mimpiku
22.desember.2011
Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu.
Aku menatap begitu takjubnya, segitu banyakkah burung bangau yang sedang
berkencan di tempat ini? Burung-burung itu serempak mencericitkan kicau
mirip tangisan paling bahagia yang memekakkan telinga tetapi pada saat
yang sama mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka mengayunkan sayap
dalam gerak yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat,
kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga melompat,
berlari, melompat lagi, dan berlari lagi.
Itulah pemandangan yang aku lihat di pagi itu saat matahari hendak
menunjukkan jati dirinya. Aku terdiam sesaat mengagumi keindahan yang
ada di depan mataku. Tak pernah ku melihat alam seindah ini, udara
sesejuk ini, dan mentari sehangat ini bahkan saat malampun sang bulan
selalu menemani walau terkadang terselimuti kabut juga.
Aku yang tak pernah bisa merasakan kedamaian seperti saat ini kini
kurasakan juga. Ku tarik nafas sedalam mungkin untuk kemudian
kuhembuskan kembali “hahhh… segar sekali” terpancar satu senyuman dari
bibirku untuk mengawali hari yang indah ini.
Terlihat di ujung sana ada seorang lelaki kencur berusia sepuluh tahun.
Di tangannya terlihat seperti memegang sesuatu untuk ia berikan pada
burung bangau indah itu. Alisku berkerut heran. Seperti dengan
sendirinya kakiku melangkah menuju anak laki-laki itu. Dari jauh ia
tersenyum manis padaku, ia memberiku segenggam jagung lalu ia menyuruhku
untuk memberikannya pada bangau-bangau itu. Indah sekali saat aku
melihat bangau-bangau itu saling berebut makanan, sebagian ada yang
berterbangan dengan arah yang acak-acakan. Kembali ku rasakan hembusan
udara segar di pinggir pantai itu, kembali muncul juga senyuman-senyuman
damai dari bibirku.
“Dani”
Ia mengasongkan tangan kanannya sembari tersenyum, rambutnya yang agak
sedikit lurus juga sdikit panjang menutupi mata sebelah kanannya karena
tersapu angin laut. Senyumnya manis sekali.
“Viona”
Kubalas dengan senyuman hangat juga. Dani tertawa kecil, tangannya masih
menggenggam tanganku bahkan ia mengayun-ngayunkannya. Disitulah awal
keakraban antara Dani yang baru berusia sepuluh tahun dan aku Viona yang
sudah mulai menginjak dewasa. Tak sangka kami akan seakrab dan sedekat
ini.
Dani, adikku. Setiap pagi dan sore ia pasti mengajakku untuk memberi
makan bangau-bangau itu. Ia tertawa begitu lepas selepas hamparan air
laut yang ada di hadapanku, senang rasanya kalau aku menjadi Dani yang
selalu ceria dan bahagia. Mungkin karena ia masih kecil, belum ada yang
harus ia pikirkan dalam hidupnya yang baru seusia jagung ini. Kala harus
menengok kedalam hidupku, aku sudah cukup perih dengan semua ini. Tak
ada yang bisa ku lakukan selain ini, meninggalkan semua orang yang
selalu membuatku merasa terkekang dan terikat dengan kedaan yang harus
aku jalani. Aku tahu ini bukan cara terbaik untukku ataupun untuk mereka
tapi aku benar-benar telah kehilangan arah. Aku sudah terlalu lelah
menghadapinya. Terlalu jauh untuk ku gapai kebahagiaan itu tapi Dani,
anak kecil itu sedikit banyak ianya mampu mengobati rasa kebimbangan
yang tertancap di hati. Serupa pancang yang terpacak yang menjulang
bertahun-tahun di tepian jembatan sana, hanya berteman gelombang pasang
surut, arus, terpaan angin, juga kebat tali sampan atau pompong yang
melingkarinya. Sesekali singgah juga burung raja udang sekedar menjengah
mangsanya kemudian terbang lagi, senyap lagi.
Apa hidupku di takdirkan untuk seperti ini? Aku rasa tidak, masih ada
hal lainnya yang lebih indah di hari ini, esok dan seterusnya di banding
hari kemarin. Disini aku merasakan adanya ketenangan, adanya kedamaian
juga pasti ada jiwa yang lebih baik pula. Tawanya Dani selalu
menenangkan jiwaku, entah apa yang ada dalam dirinya hingga ia mampu
membuatku tertawa lepas selepas saat ini.
Hari ini berbeda, tidak seperti biasanya. Dani membawaku ke puncak
gunung dimana di sekeliling gunung itu hanya ada hamparan ilalang yang
hampir kering namun masih berbunga. Di sela-sela bukit itu ada sebuah
gubuk kecil yang terbuat dari jerami dan ranting-ranting namun cukup
nyaman juga walau tempatnya agak sempit. Dani memegang pergelangan
tanganku dan menuntunku menuju gubuk itu. Aku yang tak pandai berjalan
di atas jalan setapak memang sedikit risih awalnya namun karena sudah
sering akhirnya terbiasa juga.
Aku terkagum-kagum melihat hamparan padang ilalang yang sangat luas itu.
Anginnya tak pernah berhenti membelai lembut wajah kusutku. Dani
terdiam sesaat, ia mengambil nafas yang cukup dalam, matanya terpejam,
bibirnya tersenyum dan kedua tangannya terlentang. Rambutnya
terkibas-kibas terkena hembusan angin di siang yang menyala. Aku terdiam
sejenak melihat tingkahlakunya anak seusia Dani yang menurutku laganya
sudah seperti orang dewasa saja. Rasa penasaranpun kini semakin memuncak
membuatku ingin rasa melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan
anak ingusan itu.
Jiwaku melayang, pikiranku seperti ada diatas awang-awang. Sejenak aku
melihat seperti ada bayangan Ayah, ia memarahi aku dan memukulku dan
tiba-tiba aku serentak ketakutan. Tetapi berbeda dengan bayangan Ibuku.
Ibu yang selama hampir dua bulan ini sudah aku tinggalkan. Ia
mengelus-ngelus rambutku dan berkata “Ibu sayang kamu” sembari mengecup
keningku. Aku tak kuasa menahan airmata yang yang sudah lama terbendung
ini. Tubuhku lemas kala aku mengingat Ibu yang kini sangat jauh dariku.
Perlahan aku membuka mata yang basah karena airmata, ku tengokkan
kepalaku kearah Dani yang berada di sebelah kananku. Aku melihat Dani
menangis, airmatanya tidak kalah banyak dengan airmataku sampai ia
tersedu-sedu. Serentak aku menyapanya dan memeluknya. Aku tidak tahu
kenapa ia menangis, seperti ada beban di pikirannya, seperti ada sesuatu
yang mengganjal di hatinya. Aku memeluknya dengan erat layaknya seorang
ibu yang memeluk anak kandungnya sendiri. Aku mengusap-ngusap
rambutnya, memeluknya lagi dan mencium keningnya. Biarkan dia tenang.
Airmatanya kini tidak lagi membasahi pipinya yang mungil. Ia berdiri dan
beranjak dari pangkuanku. Aku mengikuti langkah kakinya yang pendek,
aku berdiri tepat di belakangnya memegang pundaknya yang kurus.
“Dani”
Aku terdiam sejenak di sela-sela lembutnya angin yang mengusap airmata.
“Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau menangis seperti itu?
Katakan padaku Dani, katakana!”
Dani masih terdiam menikmati lamunannya yang terbawa luasnya hamparan
padang ilalang bersama angin sepoi-sepoinya. Ia terlihat seperti menelan
ludah yang lama mengental di mulutnya.
“Apapun yang terjadi padamu, ceritakanlah padaku. Biarkan aku tahu
segala tentangmu. Dengan begitu semua beban yang ada di pikiranmu akan
terasa lebih ringan”
Dani masih terdiam dan membisu, sekarang kepalanya lebih menunduk. Ku
pegang tangannya, ku yakinkan dia dengan semua permasalahan hidup ini.
Ku pegang erat tangan kirinya dengan kedua tanganku. Ku tengadahkan
kepalanya dan ku tatap matanya yang masih memerah.
“Percayalah. Hidup ini indah”
Kulempari dia dengan senyuman yakin tetapi Dani masih saja menunduk. Ku
tarik lengannya dan kubawa dia berlari dan menari di tengah luasnya
hamparan padang ilalang, langkah kakinya yang pendek membuat satu
sejarah dimasanya bahwa ia mampu bangkit dari sebuah keterpurukan walau
tak seutuhnya ia bisa dapat bebas dari semua masalah hidup yang tak
seharusnya ia tanggung dalam usia yang sangat dini. Akhirnya ia tertawa
sangat lepas sekali. Hatiku tenang setenang angin yang menari-nari
menyelimuti tubuhku saat aku bisa melihat tawanya kembali dan ia
berbisik sangat pelan “Hidup ini indah” kemudian tertawa lagi.
Main petak umpet di tengah padang ilalang memang biasa ia lakukan
bersama teman-temannya yang lain namun kali ini ia mengajakku, nantangin
kemampuanku dalam hal petak umpet padahal sudah pasti akulah
pemenangnya.
Kali ini tebakanku salah, ternyata aku yang kalah. Aku menutupi kedua
mataku dengan tanganku lalu berhitung sampai bilangan dua puluh lima.
“1 2 3.….25”
Samar-samar terdengar suaranya Dani meneriakan bahwa ia sudah siap,
akupun mengamati satu persatu tempat yang menurutku mencurigakan.
Sepuluh menit sudah aku mencari-cari tempat persembunyian Dani namun tak
kunjung ku temukan juga. Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia.
Bayanganku sudah terlalu jauh, bagaimana kalau tiba-tiba ia di patuk
ular yang sangat ganas, bagaimana kalau ia tiba-tiba di bawa oleh
orang-orang tak di kenal, aduh pikiranku jadi tidak karuan kaya gini.
Aku benar-benar merasa takut. Bagaimana kalau aku tiba-tiba mendapatinya
sudah tergeletak tak bernyawa dan di tubuhnya penuh dengan luka dan
darah yang tak kunjung berhenti mengalir? Hah… apalah aku ini. Kenapa
berpikiran seperti ini? Aku kembali melanjutkan pencarian tentu saja
masih dengan rasa panik dan ketakutan. Saat aku merasa bingung dan
terdiam di tengah-tengah padang ilalang, samar-samar aku mendengar bunyi
daun ilalang kering yang seperti terinjak, serentak aku berbalik arah
mengikuti suara itu. Ku panggil-panggil namanya berulang kali tapi ia
tidak mendengarkanku sama sekali. Tiba-tiba Dani mengagetkanku dengan
hentakkan yang cukup membuat jantungku seperti mau copot saja. Dani
kembali tertawa lepas sambil memberiku seikat bunga ilalang yang sudah
ia hias seindah mungkin. Aku tersenyum dan mencium bunga ilalang itu.
Aku tidak tahu apa maksudnya dengan bunga ilalang yang ia berikan
padaku. Tentu saja pikiranku dengan pikirannya pasti berbeda, aku sudah
dewasa sedangkan dia masih anak-anak tidak mungkin dia melakukan seperti
apa yang aku pikirkan sekarang. Itu hanya tingkahlaku anak ingusan
saja.
“Hari sudah hampir sore. Apa kita gak bakalan pulang?”
Dani menatapku tajam sambil tersenyum.
Aku menarik nafas dan kemudian mengeluarkannya kembali.
“Tempat ini adalah salah satu tempat terindah yang pernah aku temui.
Sedikitnya tempat ini bisa membuatku tenang karena anginnya yang sangat
sejuk dan padang ilalangnya yang luas juga suasana pantai yang indah”
“Maksudmu, kau masih betah tinggal disini?”
Dani kembali bertanya. Alis tebalnya mengerut menyatukan kedua bola
matanya yang bulat.
Terduduk di bukit itu memang terasa nyaman apalagi di tambah pemandangan
langit sore yang berawan emas menyala. Lembayung sore menemani akhir di
hari ini namun angin sepoi-sepoinya masih tetap membasuh wajahku yang
lusuh.
Kami terdiam dalam kebisuan disela-sela jeritan suara jangkrik yang kini
mulai berbunyi.
“Tahukah kau, hari ini adalah hari paling indah setelah hari kemarin dan
kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi”
Tuturnya sambil tersenyum.
“Aku senang bisa punya teman sebaik kamu walaupun usia kita terpaut
sangat jauh. Tapi mungkin inilah yang dinamakan persahabatan, tidak
mengenal perbedaan. Bukan begitu kak Viona?”
Sambungnya sambil menatapku tajam.
Aku terdiam sejenak lalu mengikuti senyumannya yang manis.
“Dani. Apa sebelumnya kau tidak pernah punya sahabat?”
Ia tertunduk lama dan tidak berbicara.
“Maaf jika kau merasa tersinggung dengan pertanyaanku”
Aku merasa bersalah dengan sikapnya yang seperti itu. Tetapi sedikitnya
aku bisa menebak apa yang ia pikirkan saat ini. Rasa sedih dan kecewa?
Itu sudah pasti, terlihat dari mimik wajahnya yang muram.
“Ka Viona. Aku kangen dia”
Alisku mengerut heran.
“Dia siapa?”
“Dia yang selalu menemani hari-hariku, dia yang selalu membuatku lebih
bersemangat. Aku kangen Sella”
Kepalanya kembali tertunduk sambil menarik nafas dan membuangnya
kembali. Aku tersenyum heran.
Sella adalah sahabatnya Dani dari kecil dari mulai saat ia baru bisa
merangkak berjalan hingga mereka bisa berlari-lari di pantai sana.
Bermain pasir, menuliskan setiap mimpi-mimpi mereka diatas pasir laut
walau akhirnya akan tersapu ombak juga. Mereka juga membangun rumah
impian walau mereka tahu pada akhirnya akan roboh juga, tetapi memang
indah dirasa kala Dani harus mengingat hal itu. Sella juga yang akhirnya
memutuskan untuk membangun gubuk jerami yang ia rencanakan di bukit
padang ilalang itu namun sayang Sella terlalu cepat pergi meniggalkan
Dani. Akhirnya hanya Dani seorang yang membangun gubuk itu untuk Sella
jika suatu saat nanti Sella kembali pulang atau hanya sekedar
menjenguknya, maka ia akan membawa Sella dan menunjukkan kalau ia
benar-benar membangun gubuk itu untuk Sella walaupun ia tidak tahu kapan
Sella akan kembali atau bahkan mungkin Sella tidak akan pernah kembali,
ia sama sekali tidak tahu.
Sella itu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Memang mereka itu
keluarga yang cukup berada, tidak seperti Dani yang hanya seorang anak
nelayan yang serba berkekurangan karena penghasilan ayahnya yang kurang
mencukupi. Tetapi Dani sama sekali tidak pernah merasa risih dengan
keuangan yang hampir setiap hari di permasalahkan oleh ibu tirinya.
Orangtuanya Sella sudah ia anggap seperti orangtuanya sendiri, begitu
dekat ia dengan orangtuanya Sella hingga ia benar-benar ngarasa nyaman
berada dekat dengan keluarga Sella. Bisa di maklumi dengan pribadi ibu
tirinya yang selalu marah-marah dan selalu menuntut Dani untuk selalu
bekerja membanting tulang padahal usia Dani masih sangat dini untuk
melakukan itu semua.
Tak jarang aku memergoki Dani sedang di pukuli oleh ibu tirinya, tetapi
aku belum mampu membelanya walau sesungguhnya aku tidaklah tega
membiarkan Dani dalam keadaan seperti itu. Jantungku seperti bergetar,
teringat akan ayah yang selalu memukuli aku. Mungkin rasa sakit yang
Dani rasakan tidaklah sesakit yang aku rasakan. Ibu tirinya Dani lebih
sering memukuli dan menyiksa Dani hingga anak itu berlumuran darah,
barulah ibu yang tidak punya hati itu merasa puas terkadang merasa
ketakutan juga. Takut kalau-kalau bapaknya Dani mengetahui apa yang ia
lakukan terhadap Dani. Mungkin ia bisa mati juga terkena amukan sang
suami yang membela anaknya.
Dani mempunyai seorang adik tiri yang masih berusia empat tahun. Tentu
saja ia sangat sayang terhadap Esty adik tirinya itu, begitu juga Esty
sangat menyayangi kakaknya. Dani selalu membawa main Esty kala ada
selang waktu tetapi Dani selalu di salahkan oleh ibu tirinya. Jengkel
dan kesal sudah pasti ia rasakan, tetapi Dani kecil tidak bisa berbuat
apa-apa. Ibunya terlalu tangguh untuk di lawan. Tak jarang iapun sering
menangis di pundakku namun bukan dengan alasan yang sebenarnya. Aku tahu
ia membohongi aku. Luka yang ada di lengan dan di kaki juga di wajahnya
bukanlah akibat dari ia terjatuh dari pohon, melainkan karena ia di
pukuli ibu tirinya. Memang, ibunya itu tidak layak di sebut sebagai
seorang ibu jika ia sendiri tidak mampu memperlakukan anak-anak
sebagaimana mestinya walaupun itu bukan anak kandungnya sendiri.
Burung-burung pantai kembali berterbangan satu arah yang membentuk
segitiga seperti kapal udara yang melaju cepat. Anginpun kian kencang
mendorong kapal-kapal di laut yang sedang berburu ikan. Satu kesatuan
perburuan ikan yang sangat kompak di kapal itu. Salah satunya ada
bapaknya Dani yang termasuk karyawan di kapal itu. Jarang sekali ia
pulang ke rumah, maka tak heran jika istrinya bisa leluasa menyuruh ini
itu terhadap Dani dengan semena-mena.
Penghasilan dari berburu ikan tidaklah seberapa, hanya cukup untuk makan
saja, bahkan untuk membiayai sekolahnya Danipun tentu sangat kesusahan
dan harus meminjam kesana-sini walau sebenarnya sudah ada bantuan dari
pemerintah.
Tiga hari sekali bahkan terkadang sampai satu minggu bapaknya Dani tidak
pulang. Dani selalu merasa kesepian di rumah. Maka tak heran kalau Dani
akan selalu mengajakku untuk bermain dengannya.
Suatu pagi saat udara masih sejuk, saat sang mentari baru memancarkan
sinarnya, aku melihat Dani berpakaian seragam SD. Aku tahu ia pasti akan
berangkat sekolah, tetapi kenapa ia seperti bersedih? Sambil memakaikan
sepatu yang sudah bolong-bolong pinggirnya, kepalanya tertunduk
bersandar di lutuk kurusnya. Tentu saja aku merasa penasaran dengan
tingkah lakunya yang lagi-lagi aneh.
Ku langkahkan kakiku dari rumah pak Ajo. Pak Ajo itu adalah supirnya
ayah yang kini sudah pensiun dari kerjaannya sebagai supir pribadi. Ia
kini lebih memilih mengurus ladangnya ketimbang kembali kerja bersama
ayahku.
Aku mengikuti langkah kakinya Dani yang tergesa-gesa. Sepanjang jalan,
airmatanya tak pernah berhenti menetes membasahi seragam lusuhnya.
“Dani…”
Ku panggil namanya, serentak ia berhenti dan menengok kebelakang tepat
kearahku.
“Tunggu sebentar, aku ikut”
Sambungku sambil berlari menyusulnya.
Dani tersenyum sambil mengusap airmatanya. Ia kelihatan seperti sangat
bersemangat sekali. Kakinya melangkah dengan pasti, pergelangan
tangannya aku genggam erat. Aku tahu, hari ini adalah hari terpenting
untuknya. Hari ini akan menjadi hari yang paling ia takutkan dan was-was
karena akan di umumkannya hasil ujian kelulusan.
Dengan sendirinya aku bisa mengerti kenapa Dani menangis saat hendak
berangkat sekolah tadi pagi, karena ia ingin di hari terpentingnya ini,
ayah ibunya bisa menghadiri undangan dari sekolah untuk sama-sama
menyaksikan hasil ujiannya. Walaupun hanya sebagai ibu tiri yang tak
pernah berhenti menyiksanya, tetapi Dani sangat mengharapkan ibu tirinya
itu bisa datang ke sekolahnya itu. Tapi apa yang Dani dapatkan dari
bibir tajamnya sang ibu tiri, ia seperti mendapat penghinaan, cacian dan
makian. Ya sudahlah. Dani tidak mau memaksakan kehendak oranglain yang
jelas-jelas sebenarnya sangat ia benci.
Sementara ibu kandungnya, sudah lama meninggal saat melahirkan Dani
sekitar sepuluh tahun yang lalu. Dani sama sekali tidak mengetahui wajah
ibu kandungnya, bahkan potretnyapun tidak ada. Malang sekali nasibmu
Dani.
Pagi itu, tibalah aku di sebuah sekolah SD. Dengan bangga, Dani
menunjukkan sekolahnya padaku. Terlihat jelas di papan gerbang masuk ada
tulisan nama SD tersebut “SD Negeri 1 Harapan Bangsa”. Bangunannya
seperti sudah hampir rusak, tembok-temboknya seperti sudah lama sekali,
tidak pernah di renovasi. Dengan semangat, Dani menuntunku ke dalam
sekolahnya. Terlihat beberapa teman dekatnya Dani menyapanya hangat, ia
memperkenalkan aku ke teman-temannya. Ia seperti bangga sekali bisa
memperkenalkan aku pada semua temannya.
Terlihat ada beberapa guru yang keluar masuk dari ruangan kantor, salah
satu dari guru itu seperti kelihatan ada yang masih sangat muda tetapi
tidak begitu terlihat jelas olehku. Sementara Dani bermain-main dengan
temannya, aku melihat-lihat bangunan sekolah yang sudah mulai menua.
Hari semakin siang, maka para orangtua muridpun sudah banyak yang
berdatangan lalu aku mencoba bergabung dengan para ibu-ibu itu.
Obrolanpun di mulai dengan asiknya. Rupa-rupanya aku sudah mulai bisa
bercampur dengan ibu-ibu walaupun di rumah aku tidak pernah mau
bercampur dengan ibu-ibu tapi kini disini tentu saja lain cerita.
Tak sengaja aku melihat Dani sedang ngobrol dengan gurunya, lalu aku
berjalan menuju Dani dan gurunya itu.
“Dani, kenapa?”
Serentak aku bertanya pada Dani, aku takut ia melakukan sesuatu yang
melanggar aturan sekolah.
“Anda siapanya Dani?”
Belum sempat Dani menjawab pertanyaanku, tiba-tiba guru muda yang sejak
tadi aku perhatikan itu mengajukan sebuah pertanyaan terhadapku.
“Emh, saya kakaknya Dani. Maaf Pak, apa adik saya ini melakukan
kesalahan?”
“Sebaiknya kita bicarakan di kantor saja, mari!”
Lalu ia berjalan dengan gagahnya. Rasa senang dan takut kini terlalu
berkecamuk di hatiku. Aku senang karena guru muda yang ganteng itu
membuat jantungku berdegup kencang. Aku merasa takut karena aku takut
Dani bermasalah dengan sekolahnya sehingga menyebabkan sesuatu yang
fatal untuk nilainya.
Aku berjalan mengikuti guru muda itu menuju kantor sekolah dan kemudian
masuk keruangan pribadinya. Ia mempersilahkan aku untuk duduk di kursi
yang telah di sediakan.
Setelah sekian lama, setelah panjang lebar membicarakan masalah Dani,
ternyata Dani tidak melakukan apa-apa yang bisa membuat nilainya buruk.
Tetapi wali kelasnya Dani itu hanya heran, kenapa Dani sering tidak
masuk sekolah saat sebelum ujian? Bukan ia tidak tahu akan prilaku ibu
tirinya Dani, tetapi kenapa bisa sesering itu? Akupun menjelaskan
sedikitnya kenapa Dani bisa seperti itu.
Berlalu dari situ, guru muda itu menatap mataku dengan tajam entah itu
di sengaja ataupun tidak, aku tidak tahu, yang aku rasakan saat itu
hanyalah merasa tegang. Apa mungkin aku jatuh cinta sama guru muda itu?
Sepertinya begitu.
Tidak lama dari situ, acara pengumuman kelulusanpun akan segera di mulai
maka kami segera menyudahi perbincangan itu dan beranjak keluar. Dani
seperti benar-benar tegang, ia takut kalau-kalau nilainya turun dan ia
tidak akan lolos. Dani terlihat gugup dan tegang, tangannya dingin,
mukanya pucat dan ia gelisah.
“Dani, tenanglah! Kamu pasti lolos dan nilaimu tidak mungkin seburuk
yang kau kira”
Dani hanya menatapku dan tersenyum tak pasti lalu kemudian menunduk
lagi. Satu persatu nama murid di sebutkan dengan nilai dan prestasi yang
di dapatkan. Tibalah saatnya giliran nama Dani yang di sebut. Mata Dani
melotot tajam memperhatikan mulut sang guru yang sedang menyebut
namanya, tangannya lebih dingin dari sebelumnya, sudah pasti
jantungnyapun berdegup sangat kencang. Ku pegang kedua tangan Dani agar
dia tidak begitu panik dengan keadaan yang ada.
“Muhammad Dani Herdiansyah”
Seru guru yang memberi pengumuman kelulusan itu.
“Mencapai peringkat satu juara umum”
Terdengar sangat menggelegar sekali suara itu. Dengan serentak Dani
bersujud dan mengucap syukur. Aku mencium keningnya dan memeluk erat
tubuh kurusnya Dani. Matanya memerah dan kemudian meneteslah airmatanya.
Aku seperti terbawa suasana, terharu, senang dan bahagia. Dani yang
kesehariannya sangat tidak seperti kebanyakan anak-anak lainnya yang
menghabiskan waktu luangnya dengan bermain dan bermain sementara Dani
harus bekerja banting tulang, mengasuh adiknya, membantu cari uang demi
sesuap nasi.
Hari yang paling ia takutkan ternyata berubah menjadi hari yang paling
membahagiakan. Tetapi sayang, ayah ibunya tidak bisa menyaksikan
kebahagiaan yang kini di rasakannya. Ayahnya yang sibuk dengan
pekerjaannya, ibunya yang kini sudah berada di surga, ibu tirinya yang
tak pernah akrab dengannya. Semuanya seperti tidak memperdulikan Dani
dalam kondisi apapun.
Suara jangkrik kembali terdengar saat Dani sedang mencurahkan segala isi
hatinya yang terbendung sekian lama. Tentang ayahnya yang tak pernah
pulang, tentang ibu tirinya yang selalu menyiksanya, tentang ibu kandung
yang meninggal saat ia di lahirkan dan juga tentang semua
mimpi-mimpinya.
Aku berfikir ketika Dani harus menerima siksaan dari ibu tirinya, apa
dia akan terus seperti itu? Di perlakukan tidak layak oleh ibu tirinya.
Sangat di sayangkan apabila anak sepintar Dani harus berhenti sekolah,
terlebih ia memiliki mimpi-mimpi yang tinggi, tentu ia pasti akan tumbuh
menjadi pribadi yang menyenangkan kelak jika dewasa.
“Dani. Setelah ini kau mau kemana?”
Tanyaku sambil mengusap punggung kurusnya Dani. Ia terdiam sejenak lalu
menghelak nafas.
“Aku gak tahu, kak”
Serunya lirih.
Tanpa harus berunding dengan Dani, aku sudah berencana akan membawa Dani
pulang ke rumahku lalu disana ia akan melanjutkan sekolahnya, menimba
ilmu setinggi-tingginya dan menggapai mimpi-mimpi itu dengan pasti.
Namun tentu saja itu semua tergantung izin dari orangtuanya Dani.
Malam itu saat bapaknya Dani telah pulang dari pelayaran, aku
tergesa-gesa segera membicarakan tentang Dani, tentu saja aku melakukan
itu di belakangnya Dani. Tanpa di sangka-sangka ternyata bapaknya Dani
mengizinkan aku untuk membawa Dani pulang bersamaku walaupun pada
awalnya bapaknya Dani sama sekali tidak memberi izin. Hal itupun segera
aku ceritakan pada Dani. Dani kelihatan sangat senang tetapi ia kembali
berfikir, siapa yang akan membantu ibu tirinya kelak kalau ia pergi
meninggalkan kampung halamannya?
“Tidak, aku tidak mau ikut kak”
“Dani. Dengan ikutnya kamu kesana, bukan berarti kamu akan meninggalkan
mereka untuk selamanya. Suatu saat jika kamu telah berhasil meraih
mimpi-mimpi kamu, kamu akan kembali kesini bersama mimpi-mimpi itu”.
“Apa kakak yakin aku bisa kembali kesini bersama mimpi-mimpi itu?”
“Lihat mata kakak, Dani! Apa kamu tidak percaya pada kakakmu ini?
Disana, berbagai peluang dan kesempatan sangat mudah di dapatkan. Nanti
kamu bisa memilih sesukamu, mana yang akan kamu pilih”
Dani tersenyum senang.
“Apa benar begitu kak?”
“Tentu saja benar, kamu mau ya ikut kakak”
Dani mengangguk.
Malam itu juga Dani membereskan semua pakaiannya dengan semangat. Semua
barang-barang kesayangannya ia masukkan kedalam tas bajunya. Bapaknya
terlihat sedih melihat Dani yang terlalu semangat dengan semua itu. Ibu
tirinya secara tak sadar meneteskan airmata, mungkin ia akan merasa
kehilangan Dani, tidak ada yang membantunya dalam pkerjaan rumah ataupun
tidak ada yang membantunya mengasuh Esty. Tetapi Dani belum menyadari
orangtuanya yang benar sedih dan akan merasa kehilangan.
Di tengah malam yang gelap, ia menulis sebuah surat yang ia tujukan
untuk ibu kandungnya.
Untuk ibu tercinta…
Ibu…
Apakabar disana? Aku kangen sama ibu, kapan aku bisa bertemu denganmu
ibu. Tiada hentinya aku mendoakan ibu yang tak pernah bertemu denganku.
Ibu…
Aku mendapat peringkat satu dan menjadi juara umum di sekolah. Ini semua
aku persembahkan hanya untukmu ibu.
Ibu…
Besok aku akan pergi meninggalkan kampung halaman ini dan ikut bersama
kak Viona, bermaksud untuk mewujudkan semua mimpi-mimpiku, ibu tahukan
semua mimpi-mimpiku? Aku akan mewujudkan semua itu untuk ibu. Aku
meminta restu darimu ibu, izinkan aku berangkat bersama kak Viona…
Dani ingin bertemu ibu…
Anakmu
(Muhammad Dani Herdiansyah)
Mentaripun kembali menampakkan sinarnya di pagi hari. Saat sebelum
berangkat, Dani mengajakku ke tepi pantai untuk menyampaikan surat yang
ia tulis semalam untuk ibu tercintanya. Aku hanya tersenyum melihat
tingkahlaku bocah itu.
“Dani”
Tiba-tiba terdengar suara seperti suara sesosok laki-laki tetapi bukan
suara bapaknya Dani melainkan guru SDnya Dani. Iya, guru muda itu
bernama Pak Heryanto namun lebih akrab di panggil Pak Heri.
Ia berlari menuju arah Dani, tangannya memegang pundak Dani.
“Bapakmu bilang, kamu mau pergi ke kota. Apa benar”
“Emh, kemungkinan seperti itu Pak”
Dani tersenyum saat Pak Heri tersenyum juga.
“Kelihatannya kau senang sekali ya, apa kau akan lupa sama Bapak kelak?”
“Tentu tidaklah, Pak. Saya akan kembali kesini dan menemui Bapak”
“Raihlah semua mimpimu Dani. Semangat!!!”
“Semangat!!!”
Seru Dani sambil memancarkan satu senyum semangat, akupun ikut
tertawa-tawa bersama mereka. Pak Heri seperti mencuri-curi pandangan
padaku. Aku tertawa geli.
Tak terasa haripun semakin siang, sudah saatnya kita berangkat ke kota.
Semua yang di tiggalkan merasa sedih dan akan merasa kehilangan terlebih
ibu tirinya yang setiap hari selalu mengandalkannya. Dani merasa berat
meninggalkan Esty yang sangat ia sayangi. Sementara Esty hanya
tertawa-tawa seperti mengajaknya bermain, ia terlalu dini untuk memaknai
sebuah perpisahan. Danipun seperti itu, belum begitu faham dengan
sebuah perpisahan ini.
Seperti halnya sang waktu yang berjalan begitu cepatnya, semua itu telah
berlalu. Hari berganti minggu, minggu berubah bulan, bulanpun hilang di
telan tahun. Tak terasa rasanya baru kemarin Dani menginjakkan kakinya
di rumahku, kini sudah sebelas tahun lamanya Dani hidup bersamaku. Tentu
saja dengan semua mimpi-mimpinya ia menjalani hari-hari dengan pasti.
Dani tumbuh menjadi dewasa yang baik dan bertanggungjawab. Ia telah
berhasil meraih mimpinya. Seperti mimpi saja rasanya.
Kini aku telah lain dengan masa-masa yang dulu, kini aku telah berrumah
tangga dan mempunyai seorang anak, Mira nama anakku dan Dani kini telah
menjadi paman yang sangat baik untuk anakku.
Dani sudah beres kuliah dan sudah mempunyai penghasilan sendiri, bahkan
ia telah membeli rumah sendiri dari hasil keringat ia sendiri. Memang
aku tidak pernah salah memilih Dani sebagai adikku. Maklum, aku adalah
anak tunggal dan tidak mempunyai saudara. Dengan hadirnya Dani, tentu
aku sangat merasa senang sekali.
Kembali dalam permasalahan Dani yang kini ia ingin kembali dan menengok
keluarganya di kampung. Iapun berangkat sangat pagi sekali dengan mobil
pribadinya. Sungguh, keadaan Dani berbalik 180° dari Dani yang dulu.
Dengan kepulangannya Dani ke kampung halaman, ia berharap keluarganya
bisa sehat-sehat saja dan satu lagi, Sella. Ia berharap bisa bertemu
Sella disana.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam, akhirnya aku,
Dani, anakku Mira beserta suamiku telah sampai ke kampung halamannya
Dani. Keadaan kampungnya seperti berubah, yang dulu tanah-tanah ladang
kini berubah menjadi rumah-rumah, yang dulunya hamparan padang ilalang
kini berubah menjadi took-toko bahkan gubuk yang duli ia bangun untuk
Sella kini telah lenyap selain karena termakan usia juga karena telah
tersingkirkan oleh bangunan-bangunan toko itu.
Satu kabar yang paling mengejutkan adalah bahwa bapaknya Dani telah
meninggal satu tahun yang lalu akibat penyakit jantungnya. Dani terlihat
sangat pucat dan lemas saat berada di depan kuburan sang bapak yang
sangat ia cintai itu. Tak banyak yang ia ingin lakukan selain mendoakan
bapaknya.
Ibu tirinyapun kini tidak lagi tinggal di kampung itu semenjak kepergian
bapaknya Dani, ia pulang ke rumah orangtuanya yang berada jauh disana.
Tak ada lagi yang bisa ia harapkan di kampung itu, semuanya telah pergi
meninggalkan Dani yang kini telah berlimpah harta. Sungguh sangat ia
sesali dengan semua keadaan ini, kenapa di saat Dani telah sukses meraih
impiannya, keluarganya malah seperti menjauhinya? Itu mungkin sudah
takdirnya seperti itu.
Dani juga aku dan suami beserta anakku bergegas menuju rumahnya Pak Heri
yang dulu Dani sudah berjanji akan menemui Pak Heri jika Dani pulang
kampung. Di temui di rumahnya Pak Heri saat itu ia sedang terduduk
santai bersama seorang perempuan berkerudung, mungkin itu adalah
istrinya. Dari kejauhan Pak Heri mangamati mobil kami, mungkin ia merasa
heran dengan kedatangannya sebuah mobil yang parkir sembarangan di
depan rumahnya. Kemudian Pak Heri berdiri seperti menyambut kami.
Dani segera keluar dari dalam mobil dan memeluk Pak Heri. Tentu saja Pak
Heri dengan kaget menerima pelukan mantan muridnya itu. Semuanya sangat
berbeda saat aku menyapa Pak Heri yang dulu sempat aku kagumi. Kami
berbicara banyak hal hingga hari berubah menjadi gelap.
Tak ada nama lain selain Sella yang ada di benak Dani saat ini. Ia
merasa resah karena Sella tak kunjung menemuinya juga. Apa mungkin Dani
harus beranjak ke rumahnya Sella untuk menemuinya? Iya, akhirnya pagi
itu Dani berangkat ke rumah Sella dengan mengenakan baju kemeja
bergaris, celana jeans hitam dan memakai sepatu juga kini Danu memakai
kaca mata min, jelas terlihat sangat keren dengan postur tubuh Dani yang
tinggi namun tidak terlalu kurus.
Setelah sampai, ia mendapati ibunya Sella sedang nyapu halaman. Dari
informasi yang ada bahwa sella telah menikah dengan laki-laki lain. Ia
hanya mengambil nafas yang panjang lalu kemudian ia hembuskan lagi
menunjukkan sebuah kekecewaan yang mendalam.
Sekarang benar-benar tak ada lagi harapan apapun dari kampungnya ini.
Semuanya telah benar-benar meninggalkannya. Kini, Dani hanya memiliki
aku dan keluargaku yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
“Inikah kehidupan yang sebenarnya? Hanya demi mimpi aku rela
meninggalkan ayah, Sella, Esty, ibu dan tanah kelahiranku, yang akhirnya
setelah aku mendapatkan semuanya mereka malah pergi meninggalkan aku
sendiri. Benar-benar pahit”
Sejenak Dani mengeluh dengan keadaan yang ada. Suasanapun menjadi hening
di pagi itu. Akhirnya kami kembali pulang ke kota.
Tak ada kata yang tersisa dari mulut Dani selain dari kata menyesal. Aku
takut Dani menyalahkan aku yang mengajaknya untuk ikut denganku, kenapa
juga aku harus mengajaknya jika sekarang Dani merasa menyesal atas
semua keputusannya walaupun semua mimpi-mimpinya telah ia dapatkan.
Ya sudahlah. Ini semua telah terjadi dan tak mungkin bisa di ulang
kembali. Hanya keajaiban yang bisa membuat semua ini kembali seperti
semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar