BAB
I
PENDAHULUAN
akademik pababay |
A. Latar Belakang
Salah satu aktifitas yang sangat penting
dalam kehidupan manusia adalah berkomunikasi, baik itu dalam melakukan kegiatan
belajar, bekerja maupun bermain. Secara tidak sadar dalam kehidupan sehari-hari
kita merupakan partisipan dari kegiatan komunikasi, baik sebagai si pengirim
pesan maupun selaku penerima pesan. Huruf merupakan bagian terkecil dari
struktur bahasa tulis dan merupakan elemen dasar untuk membangun sebuah kata
atau kalimat. Rangkaian huruf dalam sebuah kata/kalimat bukan saja dapat
memberikan suatu makna yang mengacu kepada sebuah obyek atau gagasan, tetapi
juga memiliki kemampuan untuk menyuarakan citra ataupun kesan secara visual.
Huruf memiliki perpaduan nilai fungsional dan nilai estetik.
Komunikasi dari bahasa Latin communicatio/communis yang berarti sama
dalam hal makna mengenai satu hal. Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu
orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan, yang dapat terdistorsi oleh
gangguan (noise), yang terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik. Komunikasi selalu mempunyai efek atau pengaruh atas satu
atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Dan dari pengaruh
tersebut muncul teori. Berbeda teori berbeda pula pengaruh yang akan
dibahas pada pembahasan makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Teori
Pengaruh Media
Ada beberapa teori yang mengemukakan efek dari kehadiran
media massa, yakni:
1.
TEORI PELURU ( Bullet Theory )
Tahun 1940, paska Perang Dunia I,
ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold
Laswell membuat disertasinya tentang taknik-teknik propaganda pada Perang
Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik
propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Couglin. Pada saat yang
sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang popular di kalangan
ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang
disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theory”.
Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam
diperhatikan oleh massa.
Menurut teori ini, media menyajikan
stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini
membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh
individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang
datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak
berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori
peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan
pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah
kulit pasien.
2.
MODEL USES AND GRATIFICATION
Model Uses and Gratification boleh
disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek
terbatas dari Klapper. Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media?
Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila kita
kesepian lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio
daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita?
Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and
gratification. Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G.
Blumler dam MichaelGurevitch, uses and gratification meneliti
asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan
tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola
terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Asumsi-asumsi dari
teori ini adalah sebagai berikut :
a. Khalayak dianggap
aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan
mempunyai tujuan.
b. Dalam proses
komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan
pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
c. Media massa harus
bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.
d. Banyak tujuan
pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak:
artinya, orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada
situasi-situasi tertentu.
e. Penilaian tentang
arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih
dahulu orientasi khalayak.
Model used and gratification memandang
individu sebagai mahluk suprarasional yang sangat efektif. Ini memang
mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari
proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan..
Pendekatan uses and gratification di atas
mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media
untuk pemuasan kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang
kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita
ingin tahun bukan untuk apa kita membaca suratkabar atau menonton televisi,
tetapi bagaimana suratkabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap
atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi
massa.
Masyarakat pernah terkejut mendengar
beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil setelah menonton film porno di
suatu tempat di Indonesia, atau beberapa orang pemuda berandal yang membakar
seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama pada film malam
minggu yang disiarkan televisi ABC. Pada saat yang sama, kita juga percaya
bahwa surat kabar dapat membantu perbendaharaan pengetahuan kita sehingga kita
masukkan koran ke desa, walaupun rakyat desa lebih memerlukan subsidi makanan
yang bergizi. Kita menaruh perhatian pada peranan televisi dalam menanamkan
mentalitas pembangunan, sehinga kita bersedia meminjam uang untuk satelit
kemunikasi. Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan
efek pada diri khalayaknya.
3.
TEORI AGENDA SETTING
Teori Agenda Setting dimulai dengan
suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang
akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting,
redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan
mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu
dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan
radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi
penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). Misalnya berita
tebunuhnya gembong teroris Dr. Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu
rata-rata 30 menit dalam dalam televise dan disajikan pada surat kabar dengan
mengisi hampir setengah halaman muka, berarti Dr. Azahari sedang
ditonjolkan sebagai gembong teroris yang terbunuh atau pencapaian prestasi
jajaran polisi membunuh teroris nomor wahid di Indonesia itu. Atau para bintang
AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan lebih, sehingga dari orang yang
tak dikenal, karena terus diberitakan atau disiarkan hanya beberapa bulan
menjelma menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa televisi Indonesia.
Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar
memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu
berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat
diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka
pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka
anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community
Salience).
Teori Agenda Setting pertama
dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside
and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan Mc
Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972.
Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku
manusia
belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh
pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup
bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam
membentuk realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian
mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu
masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana
pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media
massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media
menetukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa, kemampuan untuk
menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki
sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek
komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat
kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan kembali minat
peneliti pada efek komunikasi massa.
4.
CULTURAL IMPERIALISM THEORY
Dikemukakan oleh Herb Schiller tahun 1973.
Teori ini berguna untuk menjelaskan bahwa bangsa Barat mendominasi media di
hampir semua bagian di dunia ini sehingga pada gilirannya mempunyai kekuatan
pengaruh yang sangat kuat terhadap budaya dunia ketiga (negara-negara yang
belum dan yang sedang berkembang). Caranya adalah dengan mengganggu dan
menetapkan pandangan-pandangan mereka atas kondisi budaya lokal sehingga budaya
lokal semakin rusak.
Media, khususnya media massa seperti film,
surat kabar, web dan situs-situs informasi dari internet, komik, dan juga novel
dan sejumlah media massa lainnya, umumnya diproduksi secara besar-besaran oleh
orang Barat, karena mereka mempunyai modal untuk melakukannya. Dilihat dari
harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan media lokal, karena yang
terakhir ini kekurangan modal pendukungnya. Akibatnya, karena setiap hari dan
setiap saat penduduk dunia ketiga tadi menonton dan membaca hasil dan
pandangan-pandangan budaya yang dilahirkan oleh budaya barat, maka akibatnya
mereka pun terpengaruh.
Pengaruh lebih jauh dari adanya
terpaaninformasi yang terus menerus dari berbagai media massa seperti ini, maka
secara langsung ataupun tidak langsung masyarakat dunia ketiga ‘membenarkan’
atau mengadopsi pandangan dan perilaku budaya barat. Dan yang lebih parah lagi,
budaya lokal menjadi semakin terpinggirkan, rusak, atau mungkin suatu saat akan
hilang sama sekali.
Di Indonesia, misalnya. Kita telah
merasakan akan hal itu. Anak-anak kita atau anak-anak seusia sekolah, bahkan
anak kecil di rumah kita, dalam menghadapi pergaulan dengan sesame mereka,
sudah precis menggunakan pola budaya televisi. Anggah ungguh tidak pernah
dipakai lagi dalam pergaulan di antara mereka. Dalam bergaul dengan orang tua
saja mereka sudah ‘berbeda’ dengan ketika kita masih seumur mereka pada saat
menghadap dan berkomunikasi dengan orang tua.
Dulu kita diajari untuk tidak menatap mata
orang tua secara langsung, tetapi anak sekarang jika berkomunikasi dengan kita,
mereka menatap (mata) kita, dan kita membiarkannya karena kita sudah menganggap
hal itu memang harus dilakukan. (Budaya tatap menatap sudah bergeser?).
Soal pengaruh budaya barat terhadap budaya lokal, itu sudah
pasti ada karena adanya proses transfer budaya dan adanya akulturasi, terutama
yang tampak sekali adalah yang terjadi pada anak-anak hingga menjelang dewasa.
Sebab pada usia inilah terjadinya masa-masa mencari dan berpetualang secara
sangat agresif. Sedangkan orang tua, apalagi yang tergolong berpendidikan,
tidak begitu saja mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya
dan kepercayaannya selama ini.
Beberapa kritik terhadap teori ini memang
pantas dikemukakan di sini mengingat beberapa hal yang tampaknya masih perlu
penjelasan dan pengujian lebih lanjut, yakni antara lain sebagai beriku:
(1)
Sulit untuk menjelaskan dengan teori ini mengenai kekuatan penjelasannya,
misalnya dalam kasus, sekelompok orang dengan ide dan kepercayaannya selama ini
mengirim pesanpesan kepada sekelompok orang yang berbeda melalui penggunaan
media, khususnya media massa.
(2)
Kritik berikut berkaitan dengan adanya kekuatan untuk meramalkan (to predict)
sesuatu yang belum terjadi. Bahwa budaya dunia ketiga akan rusak atau hancur,
dan orang-orangnya akan beridentitas sebagai orang barat, terutama dalam pandangan-pandangan
dan kepercayaannya. Apa iya seperti itu. Bukankah adanya akulturasi buada
malahan justru bisa memperkaya wawasan masyarakat sehingga pada akhirnya akan
mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya lokal?
(3)
Terlalu sederhana jika kita hanya melihat seperti garis lurus dari proses
penggunaan media yang asalnya dari pengirim menuju ke penerima, lalu dilihat
efeknya. Efek-efek komunikasi tidak bisa diukur atau dijelaskan sebagai pola
hubungan garis lurus, tapi bisa jadi berpola kurva, kurva linear, spurious,
atau bahkan negatif.
(4)
Kritik berikutnya adalah falsifiability (bisa salah). Negara-negara
dunia ketiga tidak terpengaruh oleh media barat, dan mereka juga tidak
kehilangan kebudayaannya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, justru media barat
bisa digunakan untuk menjelaskan pola budaya lokal, sehingga budaya lokal
menjadi mengglobal.
(5)
Adanya suatu alur peristiwa yang tampak logis sehingga berkonsekuensi terhadap
teori itu sendiri.
(6)
Kritik lainnya adalah pada heuristic provocativeness. Mungkin akan
muncul hipotesis baru mengenai effek dari adanya proses budaya. Budaya mana
yang paling banyak dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan seberapa besar pengaruh
budaya tersebut terhadap budaya lokal.
(7)
Terlalu menganggap kuat organisasi pengusung media massa. Kita sebenarnya
mengetahui bahwa budaya barat dan budaya timur memang berbeda.
5.
MEDIA EQUATION (PENYAMAAN MEDIA) THEORY
Teori ini dikemukakan oleh Byron Reeves
dan Clifford Nass, tahun 1996. Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang
secara tidak sadar dan secara otomatis merespons terhadap media komunikasi
seperti halnya kepada manusia. Teori ini juga melihat adanya proses komunikasi
interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Kita berkomunikasi
dengan komputer dan media lainnya seperti kita berkomunikasi dengan manusia.
Kita juga terkadang berkomunikasi dengan hp (hand phone), bukan berkomunikasi
dengan orang melalui penggunaan hp, melainkan berkomunikasi dengan hp itu
sendiri, ketika sedang ‘browsing’. Perhatikan diri kita sendiri, atau orang
lain di sekitar kita, ketika sedang menonton siaran televisi. Seolah kita itu
bagian dari orang-orang yang ada di dalam televisi yang kita tonton.
Kalau kita duduknya jauh dari pesawat
televisi, maka seolah memang jauh pula hubungan antara kita dengan orang-orang
yang ada di dalam televisi itu. Namun ketika kita dekat pesawat televisi dan
kita menonton siarannya, kita seolah merupakan bagian dari anggota orang-orang
yang ada di televise tadi. Mereka tertawa, kita juga terkadang ikut tertawa.
Juga ketika mereka menangis, kita juga sering turut sedih dibuatnya. Proses
komunikasi antar persona antara kita dengan televisi benar-benar terjadi dalam
hal ini. Meskipun sebenarnya prosesnya hanyalah imajinasi belaka, atau
setidaknya itu bentuk komunikasi antar persona yang lain.
Tidak rumit untuk memahami teori ini,
karena memang kita sering melakukannya dan juga merasakannya. Kita sering
bersimpati dan berempati terhadap tokoh-tokoh film yang ada di televisi. Kita
juga sering mendengarkan para presenter dan para penyiar lainnya seolah kita
berhadapan langsung dengan mereka. Dan kita memang berkomunikasi dengan mereka,
meskipun dalam bentuk yang tertunda, misalnya.
6.
SPIRAL OF SILENCE THEORY
Dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann
tahun 1984. Teori ini menjelaskan mengapa dan bagaimana orang sering merasa
perlu untuk menyembunyikan (to conceal) pendapatpendapatnya,
preferensinya (pilihannya), pandangan-pandangannya, dsb., manakala mereka
berada
pada kelompok minoritas.
Secara ontologis kita bisa melihat bahwa
teori ini termasuk kategori ilmiah. Teori ini mempercayai bahwa sudah menjadi
nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang dominan)
bergantung kepada suara mayoritas dari kelompoknya. Seperti halnya teori-teori
yang lain, teori ini juga bukan tanpa kritik. Berlakunya teori ini hanya
situasional dan juga kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan pendapat dan
pandangan pada kelompok. Sedangkan untuk ketentuan lain, seperti pendapat
tentang suatu keahlian, misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian
lainnya, tidak didasarkan pada pendapat kelompok.
Contoh kasus. Meskipun dalam posisi
minoritas, namun karena dia seorang ahli dan teknisi komputer, misalnya, maka
pendapat dan pandangannya mengenai komputer, akan tetap lebih dipercaya
dibandingkan dengan mereka yang banyak jumlahnya namun tidak mengetahui perihal
komputer.
7.
TECHNOLOGICAL DETERMINISM THEORY
Teori ini dikemukakan oleh Marshall
McLuhan pada tahun 1962. Cukup lama memang, namun masih bisa kita renungkan aplikasinya
di dunia yang semakin canggih dewasa ini. Pada saat artikel ini disusun,
komputer belum semaju sekarang, internet pun belum kita kenal, namun sekarang
jauh diluar model teori ini. Teori ini menegaskan bahwa teknologi media
membentuk kita sebagai individu dalam masyarakat dalam hal bagaimana kita
berpikir, merasa, dan bertindak berkaitan dengan fungsi-fungsi teknologi media.
Kita belajar, kita mendapatkan informasi,
hiburan, atau berita lain dari media teknologi seperti radio, film, surat
kabar, televisi, atau bahkan internet. Dengan hanya mendengarkan radio siaran,
kita bisa berpikir, merasa, atau mengembangkan imajinasi kita sesuai atau
setidaknya terilhami oleh informasi yang disampaikan oleh radio tersebut.
Demikian pula kita belajar, merasa atau bertindak atas dasar informasi yang
kita peroleh dari surat kabar, televisi, atau internet. Pesanpesan yang
disampaikan oleh media teknologi tadi, sekarang sudah tak terbatas jumlahnya,
baik yang menurut kita dianggap ‘sampah’ sampai kepada informasi yang
benar-benar kita butuhkan.
Sebenarnya kita sebagai pustakawan atau
peminat bidang ilmu informasi dan perpustakaan, tidak selayaknya mengatakan
informasi sebagai sampah.
Kita harus meyakini bahwa informasi,
sekecil apapun dan mungkin sejelek apapun maknanya, tentu ada yang membutuhkan.
Dari beragam informasi yang serba memungkinkan untuk kita buang atau kita
manfaatkan tadi, maka muncullah berbagai teori tentang penggunaannya.
8.
MEDIA CRITICAL THEORY
Para ahli media mengakui terdapat dua
sisi/muka tentang komunikasi massa. Muka kesatu melihat media ke arah
masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat. Media dan masyarakat dianggap saling
mempengaruhi, baik secara struktural maupun fungsional. Sisi ini yang dikenal
sebagai sisi makro teori komunikasi massa.
Sedangkan muka kedua melihat terhadap
orang, baik secara perseorangan maupun kelompok. Sisi ini melihat hubungan
antara media dengan audiens. Para ahli tertarik untuk meneliti hubungan antara
media dengan audiens, individu maupun kelompok, dan akibat dari menggunakan
media tadi. Sisi ini dikenal dengan sisi mikro dari teori komunikasi massa.
Pola hubungan antara masyarakat, lembaga
masyarakat atau organisasi, dan media, serta efeknya, yang menggambarkan dua
muka komunikasi massa.
9. TEORI NILAI HARAPAN
Teori ini mendasarkan diri pada orientasi
khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya.
Intinya, sikap Anda terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan
tentang penilaian Anda terhadap media tersebut. Palmgreen dkk. (dalam
Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian
kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi Anda
terhadap isi media tersebut.
Contohnya, Film-film televovela dari
Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi swasta, banyak
disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena.
Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran
filmfilm tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa
budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan
pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat
banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat berteletele, dsb.
Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari
kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya.
Tampaknya masalah hiburan tidak selalu
mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita. Gambar Model teori nilai
harapan dari pemanfaatan media
10. MEDIA
KULTIVASI
Teori kultivasi (cultivation theory)
pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg
School for Communication di Universitas Pensylvania. Dalam riset
proyek indikator budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya
(Baran, 2003 : 324-325).
Pertama, televisi secara esensial
dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak
menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi
bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara.
Kedua, medium televisi menjadi the
central cultural arm masyarakat Amerika,
karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.
Ketiga, persepsi seseorang akibat
televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan.
Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target
khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program
acara
dan cerita (drama).
Keempat, fungsi utama televisi
adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya
(berita, drama, iklan)
Kelima, observasi, pengukuran, dan kontribusi televise
kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.
Menurut teori kultivasi ini, televisi
menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang
masyarakat dan kultur lingkungannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori
Pengaruh Media
1.
Teori Peluru ( Bullet
Theory )
2.
Model Uses And
Gratification
3.
Teori Agenda
Setting
4.
Cultural
Imperialism Theory
5.
Media Equation (Penyamaan
Media) Theory
6.
Spiral Of
Silence Theory
7.
Technological
Determinism Theory
8.
Media Critical
Theory
9.
Teori Nilai
Harapan
10. Media Kultivasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar