua mimpi-mimpiku? Aku akan mewujudkan semua itu untuk ibu. Aku meminta restu darimu ibu, izinkan aku berangkat bersama kak Viona… Dani ingin bertemu ibu… Anakmu (Muhammad Dani Herdiansyah) Mentaripun kembali menampakkan sinarnya di pagi hari. Saat sebelum berangkat, Dani mengajakku ke tepi pantai untuk menyampaikan surat yang ia tulis semalam untuk ibu tercintanya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahlaku bocah itu. “Dani” Tiba-tiba terdengar suara seperti suara sesosok laki-laki tetapi bukan suara bapaknya Dani melainkan guru SDnya Dani. Iya, guru muda itu bernama Pak Heryanto namun lebih akrab di panggil Pak Heri. Ia berlari menuju arah Dani, tangannya memegang pundak Dani. “Bapakmu bilang, kamu mau pergi ke kota. Apa benar” “Emh, kemungkinan seperti itu Pak” Dani tersenyum saat Pak Heri tersenyum juga. “Kelihatannya kau senang sekali ya, apa kau akan lupa sama Bapak kelak?” “Tentu tidaklah, Pak. Saya akan kembali kesini dan menemui Bapak” “Raihlah semua mimpimu Dani. Semangat!!!” “Semangat!!!” Seru Dani sambil memancarkan satu senyum semangat, akupun ikut tertawa-tawa bersama mereka. Pak Heri seperti mencuri-curi pandangan padaku. Aku tertawa geli. Tak terasa haripun semakin siang, sudah saatnya kita berangkat ke kota. Semua yang di tiggalkan merasa sedih dan akan merasa kehilangan terlebih ibu tirinya yang setiap hari selalu mengandalkannya. Dani merasa berat meninggalkan Esty yang sangat ia sayangi. Sementara Esty hanya tertawa-tawa seperti mengajaknya bermain, ia terlalu dini untuk memaknai sebuah perpisahan. Danipun seperti itu, belum begitu faham dengan sebuah perpisahan ini. Seperti halnya sang waktu yang berjalan begitu cepatnya, semua itu telah berlalu. Hari berganti minggu, minggu berubah bulan, bulanpun hilang di telan tahun. Tak terasa rasanya baru kemarin Dani menginjakkan kakinya di rumahku, kini sudah sebelas tahun lamanya Dani hidup bersamaku. Tentu saja dengan semua mimpi-mimpinya ia menjalani hari-hari dengan pasti. Dani tumbuh menjadi dewasa yang baik dan bertanggungjawab. Ia telah berhasil meraih mimpinya. Seperti mimpi saja rasanya. Kini aku telah lain dengan masa-masa yang dulu, kini aku telah berrumah tangga dan mempunyai seorang anak, Mira nama anakku dan Dani kini telah menjadi paman yang sangat baik untuk anakku. Dani sudah beres kuliah dan sudah mempunyai penghasilan sendiri, bahkan ia telah membeli rumah sendiri dari hasil keringat ia sendiri. Memang aku tidak pernah salah memilih Dani sebagai adikku. Maklum, aku adalah anak tunggal dan tidak mempunyai saudara. Dengan hadirnya Dani, tentu aku sangat merasa senang sekali. Kembali dalam permasalahan Dani yang kini ia ingin kembali dan menengok keluarganya di kampung. Iapun berangkat sangat pagi sekali dengan mobil pribadinya. Sungguh, keadaan Dani berbalik 180° dari Dani yang dulu. Dengan kepulangannya Dani ke kampung halaman, ia berharap keluarganya bisa sehat-sehat saja dan satu lagi, Sella. Ia berharap bisa bertemu Sella disana. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam, akhirnya aku, Dani, anakku Mira beserta suamiku telah sampai ke kampung halamannya Dani. Keadaan kampungnya seperti berubah, yang dulu tanah-tanah ladang kini berubah menjadi rumah-rumah, yang dulunya hamparan padang ilalang kini berubah menjadi took-toko bahkan gubuk yang duli ia bangun untuk Sella kini telah lenyap selain karena termakan usia juga karena telah tersingkirkan oleh bangunan-bangunan toko itu. Satu kabar yang paling mengejutkan adalah bahwa bapaknya Dani telah meninggal satu tahun yang lalu akibat penyakit jantungnya. Dani terlihat sangat pucat dan lemas saat berada di depan kuburan sang bapak yang sangat ia cintai itu. Tak banyak yang ia ingin lakukan selain mendoakan bapaknya. Ibu tirinyapun kini tidak lagi tinggal di kampung itu semenjak kepergian bapaknya Dani, ia pulang ke rumah orangtuanya yang berada jauh disana. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan di kampung itu, semuanya telah pergi meninggalkan Dani yang kini telah berlimpah harta. Sungguh sangat ia sesali dengan semua keadaan ini, kenapa di saat Dani telah sukses meraih impiannya, keluarganya malah seperti menjauhinya? Itu mungkin sudah takdirnya seperti itu. Dani juga aku dan suami beserta anakku bergegas menuju rumahnya Pak Heri yang dulu Dani sudah berjanji akan menemui Pak Heri jika Dani pulang kampung. Di temui di rumahnya Pak Heri saat itu ia sedang terduduk santai bersama seorang perempuan berkerudung, mungkin itu adalah istrinya. Dari kejauhan Pak Heri mangamati mobil kami, mungkin ia merasa heran dengan kedatangannya sebuah mobil yang parkir sembarangan di depan rumahnya. Kemudian Pak Heri berdiri seperti menyambut kami. Dani segera keluar dari dalam mobil dan memeluk Pak Heri. Tentu saja Pak Heri dengan kaget menerima pelukan mantan muridnya itu. Semuanya sangat berbeda saat aku menyapa Pak Heri yang dulu sempat aku kagumi. Kami berbicara banyak hal hingga hari berubah menjadi gelap. Tak ada nama lain selain Sella yang ada di benak Dani saat ini. Ia merasa resah karena Sella tak kunjung menemuinya juga. Apa mungkin Dani harus beranjak ke rumahnya Sella untuk menemuinya? Iya, akhirnya pagi itu Dani berangkat ke rumah Sella dengan mengenakan baju kemeja bergaris, celana jeans hitam dan memakai sepatu juga kini Danu memakai kaca mata min, jelas terlihat sangat keren dengan postur tubuh Dani yang tinggi namun tidak terlalu kurus. Setelah sampai, ia mendapati ibunya Sella sedang nyapu halaman. Dari informasi yang ada bahwa sella telah menikah dengan laki-laki lain. Ia hanya mengambil nafas yang panjang lalu kemudian ia hembuskan lagi menunjukkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Sekarang benar-benar tak ada lagi harapan apapun dari kampungnya ini. Semuanya telah benar-benar meninggalkannya. Kini, Dani hanya memiliki aku dan keluargaku yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. “Inikah kehidupan yang sebenarnya? Hanya demi mimpi aku rela meninggalkan ayah, Sella, Esty, ibu dan tanah kelahiranku, yang akhirnya setelah aku mendapatkan semuanya mereka malah pergi meninggalkan aku sendiri. Benar-benar pahit” Sejenak Dani mengeluh dengan keadaan yang ada. Suasanapun menjadi hening di pagi itu. Akhirnya kami kembali pulang ke kota. Tak ada kata yang tersisa dari mulut Dani selain dari kata menyesal. Aku takut Dani menyalahkan aku yang mengajaknya untuk ikut denganku, kenapa juga aku harus mengajaknya jika sekarang Dani merasa menyesal atas semua keputusannya walaupun semua mimpi-mimpinya telah ia dapatkan. Ya sudahlah. Ini semua telah terjadi dan tak mungkin bisa di ulang kembali. Hanya keajaiban yang bisa membuat semua ini kembali seperti semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar